Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. (Sumber: Pexels/Matafanaku)

Ayo Netizen

Ironi Kota Inovasi: Bandung Raya Tereliminasi dari 10 Besar Kabupaten Kota Berkelanjutan 2025

Selasa 21 Okt 2025, 07:13 WIB

Kabar dari ajang UI GreenCityMetric 2025 menggema ke berbagai penjuru Indonesia: 10 kabupaten/kota paling berkelanjutan diumumkan. Kota-kota seperti Surabaya, Madiun, Semarang, Medan, Kediri, Salatiga, Banjarbaru, Trenggalek, Wonogiri, dan Magelang menjadi sorotan nasional bahkan dipuji karena komitmennya terhadap tata kelola hijau.

Namun, di tengah gegap gempita itu, ada satu kabar yang terdengar ironi: tak satu pun perwakilan Bandung Raya masuk dalam daftar tersebut. Bagi kawasan metropolitan yang kerap disebut sebagai kota inovasi, kreatif, pusat pendidikan, dan budaya di Jawa Barat, absennya ini bukan sekadar angka statistik. Ia adalah cermin kebijakan publik yang menunjukkan ada ruang kosong antara visi dan praktik, antara narasi pembangunan dan keberlanjutan nyata.

Meskipun begitu, ada satu catatan penting yang tak boleh luput dari perhatian: jejak langkah Kota dan Kabupaten di Bandung Raya sebenarnya tidaklah sunyi dalam peta keberlanjutan nasional. Tahun 2025, Kota Bandung berhasil menembus 20 besar dengan skor 6.297,5 melonjak dari peringkat 25 di tahun 2023 dengan skor 5.250. Dua tahun sebelumnya, Kabupaten Bandung mencatatkan diri di posisi 27 besar dengan skor 5.207,5, sementara Kota Cimahi pernah menorehkan capaian 21 besar pada 2022 dengan skor 4.575.

Deretan angka ini bukan sekadar statistik melainkan penanda denyut potensi yang terus berusaha menembus batas. Namun, di balik apresiasi atas capaian tersebut, terselip refleksi yang lebih dalam: jarak antara potensi besar dan prestasi nyata masih terbentang cukup lebar.

Artinya, Bandung Raya belum benar-benar tampil sebagai lokomotif keberlanjutan yang seharusnya bisa ia perankan. Capaian ini adalah pijakan, bukan garis akhir dan justru menjadi cermin yang mengajak kita bertanya: sejauh mana potensi besar itu benar-benar diterjemahkan menjadi langkah konkret.

Peringkat di ajang UI GreenCityMetric tentunya bukan sekadar ajang lomba seremonial. Ia adalah instrumen diagnosis kebijakan publik, memberi potret sejauh mana daerah benar-benar mengimplementasikan prinsip keberlanjutan dalam kebijakan, sistem, dan operasional pemerintahannya.

Dari 71 kota dan kabupaten peserta tahun ini, Bandung Raya tidak muncul di sepuluh besar. Pertanyaannya mengemuka: mengapa wilayah dengan potensi inovasi yang besar, jejaring akademik kuat, dan ekosistem masyarakat kreatif dan progresif ini gagal menembus panggung utama keberlanjutan nasional?

Baca Juga: Pentingkah Green City Metric bagi Clean Government?

UI GreenCityMetric merupakan pemeringkatan bagi Kabupaten/Kota di Indonesia di bidang keberlanjutan dan pertama kali diluncurkan pada tahun 2022. Program UI GreenCityMetric mengukur performa keberlanjutan kabupaten/kota berdasarkan enam kriteria strategis: Penataan Ruang dan Infrastruktur,Energi dan Perubahan Iklim,Tata Kelola Limbah, Tata Kelola Air,Akses dan Mobilitas, dan Tata Pamong.

Sebagaimana dinyatakan Dr. Nyoman Suwartha, S.T., M.T., MAgr., Wakil Kepala UI GreenMetric Bidang Administrasi, Riset, dan Pengembangan. Terdapat penguatan indikator baru dalam UI GreenCityMetric 2025, berupa peningkatan kesadaran yang ditaruh di setiap kriteria utama sebagai upaya mendorong sinergitas antara upaya pemerintah daerah yang berimplikasi langsung dengan peningkatan kesadaran masyarakat.

Harapannya, ini dapat mendorong perubahan sikap (behavioural change) masyarakat terkait implementasi keberlanjutan. Dengan peluncuran ini, berharap UI GreenCityMetric dapat menjadi acuan dalam membangun kabupaten/kota yang lebih hijau, berkelanjutan, dan sejalan dengan visi pembangunan nasional serta tujuan pembangunan berkelanjutan ((SDGs).

Hiruk pikuk lalu lintas di Kota Bandung tak lagi hanya didominasi oleh deru mesin mobil dan motor. Kini, sepeda turut meramaikan jalanan, menjadi simbol baru gaya hidup sehat. (Sumber: Ayobandung.id)

Tereliminasinya Bandung Raya dalam 10 besar nominator nasional, tidak dapat dimaknai sebagai kegagalan teknis semata. Ini adalah gejala struktural dari kebijakan publik yang perlu dievaluasi serius. Setidaknya ada tiga faktor kunci.

