Pengunjung belanja pada Gelar Produk Pasar Tani di Bale Asri Pusdai, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa, 18 Maret 2025. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Ayo Netizen

Inflasi Pangan di Jawa Barat antara Gejolak Global dan Ketimpangan Tata Kelola Lokal

Jumat 08 Agu 2025, 14:01 WIB

Harga kebutuhan pokok di berbagai wilayah Jawa Barat kembali melonjak. Dari pasar tradisional di Tasikmalaya hingga warung kecil di Depok, masyarakat mengeluhkan naiknya harga beras, telur, minyak goreng, cabai, hingga bawang merah.

Kenaikan harga ini tentu bukan sekadar angka dalam grafik statistik; ia adalah kenyataan pahit bagi jutaan rumah tangga, terutama kelas pekerja dan buruh harian yang rentan secara ekonomi.

Pertanyaannya, apakah tingginya harga kebutuhan pokok ini sepenuhnya disebabkan oleh faktor global, atau justru memperlihatkan kegagalan sistem dalam tata kelola pangan lokal?

Gejolak Global Bukan Satu-satunya Biang Kerok

Tidak dapat disangkal, inflasi pangan global memang sedang menguat sejak pandemi COVID-19 dan semakin disebabkan oleh konflik geopolitik seperti perang Rusia–Ukraina.

Data dari Food and Agriculture Organization (FAO) menyebutkan bahwa indeks harga pangan dunia mengalami lonjakan tajam akibat gangguan rantai pasok (Supply Chain), peningkatan harga pupuk dan energi, serta perubahan iklim ekstrem yang menurunkan hasil panen global.

Namun, menjadikan faktor global sebagai kambing hitam satu-satunya justru menyederhanakan persoalan.

Di tengah gejolak internasional tersebut, peran negara dalam menjaga stabilitas harga di tingkat domestik menjadi semakin penting. Ketahanan pangan tidak semata soal ketersediaan, tetapi juga soal distribusi, aksesibilitas, dan tata kelola yang adil.

Sejumlah wilayah produsen seperti Garut, Sumedang, dan Cianjur tetap mengalami lonjakan harga pangan, sekalipun memiliki hasil pertanian melimpah. Ini menandakan adanya persoalan serius pada sistem distribusi dan tata kelola lokal.

Pertama, distribusi pangan antar wilayah masih ter-fragmentasi (terpisah-pisah) dan tidak efisien. Jalur distribusi panjang dengan banyaknya perantara atau tengkulak menyebabkan harga melonjak sejak dari tangan petani hingga ke konsumen.

Lemahnya infrastruktur logistik seperti gudang penyimpanan, jalan distribusi, dan transportasi ber-refrigerasi semakin memperburuk ketimpangan ini.

Kedua, pemerintah daerah belum optimal dalam mengontrol dan mengintervensi pasar. Program seperti operasi pasar murah seringkali bersifat sementara, tidak tepat sasaran, dan minim evaluasi.

Selain itu, minimnya data pangan yang akurat di tingkat desa dan kecamatan membuat perencanaan intervensi kerap meleset dari kebutuhan nyata masyarakat.

Ketiga, ada persoalan ketidakseimbangan informasi antara produsen dan konsumen. Harga acuan pemerintah sering tidak sampai ke pasar tradisional karena lemahnya kontrol dan pengawasan.

Dalam kondisi seperti ini, pasar bergerak liar tanpa regulasi yang tegas, dan rakyat kecil menjadi korban utama.

Evaluasi Kritis terhadap Kebijakan Pangan

Warga saat berbelanja pada gelaran Pasar Tani Di Pelataran Parkir Kantor Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat, Jalan Surapati, Kota Bandung, Jumat, 6 September 2024. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Pemerintah pusat melalui Badan Pangan Nasional dan Bulog sebenarnya telah menerapkan berbagai kebijakan untuk menekan inflasi pangan, seperti stabilisasi pasokan dan harga, subsidi pupuk, serta penguatan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Namun, realisasi di tingkat daerah kerap tidak maksimal.

Di Jawa Barat, program-program pangan daerah cenderung bersifat jangka pendek dan minim inovasi. Padahal, tantangan ketahanan pangan di era krisis global membutuhkan pendekatan yang lebih adaptif, terintegrasi, dan berbasis data.

Banyak program pemerintah daerah hanya terfokus pada distribusi bantuan pangan tanpa menyentuh akar persoalan, seperti penguatan produksi lokal, efisiensi distribusi, dan pembinaan koperasi tani.

Lebih dari itu, kebijakan pangan di Indonesia umumnya masih bersifat reaktif. Negara baru hadir ketika harga sudah terlanjur melonjak. Tidak ada sistem peringatan dini yang kuat, apalagi strategi diversifikasi pangan yang bisa mengurangi ketergantungan terhadap komoditas tertentu seperti beras.

 Strategi Solusi Berbasis Daerah

Untuk menjawab krisis ini, pendekatan berbasis wilayah perlu diprioritaskan. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Jawa Barat harus berani melakukan reformasi sistem pangan lokal dengan strategi-strategi berikut:

Pangan sebagai Isu Struktural, Bukan Musiman

Fenomena mahalnya kebutuhan pokok di Jawa Barat merupakan alarm keras bahwa sistem pangan yang rapuh.

Krisis harga bukan hanya efek dari perang atau iklim, tetapi juga refleksi dari buruknya tata kelola, lemahnya intervensi negara, dan ketidaksiapan daerah dalam membangun kemandirian pangan.

Pangan bukan hanya soal ekonomi, melainkan hak dasar setiap warga negara yang harus dijamin oleh negara tanpa harus menunggu keadaan menjadi darurat. (*)

Tags:
inflasi panganJawa Barattata kelola

Marcos Soares da Silva

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor