Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender atau biasa kita dengar dengan singkatan LGBT. Baru-baru ini terjadi beberapa perdebatan di salah satu platform media sosial tentang apakah LGBT harus dikecam atau kita harus hidup berdampingan dan menyambut baik komunitas homoseksual ini.
Banyak sekali pendapat dari berbagai sudut pandang individu. Ada yang menganggap bahwa homoseksual merupakan penyimpangan, ada juga yang menganggap bahwa homoseksual itu bukanklah suatu penyimpangan.
LGBT sendiri terasa bak begitu mudah untuk ditemui di media sosial. Tidak hanya platform-platform tertentu, hampir di semua platform media sosial bisa kita temui semua tentang LGBT.
Namun, pernahkan anda berpikir mengapa LGBT akhir-akhir ini seperti begitu marak di media sosial, atau bahkan di dunia nyata sekalipun? Artikel ini akan membahas alasan dibalik maraknya LGBT dari sudut pandang Sejarah Psikologi.
Jika kita berpikir bahwa LGBT hanya mulai tumbuh akhir-akhir ini, maka kita sangat salah. Sebagian besar mungkin tahu tentang homoseksual sudah ada sejak cerita Nabi Luth dalam kepercayaan ibrani.
Setelah itu, beberapa orang mungkin berpendapat bahwa homoseksual merupakan penyimpangan atau kelainan mental. Argumen tersebut tidak sepenuhnya salah, karena memang homoseksual sempat dikategorikan sebagai penyakit mental.
Sejarah Singkat Penghapusan LGBT dari Salah Satu Gangguan Kejiwaan
Sejak awal abad ke-20, homoseksual merupakan satu dari sekian gangguan mental, dan ini tercantum dalam DSM (Diagnostic and Stastical Manual of Mental Disorders) yang menjadi alat diagnosa gangguan mental di dunia Psikologi. Lebih tepatnya pada DSM-1 dan DSM-2, awalnya memang homoseksual merupakan gangguan mental. Lalu, mengapa sekarang tidak lagi?
Sejak pertengahan abad ke-20, banyak studi ilmiah menunjukkan bahwa orientasi seksual tidak berkaitan dengan gangguan kepribadian ataupun gangguan fungsi psikologis. Penelitian yang dilakukan oleh Evelyn Hooker pada tahun 1957 membandingkan pria heteroseksual dan homoseksua yang tidak sedang menjalani terapi psikologis apapun. Hasilnya, tidak ada perbedaan yang signifikan dari kesehatan mental mereka.
Desakan dari komunitas juga menjadi pertimbangan yang sangat memengaruhi dihapusnya homoseksual dari kategori gangguan psikologis. Sejak akhir tahun 60-an, banyak sekali muncul gerakan pembebasan gay dari patologisasi, dan menybut bahwa homoseksual adalah bentuk represi medis dan sosial. Ada beberapa peristiwa demonstrasi penting yang menjadi perjuangan dari kaum ini untuk keluar dari stigma buruk masyarakat.
Demonstrasi penting yang pertama terjadi pada tahun 1970. Para aktivis dari kelompok Gay Liberation Front dan Gay Activists Alliance mulai mendatangi konfrensi profesional, termasuk pertemuan tahunan APA (American Psychiatric Assosiation).
Kemudian pada tahun 1971 di pertemuan APA di Washington, D.C, aktivis menyerbu secara langsung podium dan mengambil mikrofon. Beberapa psikiater dan psikolog gay kemudian mulai bergabung dalam komunitas profesi, meskipun beberapa harus menyamar karena takut dikucilkan.
Tidak berhenti hanya sampai sana. Pada tahun 1972, kemunculan Dr. John E. Fryer atau lebih dikenal pada tahun itu sebagai Dr. Anonymous dalam perkenalannya. Ia bersaksi dalam pertemuan APA pada tahun itu bahwa, banyak psikiater gay takut terbuka karena mereka bisa saja kehilangan pekerjaan dan reputasi. Testimoni ini menjadi momen yang sangat emosional dan membuka mata banyak anggota APA.
Akhirnya, pada tahun 1973 APA menghapus homoseksualitas dari DSM-2. Setelah diskusi panjang pun tekanan internal dan eksternal, APA mengadakan voting dengan hasil lebih dari separuh anggota Dewan Direksi APA setuju untuk menghapus homoseksualitas sebagai gangguan mental. Homoseksual kemudian diganti dengan istilah baru “ego-dystonic homosexuality”, yang hanya akan dianggap sebagai gangguan bila menyebabkan stres yang mendalam bagi individu tersebut.
Dengan dihapusnya homoseksualitas dari DSM, ini memberikan dampak yang cukup besar pada bidang sains, sosial, dan etika profesi. Kebijakan ini mendotong penelitian seksualitas menjadi lebih netral dan objektif di bidang sains. Dalam bidang sosial sendiri, kebijakan ini menjadi landasan bagi perjuangan hak-hak LGBT di bidang hukum. Sedangkan dalam etika profesi, ini mendorong reformasi etik di tubuh APA dan organisasi psikologi atau psikiatri lain di seluruh dunia.
Penghapusan homoseksualitas dari patologisasi dalam dunia psikologi faktanya tidak diterima masyarakat secara luas, terutama di Indonesia yang merupakan negara dengan mayoritas penduduknya adalah seorang muslim.
Memang benar, dalam beberapa agama, LGBT merupakan bentuk penyimpangan dan ganjaran dari perilaku tersebut adalah dosa. Karena dalam keyakinan tersebut, manusia diciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita. Namun, perilaku menindas kaum LGBT tidak dibenarkan secara hukum. Jangan main hakim sendiri, laporkan ke pihak terkait dan berwenang untuk mengatasi komunitasnya. (*)