Siswa hari ini adalah potret generasi yang hidup di persimpangan jalan. Di ujung jari mereka tergenggam seluruh pengetahuan dunia, namun pencarian jati diri yang mereka alami kini berlangsung di panggung yang jauh lebih bising dan ekstrem.
Tekanan dari teman sebaya tidak lagi terbatas di gerbang sekolah, melainkan berlanjut 24 jam di dunia maya, memaksa mereka untuk terus membuktikan eksistensinya. Untuk dianggap ada dan diterima, seorang siswa seringkali merasa harus melakukan sesuatu yang nekat atau bahkan melanggar.
Dalam konteks ini, tindakan indisipliner bukan lagi sekadar kenakalan biasa. Ia telah bergeser menjadi sebuah sinyal lencana kehormatan semu, teriakan minta perhatian, sekaligus penegasan identitas di tengah kebingungan.
Pendidik dan Sistem yang Terjebak
Kasus penamparan di Banten adalah contoh tragis dari benturan dua dunia ini, dunia siswa yang menguji batas untuk diakui, dan dunia guru yang bertugas menjaga keteraturan dengan metode yang mungkin tak lagi relevan bagi generasi ini.
Terdapat bagian bagian dilematis dalam kondisi tersebut dimana dilema yang dihadapi oleh pendidik di lapangan dengan kenyataan bahwa mereka dituntut oleh aturan dan tanggung jawab untuk menegakkan disiplin dan membentuk karakter siswa.
Namun di sisi lain, setiap tindakan tegas yang mereka ambil kini berada di bawah sorotan tajam hukum perlindungan anak dan pengadilan media sosial, yang dapat seketika menghancurkan karier mereka. Mereka terjebak antara tuntutan profesi untuk bertindak dan risiko pribadi jika tindakan itu dianggap melampaui batas. Adapun dilema yang dihadapi oleh sistem pendidikan dan masyarakat yang mana ketika ingin melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan dan trauma, menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan ramah.
Namun di sisi lain, dengan membatasi otoritas guru secara ketat, kita berisiko menciptakan efek lumpuh di mana para pendidik menjadi takut untuk mendisiplinkan, yang pada akhirnya justru dapat menyuburkan budaya permisif dan kenakalan remaja yang lebih parah.
Bukan hanya itu, kondisi tersebut memiliki dampak terhadap respons jangka pendek dan dampak jangka panjang, dimana Menghukum siswa yang melanggar secara langsung dan tegas,mungkin terasa efektif untuk memberikan efek jera seketika dan menegaskan kembali aturan yang ada. Namun, tindakan ini seringkali meninggalkan luka psikologis jangka panjang pada siswa dan merusak hubungan kepercayaan antara pendidik dan murid, yang merupakan fondasi utama dari proses belajar itu sendiri, belum lagi framing media yang pada era ini semakin masif telah menjadi pengadilan sebagai vonis sanksi sosial di masyarakat.
Dengan Memilih untuk tidak menghukum secara fisik dan mengedepankan dialog mungkin terlihat ideal dan manusiawi. Akan tetapi, jika pendekatan ini tidak diimbangi dengan ketegasan dan sistem konsekuensi yang jelas, berisiko diartikan sebagai kelemahan oleh siswa. Akibatnya, dalam jangka panjang, sekolah justru bisa kehilangan kendali atas disiplin dan tanpa sadar menumbuhkan generasi yang merasa bisa melakukan apa saja tanpa ada akibat yang berarti.
Jerat Solidaritas Buta

Sebagai dampak hal tersebut kemudian muncul reaksi dari beberapa pihak seperti aksi mogok sekolah yang dilakukan oleh seluruh siswa yang dianggap sebagai bentuk solidaritas, ini menimbulkan ambiguitas moral yang membingungkan. Di satu sisi, tindakan para siswa ini bisa dilihat sebagai wujud kekompakan yang luar biasa, sebuah pembelaan terhadap kawan mereka yang diperlakukan sewenang-wenang.
Namun di sisi lain, aksi ini secara tidak langsung tidak mengindahkan akar permasalahan pelanggaran tata tertib serius yang dilakukan oleh siswa itu sendiri. Solidaritas yang ditampilkan menjadi pedang bermata dua, berisiko mengirimkan pesan yang salah bahwa melanggar aturan adalah hal yang wajar dan membela teman yang bersalah adalah sebuah kewajiban, bahkan jika harus mengorbankan hak belajar mereka sendiri.
Di sinilah kita harus menyadari posisi siswa sebagai kelompok yang berada dalam fase krusial pembentukan karakter, namun sekaligus sangat rentan terhadap provokasi dan doktrinasi. Nalar kritis mereka sejatinya masih perlu diasah untuk dapat memilah-milah suatu kejadian secara utuh.
Aksi mogok massal ini adalah cermin dari bagaimana emosi kolektif dan semangat satu rasa dapat dengan mudah mengalahkan logika dan pertimbangan objektif. Sangat mungkin, aksi ini bukan murni lahir dari kesadaran penuh setiap individu, melainkan hasil dari tekanan kelompok atau ajakan provokatif yang menyebar cepat, khas di lingkungan remaja.
Pada akhirnya, solidaritas buta semacam ini tidak mendidik. Ia justru mengajarkan bahwa kebenaran bisa dinegosiasikan demi pertemanan, dan aturan bisa dilumpuhkan oleh aksi massa. Ini menjadi tugas berat bagi dunia pendidikan, bukan hanya tentang bagaimana guru harus mendisiplinkan, tetapi juga bagaimana mengajarkan siswa esensi dari solidaritas yang benar solidaritas yang berdiri di atas kebenaran dan keadilan, bukan sekadar pembelaan buta atas nama kawan.
Peran Kunci Pendidik, Siswa, dan Orang Tua
Untuk mengatasi dilema yang dihadapi 3 aktor utama yang berkaitan yaitu Pendidik, Siswa dan orang tua. Dari segi pendidik, perlu ada pergeseran dari metode hukuman ke pendekatan disiplin yang mendidik. Kerangka ini harus fokus pada pembangunan karakter dan tanggung jawab internal siswa, bukan sekadar memberikan efek jera sesaat yang dapat meninggalkan luka psikologis. Ini akan memberikan kepastian bagi guru tentang tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Siswa biasanya melakukan Tindakan indisipliner sebagai teriakan minta perhatian atau fomo. Sekolah dapat mengurangi ini dengan menyediakan wadah bagi siswa untuk berekspresi secara konstruktif. Seperti sebuah forum rutin yang dimoderasi oleh konselor sekolah di mana siswa dapat menyuarakan tekanan, kecemasan, dan ide mereka tanpa takut dihakimi.
Bukan hanya dalam ruang lingkup sekolah, pada saat ini Tekanan teman sebaya tidak lagi terbatas di gerbang sekolah tetapi berlanjut 24 jam di dunia maya. Oleh karena itu, kolaborasi dengan orang tua adalah kunci. Sekolah dapat mengadakan seminar bagi orang tua tentang pengasuhan anak di era digital dan menciptakan jalur komunikasi yang terbuka untuk membahas perkembangan karakter siswa, bukan hanya nilai akademik.
Menghadapi generasi yang berdiri di persimpangan jalan, kita dihadapkan pada sebuah pilihan: terus menggunakan peta lama yang usang atau mulai menggambar rute baru bersama. Setiap hari kita menunda untuk berbenah—sebagai pendidik, siswa, maupun orang tua—adalah satu hari di mana kita membiarkan mereka tersesat lebih jauh di panggung yang bising ini.
Perubahan dalam cara kita mendidik dan berkomunikasi bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan untuk menyelamatkan masa depan. (*)