Tahun ini Bandung dikejutkan dengan sebuah fakta nominasi sebagai kota termacet no.1 di Indonesia. Dilansir dari ayobandung.com Bandung dinobatkan sebagai kota termacet menurut TomTom Traffic Ind ex 2024 karena rata-rata waktu tempuh di Kota Kembang mencapai 32 menit 37 detik per 10 kilometer menjadikannya kota dengan kategori waktu terlama yang hilang di jam sibuk.
Fenomena ini menjadi bukti nyata bahwa masih banyak permasalahan kompleks yang berkaitan dengan arus lalu lintas di Kota Bandung. Tentu banyak faktor yang menjadi alasan dan penyumbang kemacetan di Kota Bandung.
Sebetulnya jauh sebelum Kota Bandung dinobatkan menjadi kota termacet, saya pribadi sudah merasakan dampak kemacetan sejak tahun 2011 tepatnya saat masih bersekolah. Kemacetan menjadi pemandangan yang harus dihadapi setiap hari. Bersekolah di Kota Bandung membuat saya harus melintasi kawasan Cibaduyut yang tak pernah absen dari kemacetan.
Terlebih jika akhir pekan datang dan jauh saat Cibaduyut masih ramai oleh wisatawan dari luar kota. Sejumlah bis pariwisata datang memenuhi jalan, membuat sejumlah jalanan tersendat. Apalagi jika suasana ini terjadi saat bulan Ramadhan maka kemacetan akan parah.
Saat peminat angkot masih banyak-- mendapat kenyamanan duduk menjadi suatu kemustahilan karena kita harus berdesakan dengan penumpang lain. Berbeda dengan hari ini ketika penumpang angkot mungkin saja bisa selonjoran saking tidak adanya penumpang. Saat itu justru kursi yang bermuatan 6 orang harus dipaksakan menjadi 8 orang. Lutut yang menjadi tumpuan dari keseimbangan sering kali menjadi kaku dan berujung pada kram.
Sejak dulu saya tidak menyangka bahwa kemacetan akan merata ke seluruh bagian di Kota Bandung. Saya pikir kemacetan hanya akan menjadi ciri khas bagi Cibaduyut dan Rancamanyar. Namun tidak bisa dipungkiri ketika tingkat konsumsi masyarakat akan kendaraan roda dua semakin menggebu. Mungkin awalnya masyarakat ingin memiliki kendaraan yang lebih fleksibel. Terlebih rute angkot dari zaman dulu hingga sekarang masih tetap sama--belum ada perubahan--belum menjangkau semua jalan.
Awalnya kendaraan beroda dua ini tentu menjadi barang mewah yang tidak mudah didapatkan oleh masyarakat. Hanya masyarakat tertentu yang punya kestabilan finansial yang bisa mendapatkan barang ini. Namun dealer motor banyak bertransformasi karena melihat peluang konsumtif di masyarakat yang bisa menjadi lahan keuntungan. Dikeluarkanlah kredit dengan berbagai down payment murah dan angsuran sekecil-kecilnya dalam jangka waktu yang panjang.

Sekilas terlihat seolah masyarakat yang diuntungkan dengan hal ini tapi justru produsenlah yang mendulang keuntungan tanpa batas. Motor yang dikreditkan punya bunga yang bisa mencapai 2-3 kali lipat dari harga aslinya. Belum lagi jika konsumen tidak sanggup membayar biaya cicilan dalam beberapa bulan maka motor akan disita. Setelah itu motor sitaan tersebut akan dijual lagi oleh dealer kepada konsumen lain dan bisa jadi dikreditkan kembali. Begitu seterusnya rantai hutang-perhutangan dalam masyarakat menengah ke bawah.
Sebagai warga Kota Bandung yang cukup lama tinggal di kawasan Cibaduyut-Rancamanyar saya makin merasakan dampak kemacetan akibat dari volume jumlah kendaraan yang kian hari meningkat. Kemacetan juga akan bertambah ketika musim liburan panjang dan akhir pekan datang. Pada satu sisi saya senang ketika Bandung menjadi pilihan masyarakat luar kota untuk liburan. Bisa membuka peluang UMKM untuk berkembang, pemasukan daerah yang cukup hingga potensi terkenalnya budaya Sunda ke berbagai kota dan negara.
Hanya saja terkadang saya juga merasa risih karena kemacetan makin menyesakkan mobilitas saya sebagai warga Kota Bandung. Dulu kemacetan akhir pekan hanya terjadi di jam sibuk pada siang hari hingga malam. Tapi hari ini setiap sabtu dan minggu pagi di jam 8 pagi saya sudah terjebak kemacetan yang cukup panjang jika ingin berangkat ke pusat Kota Bandung untuk memenuhi keperluan atau mengikuti berbagai event atau kegiatan.
Menurut saya Kota Bandung belum siap dengan lonjakkan peminat wisata dari luar kota yang semakin meningkat. Hal ini terbukti dari fasilitas jalan yang masih tetap sama dari tahun ke tahun dan belum ada upaya pelebaran. Belum adanya regulasi dan penataan jam sibuk menjadikan Kota Bandung menjadi lautan macet di akhir pekan.
Saya sebagai warga Kota Bandung seolah dipaksa untuk berdamai dengan kemacetan akhir pekan karena melonjaknya wisatawan yang datang. Saya seolah dipaksa untuk menggadaikan ketenangan di lalu lintas kepada mereka wisatawan luar kota yang juga ingin mendapatkan ketenangan saat melancong ke Kota Bandung.
Saat wisatawan luar kota ingin mengurai stres dengan menikmati indahnya alam Kota Bandung. Justru saya sendiri sebagai warga Kota Bandung kadang merasa stres dengan kemacetan akhir pekan. Seolah tidak ada jeda ketika Senin-Jumat melintasi mobilitas macet di jam kerja lantas ketika libur di akhir pekan masih harus berjibaku dengan kemacetan yang lebih parah.
Dilansir dari detik.com menurut Julian Amri Wijaya seorang psikolog sekaligun dosen di Universitas Padjadjaran mengatakan bahwa dampak negatif dari kemacetan secara psikis adalah stres. Selaku pengguna transportasi umum kadang tingkat stres semakin meningkat ketika sudah berurusan dengan waktu. Meski sudah berangkat dua jam sebelum acara di mulai tapi tetap saja waktu tersebut habis melewati kemacetan. Tingkat stres juga tentu kerap dihadapi para pengemudi yang memiliki potensi tingkat stres lebih tinggi.
Baru-baru ini kemacetan saya rasakan kembali saat berkunjung ke daerah sekitaran ITB. Seperti biasa saya sudah mengetahui situasi jika akhir pekan pasti kawasan Dago akan dipenuhi oleh sejumlah wisatawan dan akan terjadi kemacetan. Namun pada 8 November 2025 saya tidak menyangka bahwa kemacetan yang parah berdampak kepada saya untuk menunggu TMB selama 2 jam.
Sebelumnya meski macet paling lama hanya menunggu 30 menit. Namun Sabtu itu kemacetan memang tidak terelakkan. Beberapa penumpang lain bahkan sudah ada yang menunggu di halte Rs. Boromeous jauh sebelum saya datang. Kemacetan membuat kaki cukup pegal karena halte yang tidak difasilitasi oleh tempat duduk. Angin semakin berhembus kencang, langit makin mendung dan hujan mulai turun sementara TMB masih belum datang karena terjebak kemacetan.
Tak hanya ketiadaan fasilitas kursi tapi sekedar atap sebagai pelindung dari hujan pun tidak ada. Kami sebagai penumpang akhirnya ikut berteduh dekat pos satpam yang jika hujannya makin deras tentu akan membuat baju kami basah. Tepat 2 jam akhirnya TMB datang namun dengan sejumlah penumpang yang sudah memenuhi area kursi. Kami semua yang sudah menunggu 2 jam di halte terpaksa harus berdiri kembali selama perjalanan hingga sampai di pemberhentian terakhir di Terminal Leuwi Panjang. Lonjakkan penumpang datang 3 kali lipat karena keterbatasan bus yang terjebak dalam kemacetan.
Akhir pekan yang seharusnya dinikmati dengan penuh ketenangan dan kebahagiaan sirna sudah. Yang banyak tersisa hanya dumelan, rasa sesak di dada juga kesal yang tak kunjung berakhir hingga malam hari sebelum kemacetan benar-benar terurai. Energi positif dan semangat yang seharusnya bisa dibawa untuk menghadapi hari Senin-Jumat jauh sudah terkuras bahkan bisa bertambah stres seiringnya tekanan kerja.
Dalam beberapa tulisan, saya selalu menggaungkan dan berharap agar warga Kota Bandung bisa mengurangi konsumtif terhadap penggunaan kendaraan bermotor. Tidak usalah membeli motor keluaran baru jika motor yang lama bisa berfungsi dengan baik. Melalui tulisan, saya juga berharap banyak warga Kota Bandung yang terinspirasi bisa beralih secara perlahan menggunakan transportasi umum.
Saya paham masih banyak kendala dalam fasilitas yang ada di transportasi khususnya di Kota Bandung. Salah satunya belum terhubungnya rute yang baik antar jalan dan antar daerah. Namun saya yakin jika kita terus bersama bersinergi untuk merubah pola penggunaan transportasi--maka lambat laun pemerintah juga akan berbenah. Saya yakin jika penimat transportasi umum semakin meningkat maka pemerintah juga akan membuka mata dan menyadari bahwa masyarakatnya sangat membutuhkan fasilitas tersebut.
Biarlah--urusan wisatawan luar kota-- -pemerintah yang memikirkan, karena itu sangat jauh di luar kuasa kita sebagai masyarakat. Biarlah pemerintah yang mengurus regulasi penataan sejumlah kendaraan dari luar kota untuk lebih tertib dan tidak menimbulkan keruwetan dengan kemacetan.
Tugas sederhana kita sebagai warga Kota Bandung adalah mengendalikan yang bisa kita kendalikan. Salah satunya adalah kesadaran kita terhadap pola konsumtif terhadap kendaraan. Juga bersama-sama mengurai kemacetan dengan menggunakan transportasi umum jika jarak tempuhnya masih dekat. (*)