Pengguna telepon pintar. (Sumber: Pexels/Gioele Gatto)

Ayo Netizen

Ketika Layar Mengaburkan Hati Nurani: Belajar dari Filsuf Hume di Era Society 5.0

Minggu 19 Okt 2025, 18:34 WIB

Tidak dapat kita pungkiri lagi, pada saat ini kita hidup dalam satu era pada situasi batas antara dunia virtual dan nyata semakin sulit dibedakan. Era inilah yang disebut Society 5.0, sebuah masa dimana kecerdasan buatan (AI), robot, dan internet bukan lagi dianggap sekadar alat untuk mempermudah kehidupan, namun telah menjelma sebagai bagian tak terpisahkan dari segala aspek kehidupan kita.

Semua hal menjadi lebih efisien, cepat, dan terhubung. Tetapi, di balik kemilau kenyamanan ini, terdapat sebuah kegelisahan yang sering kita abaikan: Apakah di sisi lain semua layar dan algoritma ini, kita lambat laun kehilangan "rasa" sebagai manusia? Apakah perlahan kehilangan hati nurani karena semakin jarang lagi bersentuhan dengan pengalaman yang sesungguhnya?

Baik lah, guna menjawab kegelisahan ini mari kita belajar dari pemikiran David Hume, seorang filsuf empirisme asal Skotlandia yang telah menjajaki kehidupannya ratusan tahun lalu. Hume menawarkan sebuah pandangan menarik tentang moralitas.

Baginya, penilaian akan baik dan buruk suatu tindakan tidaklah berpangkal dari logika atau rumus matematis yang kaku. melainkan, fondasi moralitas kita perlu dibangun dari dua hal yang paling mendasar – pengalaman empiris; apa yang kita alami langsung dengan panca indera kita dan perasaan; seperti simpati, kepercayaan, dan empati.

Mari kita bayangkan bersama-sama, di saat kita melihat seorang driver ojek online yang sedang menolong orang kecelakaan. Hasrat membantunya tidak muncul karena kita mempertimbangkan untung-rugi di kepala, melainkan karena adanya perasaan simpati yang spontan terketuk.

Sebagaimana sudut pandang Hume, kita dapat mengkategorikan suatu tindakan itu baik karena tindakan tersebut memicu perasaan senang dan dianggap berguna, baik bagi yang melakukannya maupun bagi kita yang menyaksikannya. Dari hal ini dapat kita ambil pelajaran bahwa moral, pada intinya tak lain merupakan urusan hati.

Nah, persoalannya pada era Society 5.0 saat ini, dua akar moral ala filsuf Skotlandia yang sedang kita bicarakan sedang terancam. Pengalaman nyata kita mulai tergeserkan oleh simulasi digital dunia maya. Interaksi tatap muka yang hangat, yang seharusnya kita dapat merasakan langsung emosi lawan bicara, kerap dikesampingkan demi meningkatkan efisiensi obrolan di layar gawai.

Ilustrasi smartphone. (Sumber: Pexels/Limon Das)

Kata "wkwkwk" atau “saya sakit hati” dalam chat WhatsApp Instagram, dan beberapa platform lainnya belum tentu merupakan ekspresi kegembiaraan atau kesedihan yang sesungguhnya. Sebuah peribahasa lama pun turut berubah: dulu "yang penting kita kumpul bersama", kini bertansformasi menjadi "yang penting connect aja". Melihat fakta yang terjadi saat ini, perkembangan teknologi berhasil membuant senggang antara ruang dan waktu – mendekatkan ruang yang jauh dan mempercepat renggang waktu yang lama, tapi ironisnya, sering kali menjauhkan yang sebenarnya dekat secara fisik dan emosional di sekitar kita.

Belum lagi dengan persoalan banjir informasi yang kita terima, kita tidak bicara arus yang menerjang di setiap hari, namun setiap detik kita ditenggelamkan dalam oleh gelombangnya. Media sosial diombang-ambingkan dengan konten-konten kebaikan, tapi juga dihantui oleh komentar-komentar sinis para netizen yang menuduh semua itu hanya pencitraan semata. Hal ini memicu kebingungan halayak umum, jangan-jangan menolong sesama itu justru menjadi kesalahan?

Kita dihadapkan pada tsunami opini publik yang justru menyamarkan penilaian moral kita yang paling mendasar. Ketergantungan masyarakat saat ini pada teknologi dan dunia virtual berisiko membuat kepekaan kita terkikis karena kian hari kita semakin jauh dari merasakan dan mengalami realitas secara langsung dalam kehidupan bersosial.

Lalu, kita perlu segera menjawab pertanyaan yang mendesak ini: bagaimana caranya kita dapat menjaga hati nurani di tengah gempuran pesatnya perkembangan teknologi? Hanya ada satu kuncinya, yakni ada pada keseimbangan dua dunia yang tidak dapat kita hindari – dunia maya dan dunia nyata. Kita tidak perlu sepenuhnya menolak perkembangan teknologi, tetapi kita harus dengan sadar kembali dengan keseimbangan menyelami dunia nyata.

Dalam hal ini, Hume juga mengingatkan kita bahwa tidak ada yang pernah bisa menggantikan kedalaman dan keautentikan pengalaman langsung realitas sekitar kita.

Demikian, meski perkembangan teknologi pada saat ini telah mempermudah segala aspek kehidupan kita, perlu juga kita meluangkan waktu untuk berkumpul dengan keluarga atau teman tanpa gangguan gawai, terlibat dalam setiap kegiatan sosial di lingkungan sekitar, atau sekadar ngobrol santai dengan tetangga. Pengalaman-pengalaman nyata inilah yang akan terus mengasah simpati dan empati kita.

Namun, di ujung akhir semua ini, perlu bagi kita renungkan bersama: Apakah kita masih mampu mengenali suara hati sendiri di antara riuhnya notifikasi dan derasnya informasi? Dapatkah generasi mendatang di mana teknologi semakin cepat berkembang memahami arti sebenarnya dari "bersimpati" jika yang mereka lihat hanyalah simbol emoji dan kata-kata di layar gawai? Dan mungkin yang terpenting, di mana sebenarnya letak kemanusiaan kita – di dalam data cloud yang tersimpan rapi, atau justru dalam kehangatan pelukan dan tatapan mata yang tulus di antara sesama? (*)

Tags:
Era Society 5.0Filsuf HumeDavid Hume

Taufik Hidayat

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor