Media sosial seperti Tiktok sudah menjadi alternatif bagi masyarakat untuk mencari rekomendasi pengobatan. (Sumber: Pexels/Daniel Frank)

Ayo Netizen

Polemik Edukasi Obat: Saat Tiktok Lebih Dipercaya ketimbang Tenaga Kesehatan

Selasa 29 Jul 2025, 16:47 WIB

Media sosial acap kali memang menyimpan segudang informasi. Pengguna seringkali diuntungkan dengan video yang dibagikan user lain tentang suatu kejadian, informasi pendidikan hingga edukasi mengenai kesehatan.

Sebagian besar user yang memiliki background kesehatan memang turut harus diapresiasi dengan usahanya menyebarluaskan edukasi dengan memanfaatkan teknologi yang ada.

Dibalik kemegahannya, secara sadar ataupun tidak teknologi perlahan merubah pola hidup dan tindak langkah manusia. Melalui kemudahannya, manusia jadi bergantung pada segala fasilitas yang disediakan.

Semua hal dari kebutuhan sehari-hari, menggunakan produk jasa hingga pemenuhan hal remeh-temeh pun disediakan secara virtual. Manusia tidak perlu lagi berangkat ke suatu tempat yang ia butuhkan, cukup duduk diam santai bahkan bisa sambil rebahan, jari-jemari melakukan tariannya, produk pun langsung terkirim ke rumahnya.

Dulu sekitar 10 tahun ke belakang, produk jasa erat kaitannya dengan komunikasi dua arah, pengguna dan penyedia jasa mesti duduk berhadapan, bertatap muka dan berkomunikasi sesuai dengan kebutuhannya.

Saat itu aku pernah berpikir, jika produk jasa adalah yang paling memungkinkan untuk bertahan dalam jangka waktu yang panjang.

Rasanya penyedia jasa tidak bisa tergantikan oleh teknologi apapun, karena menurutku produk jasa itu erat kaitannya dengan sebuah rasa. Namun ternyata hal ini pun tak terhindarkan, karena pada faktanya saat ini peran penyedia jasa mulai tergantikan oleh sistem bahkan robot.

Sejak dulu dunia farmasi termasuk apotek yang secara khusus bertemu dengan masyarakat tentu selalu menemui tantangan.

Salah satu tantangannya adalah perihal edukasi kesehatan yang berhubungan dengan indikasi, kontra indikasi, efek samping, aturan pakai serta cara penggunaan obat.

Dulu masyarakat nyaris lebih percaya kepada rekomendasi tetangga dibandingkan dengan penjelasan dan pemilihan obat yang dianjurkan oleh Apoteker.

Sering kali pasien berdebat dengan tenaga kesehatan karena satu pihak ngeyel dan satu pihak lagi idealis ingin memberikan edukasi yang benar sesuai dengan SOP.

Beberapa tenaga kesehatan tetap teguh merekomendasikan obat yang benar kepada pasien. Namun tidak menutup kemungkinan juga ada tenaga kesehatan yang pada akhirnya mengalah demi keinginan pasien.

Beberapa alasannya tidak mau ribet atau memperhitungkan omset semata. Memang jika tenaga kesehatan bersikukuh dengan prinsipnya, biasanya pasien akan lari ke apotek sebelah.

Hari ini perdebatan tidak hanya terjadi pada ruang lintas antar sesama manusia. Kompleksitas akan perdebatan ini sudah merambah menuju dunia maya. Bahkan perdebatan tidak hanya antara netizen dengan tenaga kesehatan. Bisa netizen dengan netizen, bahkan sesama tenaga kesehatan.

Hal ini bisa terjadi karena meskipun dalam ruang lingkup kesehatan yang sama, seringkali terdapat perbedaan proses belajar dan pengalaman yang tidak sama.

Tiktok Dijadikan Sarana Mencari Rekomendasi Obat

Tiktok tidak hanya dikenal sebagai aplikasi bagi konten kreator yang menampilkan kegiatan joget-joget semata. Kini tiktok sudah berkembang dan didatangi oleh berbagai macam konten kreator. Mulai dari kreator bisnis, fashion, makanan, pendidikan, travelling, hukum, hingga dunia kesehatan.

Banyak kreator di bidang kesehatan yang pada mulanya hanya membagikan keluh kesah selama berinteraksi dengan pasien. Banyak hal-hal lucu hingga menjengkelkan yang tenaga kesehatan alami. Kegiatan story telling seperti ini ternyata cukup disambut baik oleh netizen. Hal ini yang memicu tenaga kesehatan lainnya ikut meramaikan dengan membuat konten yang sama.

Dulu industri farmasi khususnya apotek merupakan salah satu pekerjaan privat yang sangat dijaga kerahasiannya dari pihak diluar tenaga kesehatan. Banyak hal-hal yang bersifat rahasia pengguna pelayanan jasa yaitu pasien. Misalnya saja resep obat yang dimiliki pasien, beberapa lokasi obat berlabel keras, lemari psikotropik dan narkotik.

Kegiatan meracik obat pun menjadi sesuatu yang sangat vital yang semestinya tidak perlu diketahui pasien bahkan orang diluar yang tidak bersangkutan. Tapi hari ini data itu dengan mudah disebarluaskan dengan sadar atau tidak ke khalayak umum, bisa melalui story, postingan bahkan live sekalipun.

Namun hadirnya tiktok hari ini, membuat tenaga kesehatan mengikuti trend dengan membuka live atau saluran langsung. Ada yang hanya bercanda sebagai konten hiburan tapi ada juga yang membuka konsultasi perihal penggunaan obat. Tapi rasanya ini kurang bijak, terlebih kegiatan kefarmasian di apotek itu cukup kompleks, melibatkan banyak prosedur yang harus dijaga dengan penuh kosentrasi dan perhatian.

Melakukan live di jam kerja tidak hanya menggambil hak pemilik perusahaan medapatkan karyawan terbaik tapi juga mengambil waktu yang sudah diberikan hitungan upah gaji per-harinya. Terlepas jika pemilik perusahaan mengizinkan, seharusnya tenaga kerja yang melakukan live tidak merangkap sambil melakukan kegiatan kefarmasian.

Sediakan khusus antara petugas yang melakukan live dengan petugas yang melayani kefarmasian. Dengan catatan jika live memang memiliki provit bagi branding perusahaan atau memang apotek yang bersangkutan memiliki niat yang mulia untuk melayani edukasi kesehatan melalui siaran langsung.

Melihat viewers yang dapat meningkatkan engagement, tentu menambah penghasilan bagi para kreatornya. Hal ini yang memicu timbulnya akun-akun anonim yang mengambil konten para nakes atau mereka mengarang konten hanya bermodalkan pencarian di intenet semata.

Banyak akun yang memberikan kombinasi obat secara random yang belum tentu dipastikan keamanannya. Banyak kasus pasien yang membeli obat dengan membawa contoh screen shoot sebuah akun di tiktok. Misalnya saja pernah ada yang membeli obat stelan untuk sakit kaki dengan merk vadrol (methyl prednisolon), carbiru(dexametason) dan juga kaditic (diclofenak pottasium).

Tanpa diketahui pasien, dua diantara obat diatas memiliki jenis dan penggunaan yang hampir serupa, golongan obat methyl prednisolon dan dexametason termasuk ke dalam jenis kortikosteroid yang bisa digunakan sebagai anti inflamasi (radang), antihistamin (alergi), pembantu anti sesak pada kasus penderita asma.

Ilustrasi obat. (Sumber: Pexels/Pixabay)

Golongan kortikosteroid sendiri merupakan obat yang mesti diperhatikan cara penggunaanya, tidak boleh sembarangan dan harus sesuai dengan resep dokter. Kortikosteroid yang dikonsumsi dalam jangka waktu panjang tanpa pemantauan akan menyebabkan moon face (pembengkakan pada area wajah) atau bisa menyebabkan peradangan sendi.

Kembali kepada efek sampingnya yang cukup berbahaya, obat diatas yang direkomendasikan oleh akun oknum tenaga kesehatan menjadi kombinasi yang tidak tepat. Satu jenis kortikostroid saja sudah memiliki dampak yang signifikan bagi kesehatan, lantas bagaimana dampak dengan kedua jenis obat yang sama tapi diminum secara bersamaan.

Kondisi ini akan memperparah tukak lambung (pembengkakan lambung), gangguan metabolik (diabetes, peningkatan berat badan), osteoporosis (gangguan pada tulang), gangguan miopati (otot), gangguan pada kulit (jerawat atau tumbuh rambut pada area tertentu secara berlebihan).

Tak heran juga jika saat ini banyak kasus imunosupresi, yang berhubungan dengan kelemahan imun sehingga tubuh tidak bisa melawan penyakit dengan baik.

Regulasi Undang-Undang Kesehatan di Media Digital

Sejauh ini belum ada undang-undang secara khusus yang mengaturr edukasi kesehatan melalaui media digital.

Adapun yang sempat terbit adalah UU No.17 Tahun 2023 yang mengatur tentang kesehatan termasuk penyelenggaraan upaya kesehatan yang dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi seperti telemedicine dan telekesehatan.

Selanjutnya ada UU No.20 Tahun 2017 yang mengatur lebih terinci perihal penyelenggaraan telemedicine antar pelayanan kesehatan.

Peraturan ini merupakan payung hukum yang digunakan pada aktivitas pelayanan obat secara jarak jauh antara pasien dengan dokter. Kemudian dokter akan meresepkan obat yang kemudian akan dilanjutkan oleh sistem kepada apotek yang bekerja sama dan memiliki ketersediaan obat secara lengkap sesuai dengan yang dibutuhkan.

Ketidakhadiran Undang-undang pada media digital akan makin melegalkan produk yang tidak memilik BPOM untuk terjual keras di pasaran. Terlebih netizen Indonesia yang berada di media sosial kerap kali mudah mempercayai suatu produk yang viral tanpa mencari tahu keamanan sebuah produk.

Banyak influencer yang di-endorse untuk memasarkan suatu produk. Tanpa diketahui sebetulnya infuencer yang bersangkutan hanya bekerja memasarkan produk tapi tidak turut menggunakan produk yang diiklankan.

Setelah terjadi efek yang tidak diharapkan biasanya netizen yang menjadi korban akan speak up dan meminta validasi serta dukungan dari netizen lainnya. Padahal hal tersebut menjadi keselahannya sendiri karena mudah terbujuk produk yang belum jelas keamanannya.

Kedua Undang-undang di atas hanya membatasi proses pelayanan dan belum sampai ke tahap pembatasan edukasi yang dilakukan tenaga kesehatan atau oknum dalam menggunakan media sosial sebagai sebuah sarana.

Salah satu langkah yang bisa digunakan untuk mengatasi informasi yang tidak terkendali adalah dengan penggunaan bijak para pengguna media sosial. Sebagai bahan referensi tentu bisa diambil dari sumber mana saja termasuk tiktok.

Namun ada baiknya jika mengkonfirmasi kembali kepada tenaga kesehatan yang bertugas melakukan pelayanan kesehatan secara langsung di lapangan.

Tenaga kesehatan yang bertugas di lapangan pun harus turun aktif memberikan edukasi yang ramah. Sehingga pasien yang datang ke apotek bisa nyaman dan percaya sehingga mereka tidak membutuhkan lagi peran media sosial untuk mengakses informasi mengenai rekomendasi obat.

Adapun jika pasien masih akses melalui media sosial, kepentingannya bukan untuk mempercayai tapi sebagai bahan pembanding informasi yang relevan dan tidak relevan. (*)

Tags:
edukasi obat

Dias Ashari

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor