Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mulai bergulir sejak awal 2025 menjadi salah satu terobosan besar pemerintah dalam membangun generasi Indonesia yang sehat dan cerdas menuju Indonesia Emas 2045. Dengan anggaran mencapai Rp450 triliun per tahun, program ini menargetkan lebih dari 30 juta penerima manfaat, mulai dari ibu hamil, ibu menyusui, anak balita, hingga siswa dari PAUD sampai SMA.
Namun, di balik niat mulia tersebut, pelaksanaan MBG di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan serius. Kasus keracunan massal di sejumlah daerah yang menimpa lebih dari 6.400 orang menjadi alarm penting bahwa tata kelola program ini perlu diperbaiki secara mendasar.
Sejumlah temuan dari Ombudsman RI mengungkap berbagai persoalan dalam pelaksanaan MBG: mulai dari kesenjangan antara target dan realisasi, penetapan mitra yang belum transparan, keterbatasan SDM, hingga belum adanya standar mutu bahan baku yang tegas.
Belum lagi beban tambahan bagi guru yang harus mengatur distribusi makanan, serta sistem pengawasan yang masih bersifat reaktif dan belum sepenuhnya berbasis data.
Program sebesar ini sejatinya bukan sekadar soal menyediakan makanan bergizi, tetapi juga soal manajemen dan pembelajaran kebijakan publik. Untuk itulah, pendekatan manajemen pengetahuan (knowledge management) menjadi sangat penting.
Manajemen pengetahuan berarti menjadikan setiap pengalaman baik keberhasilan maupun kegagalan sebagai bahan pembelajaran kolektif. Dalam konteks MBG, pendekatan ini membantu mengubah peristiwa seperti kasus keracunan menjadi sumber pengetahuan berharga agar tidak terulang di masa depan.
Contoh baik bisa dilihat di Desa Maria, Nusa Tenggara Barat, yang berhasil menjalankan program MBG dengan baik melalui semangat gotong royong. Masyarakat di sana dilibatkan secara aktif, mulai dari penyediaan bahan lokal hingga pengawasan mutu. Praktik baik semacam ini perlu didokumentasikan, dibagikan, dan direplikasi ke wilayah lain.
Mengapa Manajemen Pengetahuan Penting untuk MBG

Ada lima alasan utama mengapa manajemen pengetahuan menjadi tulang punggung pengelolaan MBG yang efektif:
1. Pelestarian pengalaman lapangan
Setiap daerah memiliki konteks unik. Tanpa dokumentasi, solusi lokal dan inovasi masyarakat bisa hilang begitu saja.
2. Replikasi praktik baik
Dengan manajemen pengetahuan, praktik terbaik bisa diidentifikasi dan diadaptasi oleh daerah lain tanpa harus mengulang kesalahan yang sama.
3. Penguatan kapasitas SDM
Pelatihan dan pembelajaran bisa dilakukan lebih efisien lewat modul, video, atau forum daring antar daerah.
4. Evaluasi berbasis bukti
Dokumentasi sistematis membantu proses monitoring dan evaluasi yang lebih objektif, serta mempercepat perbaikan kebijakan.
5. Dorongan inovasi
Kolaborasi lintas daerah dan sektor membuka ruang lahirnya gagasan baru dalam penyelenggaraan program.
Baca Juga: Eskalasi Kekecewaan terhadap MBG: Perspektif Kualitas Kebijakan
Agar manajemen pengetahuan berjalan efektif, perlu dibangun sistem yang terintegrasi dari pusat hingga daerah. Badan Gizi Nasional (BGN) dapat menjadi motor penggerak dengan membentuk unit khusus pengelola pengetahuan di setiap jenjang pemerintahan.
Selain itu, dibutuhkan platform digital nasional yang menyimpan data, laporan, panduan, hingga studi kasus dari seluruh wilayah. Platform ini bukan hanya arsip, tetapi wadah kolaborasi antar pelaksana program di lapangan.
Budaya berbagi pengetahuan juga harus ditanamkan melalui workshop, forum pembelajaran, dan diskusi terbuka. Dengan cara ini, MBG bukan sekadar program sosial, melainkan ekosistem pembelajaran nasional.
Baca Juga: Program MBG, antara Harapan dan Kenyataan
Keberhasilan MBG tidak hanya diukur dari banyaknya anak yang menerima makanan bergizi, tetapi juga dari kemampuan bangsa ini untuk belajar dari setiap pengalaman dan berinovasi terus-menerus.
Dengan mengelola pengetahuan secara sistematis, program Makan Bergizi Gratis bisa menjadi warisan kebijakan yang berkelanjutan bukan hanya memberi makan hari ini, tetapi juga membangun fondasi bangsa yang mampu belajar dan tumbuh untuk masa depan. (*)