Bayangkan ini: kamu baru saja menyesap kopi di Braga, matahari sudah mulai turun di balik Tangkuban Parahu, dan kamu berpikir, “Ah, sepertinya pulang sekarang saja, biar nggak macet.” Lalu kamu menyalakan mesin mobil, buka Google Maps... dan disambut warna merah pekat seperti sambal cengek di warung padang.
Selamat datang di Bandung: kota yang romantis, kreatif, dan tentu saja ... macetnya legendaris.
Dalam catatan data statistik Dinas Perhubungan Kota Bandung 2024, terdapat lebih dari 20 titik rawan kemacetan utama di kota ini. Beberapa di antaranya meliputi Jalan Soekarno-Hatta, Pasteur, Setiabudi, Dago, Cibiru, dan Buah Batu. Rata-rata kecepatan kendaraan di jam sibuk hanya 15–20 km/jam, jauh di bawah standar kota ideal. Kemacetan meningkat hingga 35 persen pada akhir pekan, terutama di kawasan wisata seperti Lembang, Dago dan Braga.
Faktor utama penyebabnya adalah pertumbuhan kendaraan mencapai 5 persen per tahun, sementara kapasitas jalan nyaris tidak bertambah. Bandung pun menjadi simbol klasik kota cantik campernik yang tersandera oleh lalu lintasnya sendiri: macetos!
Menurut data TomTom Traffic Index 2024, Bandung menempati posisi ketiga kota termacet di Indonesia, setelah Jakarta dan Denpasar. Rata-rata pengendara di Bandung menghabiskan sekitar 39 persen waktu perjalanan ekstra karena kemacetan. Artinya, kalau kamu biasanya butuh 30 menit ke kantor, siap-siaplah 40—45 menit dengan bonus pemandangan bumper mobil di depanmu.
Kalau dikonversi ke waktu hidup, warga Bandung bisa kehilangan sekitar 100 jam per tahun hanya untuk duduk diam di jalan sambil mendengarkan radio lokal yang muter lagu-lagu nostalgia.
Namun, macet di Bandung itu punya karakter unik. Tidak melulu membuat kesal — kadang justru jadi bahan refleksi. Saat motor-motor saling selip di antara mobil, ada rasa “gotong royong” terselubung. Pengendara saling tatap, saling angguk, seolah berkata, “Mangga heula tipayun, atuh...”
Ada juga ritual klasik warga Bandung: ngalieur jalur (baca:mencari jalan alternatif). Begitu jalan utama padat, langsung cari jalan tikus di gang sempit, berharap lebih cepat. Tapi biasanya, lima menit kemudian, gang itu juga macet. Seolah seluruh kota punya radar serupa.
Ironi Kota Kreatif yang Macet

Sebagai kota kreatif berdasarkan gelar dari UNESCO, Bandung dikenal penuh ide. Tapi entah kenapa, kreativitas itu belum sepenuhnya menular ke sistem transportasi publiknya. Jumlah kendaraan pribadi di Bandung mencapai lebih dari 1,7 juta unit (BPS Kota Bandung, 2024), sementara panjang jalan hanya sekitar 1.200 kilometer. Dengan pertumbuhan kendaraan sekitar 5 persen per tahun, tidak heran kalau macet sudah jadi gaya hidup yang kadung membudaya.
Tapi di sisi lain, macet di Bandung juga memberi ruang untuk merenung. Di tengah antrean panjang di Jalan Dago atau Setiabudi, kamu bisa memikirkan hidup, pekerjaan, bahkan mantan. Kadang, macet membuat kita belajar menerima bahwa tidak semua hal bisa dipercepat — seperti hubungan, karier, atau bahkan sinyal HP di tengah hujan.
Dan di situ letak romantismenya: Bandung memaksa kita untuk melambat. Untuk melihat pedagang cilok yang tetap tersenyum meski asap knalpot menari di sekitarnya. Untuk menikmati langit sore yang oranye di antara deretan mobil. Ironinya, banyak warga urang Bandung yang lebih hafal shortcut lewat gang (baca: jalan tikus) daripada rute bus kota.
Pada akhirnya, Bandung tetap Bandung—kota yang membuat kita mengeluh, tapi juga sulit ditinggalkan. Mungkin kemacetan ini semacam ujian cinta: kalau kamu masih sabar terjebak di jalan Pasteur setiap weekend, berarti kamu benar-benar mencintai kota ini.
Jadi, lain kali saat terjebak macet di Bandung, tenangkan diri. Buka jendela, hirup udara (campur asap), dan katakan: “Macet atuh... tapi ini Bandung, cuy. Tetap cinta ya!” (*)