Pertama,  Fragmentasi tata kelola regional. Bandung Raya mencakup lebih dari satu wilayah administrasi: Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan sebagian Kabupaten Sumedang. Kompleksitas lintas batas ini menyulitkan koordinasi kebijakan khususnya dalam isu tata ruang, mobilitas, dan pengelolaan lingkungan. Tanpa platform tata pamong metropolitan yang kuat, visi kolektif sulit diwujudkan.

Kedua, Kebijakan yang masih parsial. Banyak program keberlanjutan di Bandung Raya hadir sebagai pilot project atau kampanye sektoral baik taman kota, transportasi publik dan pengurangan sampah plastik. Sayangnya, pendekatan ini tidak membentuk dampak sistemik, sebagaimana indikator GreenCityMetric yang menuntut keterpaduan kebijakan dari hulu ke hilir.

Ketiga, Tantangan sosial-lingkungan yang berat. Kepadatan penduduk, kemacetan kronis, polusi udara, keterbatasan RTH, dan masalah limbah menjadi beban khas metropolitan. Dalam situasi ini, upaya keberlanjutan sering kali hanya reaktif, bukan transformatif.

Lihat bagaimana Kota Surabaya melangkah. Kota ini tidak hanya memiliki kebijakan lingkungan progresif, tetapi juga melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan eksekusi kebijakan.

Contoh lain, Kota Madiun, menunjukkan bahwa kota menengah pun bisa menjadi living lab keberlanjutan yang mengintegrasikan tata kelola energi, air, dan mobilitas dengan pendekatan adaptif terhadap perubahan iklim.

Bandung Raya memiliki semua modal untuk melampaui capaian ini: jaringan perguruan tinggi, kapasitas SDM, dan ekosistem masyarakat sipil yang dinamis. Yang dibutuhkan hanyalah political will dan konsistensi kebijakan publik.

Di sisi yang lain, keberlanjutan kota tidak akan lahir tanpa transparansi. Dalam konteks ini, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjadi fondasi penting. Keterbukaan informasi bukan hanya kewajiban administratif, tapi juga alat demokrasi lingkungan.

Ketika publik dapat mengakses data tentang: alokasi anggaran lingkungan, progres pengelolaan sampah dan air, pengendalian emisi, serta perencanaan tata ruang, maka tekanan sosial dan mekanisme akuntabilitas publik akan menguat.

Minimnya representasi Bandung Raya dalam UI GreenCityMetric kemungkinan menjadi indikator lemahnya dokumentasi dan pelaporan publik, atau bahkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan. Tanpa data terbuka, kebijakan sulit dikoreksi, partisipasi sulit tumbuh bahkan inovasi pun sering menguap ke permukaan.

Sebaliknya, kota-kota pemenang dikenal memiliki sistem pelaporan yang terbuka dan akuntabel bukan sekadar spanduk hijau tanpa substansi.

Absennya Bandung Raya dalam sepuluh besar adalah alarm peringatan sekaligus peluang pembenahan. Ada empat langkah strategis yang bisa diambil.

Pertama,  Membangun platform tata pamong metropolitan. Diperlukan kerangka koordinasi formal antar wilayah untuk mengatasi fragmentasi kebijakan.

Kedua, Mengarusutamakan keberlanjutan dalam RPJMD. Program hijau tidak boleh berhenti pada kampanye, tetapi menjadi arus utama kebijakan pembangunan.

Ketiga, Mendorong kolaborasi lintas sektor. Dalam hal ini, dunia usaha, kampus, dan komunitas perlu dilibatkan aktif dalam perencanaan dan pengawasan.

Keempat,  Menumbuhkan kepemimpinan hijau dan transparansi. Kabupaten/Kota berkelanjutan lahir dari kepemimpinan politik dan sosial yang berani membuka data dan mengundang partisipasi.

Baca Juga: Bandung dan Paradoks Keberlanjutan: Antara Data, Fakta, dan Kesadaran Warga

Absennya Bandung Raya dalam daftar 10 Kabupaten kota paling berkelanjutan bukanlah akhir cerita, melainkan bab awal untuk koreksi arah. Kota-kota pemenang hari ini tidak tumbuh dalam semalam, mereka membangun fondasi kebijakan, transparansi, dan kolaborasi bertahun-tahun.

Keberlanjutan adalah maraton, bukan sprint. Jika Bandung Raya mampu membuka datanya, menyatukan tata pamongnya dan mengeksekusi kebijakan secara sistemik, maka ketertinggalan hari ini dapat menjadi lompatan strategis esok hari.

Kota yang berkelanjutan bukan sekadar kota yang hijau secara fisik, tetapi juga transparan secara kebijakan dan partisipatif secara sosial. (*)

Tags:
Kabupaten Kota Berkelanjutan 2025Bandung RayaUI GreenCityMetric 2025

Yudaningsih

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor