fatherless, ketiadaan figur ayah, baik secara fisik maupun psikis, dan kini menjadi masalah sosial yang semakin meluas di Indonesia. (Sumber: Pexels/Duy Nguyen)

Ayo Netizen

Ayah yang Hilang, Sistem yang Salah: Menelisik Fenomena Fatherless

Senin 20 Okt 2025, 10:13 WIB

Di kota-kota besar seperti Bandung, banyak anak tumbuh bersama ibu dan gawai, tapi tanpa ayah yang benar-benar hadir. Ayah memang hadir, namun pikirannya tersita oleh pekerjaan dan tekanan ekonomi. Fenomena ini dikenal sebagai fatherless, ketiadaan figur ayah, baik secara fisik maupun psikis, dan kini menjadi masalah sosial yang semakin meluas di Indonesia.

Laporan Kompas.id menunjukkan jutaan anak mengalami kondisi fatherless. Anak-anak ini cenderung kesulitan mengelola emosi, kurang percaya diri, bahkan mencari pelarian ke media sosial. Mereka haus figur panutan, tapi yang mereka temukan hanyalah ruang digital yang dingin. Ini bukan sekadar kisah keluarga, melainkan alarm bagi masa depan generasi bangsa.

Namun fenomena fatherless tidak lahir begitu saja. Ia tumbuh dari sistem sosial-ekonomi kapitalistik-sekuler yang menempatkan kerja dan materi di atas nilai keluarga. Dalam sistem ini, ayah dipaksa sibuk mencari nafkah demi bertahan hidup, sementara waktu dan energi untuk mendampingi anak semakin habis.

Banyak ayah akhirnya hanya menjadi “tamu” di rumah sendiri. Berangkat sebelum anak bangun, pulang ketika anak sudah tidur. Fungsi qawwam (pemimpin dan pelindung keluarga) tergerus oleh tekanan ekonomi. Di mata sistem kapitalistik, ayah hanya dianggap sukses jika mampu menyediakan segala kebutuhan keluarga dengan materi, bukan jika anaknya tumbuh dengan bimbingan dan kasih sayang.

Padahal kehadiran ayah bukan sekadar urusan finansial. Ia adalah fondasi emosional dan moral bagi anak. Kehilangan sosok ayah yang hadir dengan hati bisa membuat anak kehilangan arah nilai dan kepercayaan diri. Inilah mengapa fatherless sejatinya bukan hanya masalah keluarga, tapi krisis peradaban.

Gerakan sosial yang menyoroti fatherless memang mulai bermunculan. Komunitas dukungan daring hadir memberi ruang bagi para ibu dan anak yang berjuang sendiri. Namun, sebagaimana disoroti Tagar.co dan VOI.id, gerakan ini baru menyentuh permukaan. Akar persoalannya ada pada sistem hidup yang membuat ayah terpisah dari rumahnya: sistem kapitalistik yang melelahkan dan budaya sekuler yang menyingkirkan nilai spiritual.

Dalam sistem semacam itu, kesuksesan diukur dari penghasilan, bukan dari kualitas waktu bersama keluarga. Sekularisme pun memisahkan urusan spiritual dari kehidupan publik, membuat nilai qawwam kehilangan makna sosial. Akibatnya, generasi tumbuh tanpa teladan yang nyata.

Kondisi ini diperparah oleh lemahnya dukungan negara terhadap keluarga. Upah yang tidak sebanding dengan kebutuhan memaksa para ayah bekerja lebih lama atau merantau jauh.

Negara kapitalistik hanya melayani pasar, bukan melindungi keluarga. Kebijakan publik lebih diarahkan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi dan stabilitas investasi, sementara kebutuhan dasar keluarga, seperti waktu kebersamaan, upah layak, dan pendidikan berbasis nilai terabaikan.

Dalam sistem ini, manusia dipandang sebagai alat produksi, bukan subjek kehidupan yang perlu dijaga keseimbangannya. Akibatnya, ayah terpaksa bekerja melampaui batas kemanusiaan demi memenuhi kebutuhan materi, sementara negara absen dalam memastikan kesejahteraan yang menyeluruh. Ketika pasar menjadi orientasi utama, keluarga kehilangan dukungan struktural yang seharusnya menjaganya tetap utuh; padahal dari keluarga yang kokoh lah lahir generasi yang kuat, beradab, dan berakhlak mulia.

Teknologi modern harus diarahkan sesuai nilai Islam, dengan maqasid syariah sebagai kompas etis. (Sumber: Unsplash/Masjid Pogung Dalangan)

Sementara dalam Islam, negara justru wajib menjamin kesejahteraan rakyat agar ayah mampu menjalankan perannya tanpa dihantui tekanan ekonomi. Islam memandang ayah dan ibu sebagai dua tiang keluarga yang saling melengkapi. Ayah adalah pemimpin dan pendidik moral dan akhlak, sebagaimana dicontohkan Lukman al-Hakim dalam Al-Qur’an. Ibu berperan dalam mengasuh, menyusui, dan mendidik anak dengan kelembutan. Dalam sistem Islam, keduanya tidak saling menggantikan, tetapi berjalan beriringan membangun peradaban.

Solusi Islam terhadap krisis fatherless bersifat struktural. Negara harus menegakkan sistem ekonomi yang adil, tanpa riba, tanpa kesenjangan, serta menjamin lapangan kerja dengan upah layak. Dengan begitu, ayah dapat menjalankan fungsinya sebagai qawwam tanpa kehilangan waktu bersama keluarganya.

Sistem perwalian dalam Islam juga memastikan setiap anak memiliki figur ayah. Jika seorang anak kehilangan ayah biologis, maka wali akan mengambil alih peran perlindungan dan bimbingan. Inilah bentuk tanggung jawab sosial yang mencegah anak tumbuh tanpa arah dan tanpa kasih.

Baca Juga: Mengapa Tidak Satu pun dari Bandung Raya Masuk 10 Besar UI GreenCity Metrics 2025?

Maka, fenomena fatherless sejatinya mencerminkan krisis sistemik: ketika nilai-nilai spiritual disingkirkan dari kehidupan. Selama paradigma materialistik ini bertahan, keluarga akan terus kehilangan keintiman dan makna.

Sudah saatnya kita mengembalikan ayah ke rumah, bukan hanya dengan tubuhnya, tetapi dengan waktunya, teladannya, dan imannya.

Dalam sistem Islam yang berkeadilan, keluarga bukan sekadar unit ekonomi, melainkan pusat kasih sayang dan pendidikan peradaban. Dari sanalah lahir generasi kuat, yang tumbuh dalam bimbingan cinta dan cahaya nilai-nilai Ilahi. (*)

Tags:
masalah keluargaketidakhadiran ayahfatherless

nonny irayanti

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor