Hari Kebudayaan Nasional: Membuka Selubung Identitas Sinkretik Kita

Arfi Pandu Dinata
Ditulis oleh Arfi Pandu Dinata diterbitkan Minggu 26 Okt 2025, 20:02 WIB
Kebudayaan tradisional Indonesia. (Sumber: Pexels/Muhammad Endry)

Kebudayaan tradisional Indonesia. (Sumber: Pexels/Muhammad Endry)

Penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon menuai perdebatan yang menarik. Di satu sisi, keputusan itu tampak seperti langkah afirmatif untuk menegaskan kembali pentingnya kebudayaan sebagai landasan kehidupan berbangsa. Namun di sisi lain, publik tak bisa menahan tawa getir. Tanggal itu kebetulan sama dengan hari lahir Prabowo Subianto, sang presiden.

Sulit rasanya tidak curiga. Apa ini sekadar sama, atau justru simbol bagaimana kekuasaan di negeri ini kerap menjadikan kebudayaan sebagai panggung legitimasi?

Fadli Zon sendiri menegaskan bahwa penetapan tanggal 17 Oktober merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang lambang negara. Hari itu dianggap bersejarah karena Soekarno meresmikan Garuda Pancasila sebagai lambang negara, sekaligus memperkenalkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika selaku identitas pemersatu bangsa yang majemuk.

Alasan itu tampak mulia dan logis, mengaitkan hari kebudayaan dengan simbol nasional yang menggambarkan falsafah hidup bangsa, kekayaan budaya, toleransi, dan persatuan. Tapi bukankah narasi seperti itu sudah terlalu sering menjadi klise? Formal, penuh basa-basi, dan berputar-putar di sana.

Simbol dan Semboyan Negara

Sebab kalau benar menjadikan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional, maka kita perlu keberanian untuk menyingkap kebudayaan dari lapisan yang lebih dalam. Kita perlu menantang pemaknaannya, menggali sisi yang selama ini disembunyikan. Bahwa kebudayaan Indonesia tidak lahir dari kemurnian, melainkan dari percampuran, sinkretisme, dan perjumpaan lintas tradisi yang panjang dan rumit.

Garuda Pancasila, misalnya, berakar pada sosok yang sejak abad ke-6 muncul di relief Candi Dieng, Prambanan, dan Penataran sebagai kendaraan Dewa Wisnu, lambang kekuatan dan kesetiaan. Pada 1949, Sultan Hamid II merancangnya dalam bentuk antropomorfis, setengah manusia setengah burung. Namun Soekarno dan Natsir menolaknya karena dipandang terlalu mitologis, lalu mengubahnya menjadi rajawali yang lebih rasional.

Tapi bagaimanapun juga, Garuda tetaplah makhluk mitologis. Ia berasal dari tradisi Hindu, yang jejaknya mengakar di India dan menyeberang ke Nusantara. Dengan kata lain, bahkan simbol negara kita pun berdiri di atas fondasi sinkretik.

Demikian pula dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Frasa itu diambil dari kitab Sutasoma karya Mpu Tantular, dan lengkapnya berbunyi “Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.” Artinya, “Berbeda-beda namun satu juga, tiada kebenaran yang mendua.” Jujur saja, kalimat itu bukan semboyan politik, melainkan ajaran religius yang ingin menyatukan dua tradisi besar di Nusantara. Agama Siwa dan Buddha. Ia adalah seruan bagi umat yang berbeda jalan untuk tetap menuju satu kebenaran.

Ironisnya, aspek religius dan sinkretik inilah yang sering dihapus dari wacana resmi kebangsaan. Kita hanya mengutip permukaannya, tetapi mengabaikan sukmanya. Kita seakan takut mengakui bahwa dasar identitas kita sendiri bersumber dari percampuran yang cair dan penuh paradoks. Garuda yang mitologis. Semboyan yang lahir dari teks keagamaan sinkretik.

Negeri Campur Baur

Karya seni berbentuk patung di tengah Hutan Maribaya yang diduga kuat merupakan karya dua orang seniman anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat yaitu Tubagus Chutbani BA dan Unu Pandi. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Restu Nugraha)
Karya seni berbentuk patung di tengah Hutan Maribaya yang diduga kuat merupakan karya dua orang seniman anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat yaitu Tubagus Chutbani BA dan Unu Pandi. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Restu Nugraha)

Indonesia, negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia, menempatkan Islam pada posisi istimewa dalam birokrasi dan kehidupan publik. Negara mengatur madrasah, pesantren, peradilan agama, haji, penentuan hilal, hingga sertifikasi halal. Dari bank syariah sampai Kantor Urusan Agama, seluruh sistem pelayanan umat tersedia, menunjukkan wajah modernitas Indonesia yang dibentuk dalam napas religiusitas Islam.

Namun di balik identitas religius itu, tersimpan lapisan makna yang lebih tua dan beragam. Sang Saka Merah Putih, misalnya, dalam kosmologi lokal bukan sekadar lambang keberanian dan kesucian, melainkan simbol asal-usul kehidupan. Darah ibu dan sperma bapak, perpaduan unsur yang melahirkan dunia. Bahkan tanah air yang kita panggil Ibu Pertiwi adalah personifikasi seorang Dewi, sosok ilahi feminin yang menjiwai bumi Nusantara.

Di sinilah paradoks Indonesia menemukan bentuknya. Sebuah bangsa modern yang melantangkan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa,” namun fondasi imajinatifnya tetap berdenyut dari akar spiritualitas leluhur.

Asas negara memang berpijak pada sila “Ketuhanan Yang Maha Esa,” tetapi penyebutan Sang Ilahi dengan istilah “Tuhan” justru lahir dari jejak sejarah lintas budaya dan kolonial. Kata “Tuhan” berasal dari Melayu tuan, sebutan bagi orang berpangkat atau majikan, yang diangkat oleh penerjemah Alkitab Belanda abad ke-17 sebagai padanan Lord atau Kyrios. Dari sanalah istilah ini menyebar dan menjadi bahasa bersama lintas agama di Indonesia, menandai konsep ketuhanan kita pun lahir dari perjumpaan seperti ini.

Seolah-olah Aib

Namun dalam praktik bernegara hari ini, kecenderungannya justru berlawanan. Sinkretisme yang sesungguhnya menjadi nadi kebudayaan Nusantara sering dianggap najis, tak murni, atau menodai iman. Kita dididik untuk memalsukan ucapannya dengan istilah yang terdengar lebih halus seperti “akulturasi” atau “asimilasi”, seolah-olah perpaduan agama dan tradisi hanya bisa diterima bila dibersihkan dari kesan religius. Padahal justru dari ketegangan dan percampuran itulah lahir keindonesiaan kita yang paling hakiki.

Di samping itu, tradisi spiritual lokal disederhanakan menjadi “kebudayaan” semata, dipisahkan dari ranah agama, dari “kepercayaan” yang dianggap tak resmi. Negara modern kita berusaha memurnikan warganya dalam kategori tungga, satu agama, satu kepercayaan, satu cara beriman. Padahal kenyataannya, kehidupan sehari-hari kita masih dijalani secara multiple religious belonging. Kita muslim tapi tetap percaya pada kesaktian dan jimat, kita kristiani tapi sembahyang di altar leluhur.

Di titik ini, perayaan Hari Kebudayaan Nasional seharusnya menjadi ruang untuk bercermin. Di balik slogan toleransi dan keberagaman, terdapat kenyataan religius yang kompleks tentang siapa kita sebenarnya. Lalu beranikah negara dan kita mengakui kenyataan itu sebagai bagian yang sah dari kebudayaan nasional?

Inilah ujian sesungguhnya bagi peringatan Hari Kebudayaan Nasional, apakah ia sekadar seremoni kosong atau momentum untuk jujur terhadap identitas bangsa yang lahir dari racikan, adaptasi, bahkan penaklukan, yang memuat lapisan-lapisan lokal, Hindu-Buddha, Tiongkok, Islam, Kristen, kolonialisme Barat, modernitas, Jawa-sentrisme, mayoritarisme? Semua itu sudah saling menembus, membentuk identitas kita yang ambigu sekaligus kaya.

Marilah kita bertaubat, marilah kita waspada pada retorika tentang “kebudayaan yang asli” atau “jati diri bangsa yang murni”. Narasi semacam itu sering menjadi alat kuasa, membungkam yang berbeda, menolak perubahan, atau menutupi sejarah percampuran yang sebenarnya menjadi sumber kekuatan kita.

Negara berisiko menstandarkan sesuatu yang boleh disebut budaya dan menyingkirkan yang dianggap benalu. Padahal kebudayaan kita adalah hasil silang perjumpaan yang hidup, identitas yang terus bergerak, bernegosiasi, menyerap tanpa batas.

Tanggal 17 Oktober sudah ditetapkan. Maka kini tinggallah pertanyaan, apakah kita cukup berani menjadikan kebudayaan sebagai cermin untuk mengakui bahwa kita lahir dari dunia yang sinkretik, religius, dan paradoksal? Baru ketika keberanian itu muncul, Hari Kebudayaan Nasional pantas dirayakan sebagai cara menjadi manusia Indonesia. Manusia Nusantara yang jujur pada kerumitan asal-usulnya, bukan sebagai alat kekuasaan, melainkan sebagai pengakuan atas kekayaan identitas yang sebenarnya. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Arfi Pandu Dinata
Menulis tentang agama, budaya, dan kehidupan orang Sunda
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 26 Okt 2025, 20:02 WIB

Hari Kebudayaan Nasional: Membuka Selubung Identitas Sinkretik Kita

Penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon menuai perdebatan yang menarik.
Kebudayaan tradisional Indonesia. (Sumber: Pexels/Muhammad Endry)
Ayo Netizen 26 Okt 2025, 18:47 WIB

Peringkat Liga Indonesia Naik, gegara Persib Menang di Asia

Persib memenangkan pertandingan melawan Selangor FC pada lanjutan ACL 2
Persib Bandung saat bermain di ACL 2. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 26 Okt 2025, 16:00 WIB

Mengangkat Martabat Dapur Pelatihan: Menyibak Peran Sunyi di Balik Pembelajaran ASN

Di balik sorotan pelatihan ASN, ada dapur senyap tempat dedikasi bekerja tanpa tepuk tangan.
Aparatur Negeri Sipil (ASN). (Sumber: bkpsdm.purworejokab.go.id)
Ayo Netizen 26 Okt 2025, 13:35 WIB

Kota Bandung Menuju Kota Mati?

Refleksi terhadap kegagalan Kota Bandung masuk 10 besar UI Greenmetric 2025.
Banjir di salah satu wilayah Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Jelajah 26 Okt 2025, 11:37 WIB

Urban Legend Gedung BMC, Rumah Sakit Terbengkalai Gudang Cerita Horor di Bandung

Kisah mistis dan sejarah Rumah Sakit BMC di Bandung, dari masa sebagai RS Sartika Asih hingga jadi legenda horor dengan hantu suster Belanda.
Gedung BMC yang banyak menyimpan kisah mistis. (Sumber: Ayobandung)
Ayo Netizen 26 Okt 2025, 10:30 WIB

Pelajaran dari Film Good Boy (2025), Saat ‘Kebaikan’ Berhenti Menjadi Konsep Sederhana

Film Good Boy (2025) menghadirkan kisah horor unik tentang anjing peliharaan.
Poster Good Boy 2025
Ayo Netizen 26 Okt 2025, 08:23 WIB

Budaya Pembungkaman Terhadap Perempuan

Suara perempuan kadang tak terdengar bahkan sebelum sampai ditelinga seseorang
Bagi perempuan terlalu vokal bukan sekedar ejekan moral, justru hal tersebut mengundang maut untuk perempuan yang punya keberanian berkata tidak. (Sumber: Freepik)
Ayo Biz 25 Okt 2025, 18:08 WIB

Bandung, Rumah Juara: Ketika Sepak Bola dan Basket Bersatu dalam Identitas Kota

Bandung bukan sekadar kota kreatif tapi rumah bagi semangat juara yang mengalir di setiap cabang olahraga, dari sepak bola hingga basket.
abak baru dalam sejarah basket Indonesia resmi dimulai, di mana Satria Muda Jakarta bertransformasi menjadi Satria Muda Bandung, menandai era baru yang menjanjikan bagi Kota Juara. (Sumber: dok. Satria Muda Bandung)
Ayo Biz 25 Okt 2025, 15:25 WIB

Lonjakan Lapangan Padel di Bandung, Momentum Baru bagi Brand Sportswear Lokal

Di Bandung, lapangan padel bermunculan di berbagai titik dan menjadi magnet baru bagi masyarakat urban yang mencari aktivitas fisik sekaligus gaya hidup.
Ilustrasi raket padel. (Sumber: The Grand Central Court)
Ayo Biz 25 Okt 2025, 15:02 WIB

Relaiv dari Produksi Bandung, Menembus Pasar Internasional Lewat Semangat Muda

Berawal dari ide menciptakan pakaian olahraga nyaman, multifungsi, dan terjangkau, Relaiv menjelma menjadi salah satu merek yang diperhitungkan di komunitas golf dan padel.
Berawal dari ide menciptakan pakaian olahraga nyaman, multifungsi, dan terjangkau, Relaiv menjelma menjadi salah satu merek yang diperhitungkan di komunitas golf dan padel. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 24 Okt 2025, 20:29 WIB

QRIS TAP dan Lompatan Digital Jawa Barat: Dari Bus Kota ke Mall, Transaksi Kini Sekejap Sentuh

Di tengah kehidupan urban yang serba cepat, sistem pembayaran digital yang aman, cepat, dan inklusif menjadi kebutuhan nyata.
QRIS TAP dirancang untuk memberikan pengalaman transaksi nontunai yang praktis dan menyeluruh, baik di sektor transportasi publik maupun pusat perbelanjaan modern. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 24 Okt 2025, 19:45 WIB

Ini Deretan Subgenre Film yang Tidak Banyak Diketahui!

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak film yang dirilis dengan menghadirkan beberapa genre.
Beragam jenis film. (Sumber: Pexels/Lucas Pezeta)
Ayo Biz 24 Okt 2025, 19:24 WIB

Long Live Metal: Skena Musik Keras Bandung Tak Pernah Mati

Meski mengalami penurunan massa, skena musik keras di Bandung justru menunjukkan daya tahan luar biasa, bukan hanya bertahan, tapi juga berevolusi.
Meski diguncang pandemi dan mengalami penurunan massa, skena musik keras di Bandung justru menunjukkan daya tahan luar biasa, bukan hanya bertahan, tapi juga berevolusi. (Sumber: Wikimedia Commons)
Ayo Netizen 24 Okt 2025, 17:15 WIB

IKN: Antara Kota Masa Depan dan Ruang Kemanusiaan

IKN menjanjikan masa depan baru Indonesia, namun tantangannya adalah bagaimana menjadikannya kota yang tetap ramah bagi manusia.
Desain resmi IKN. (Sumber: ikn.go.id)
Ayo Biz 24 Okt 2025, 16:11 WIB

Dari Kosan ke Pasar Internasional, Azarinnabila Janitra Menenun Mimpi Lewat Hi Paipe

Dari Hi Paipe, Arin tak pernah membayangkan bahwa hobi menjahit kecil-kecilan akan berkembang menjadi brand fashion lokal yang diminati hingga internasional.
Dari Hi Paipe, Arin tak pernah membayangkan bahwa hobi menjahit kecil-kecilan akan berkembang menjadi brand fashion lokal yang diminati hingga internasionl. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 24 Okt 2025, 16:02 WIB

Manajemen Pengetahuan: Kunci Sukses Program Makan Bergizi Gratis

Peningkatan pengelolaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) perlu dilakukan melalui penerapan manajemen pengetahuan.
Program Makan Bergizi Gratis. (Sumber: Indonesia.go.id)
Ayo Jelajah 24 Okt 2025, 15:53 WIB

Sejarah Kweekschool Bandung, Sakola Raja Gubahan Preanger Planters

Kweekschool Bandung berdiri sejak 1866 sebagai sekolah guru pertama di Jawa Barat. Kini bangunannya menjadi Mapolrestabes, menyimpan sejarah pendidikan kolonial yang panjang.
Bangunan Kweekschool Bandung sekitar tahun 1920-an. (Sumber: Tropenmuseum)
Ayo Netizen 24 Okt 2025, 15:38 WIB

Cara Sederhana Terapkan Etika Jurnalistik dalam Pekerjaan Sehari-hari

Berikut beberapa cara praktis yang bisa dilakukan untuk menjaga etika jurnalistik.
Ilustrasi jurnalis. (Sumber: Pexels/Nur Andi Ravsanjani Gusma)
Ayo Netizen 24 Okt 2025, 15:13 WIB

Sahabat sekaligus Pelatih, Vicky Angga Saputra Sosok di Balik Sukses Jonatan Christie

Namanya Vicky Angga Saputra seorang sahabat seangkatan Jojo dan Ginting, mantan penghuni Pelatnas PBSI.
Vicky Angga Saputra. (Sumber: Dok. Djarum Badminton)
Ayo Netizen 24 Okt 2025, 14:49 WIB

Mengarusutamakan Kesetaraan Gender: Setara dari Rumah, Adil hingga Negara

Kesetaraan gender bukan sekadar isu perempuan, tetapi cermin kematangan suatu bangsa.
Ilustrasi wanita Indonesia. (Sumber: Pexels/Nurul Sakinah Ridwan)