AYOBANDUNG.ID - Di jantung Kota Bandung, berdiri megah sebuah institusi kesehatan yang nyaris seabad usianya: Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS). Namanya kini begitu akrab di telinga masyarakat, namun sedikit yang tahu bahwa rumah sakit ini pernah berganti-ganti nama, berpindah tangan, bahkan jadi pangkalan militer. Sejarahnya bukan cuma panjang, tapi juga berliku seperti nadi kota yang terus berdetak menghadapi zaman.
Pada awal abad ke-20, Hindia Belanda dilanda wabah penyakit. Pes dan malaria jadi momok mematikan, terutama di daerah padat seperti Sumatera dan Jawa Timur. Di tengah keterbatasan tenaga medis, muncul dokter-dokter pribumi yang tampil ke depan. Nama-nama seperti Dr. Sutomo dan Dr. Tjipto Mangunkusumo tercatat sebagai tokoh penting dalam upaya memberantas penyakit.
Untuk menggenjot jumlah dokter, Belanda mendirikan STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yang kemudian melahirkan banyak dokter dari kalangan bumiputra. Bersamaan dengan itu, pembangunan rumah sakit pun digencarkan. Di Bandung, salah satu yang berdiri pada masa itu adalah Het Algemeene Bandoengsche Ziekenhuis, yang kelak dikenal sebagai RSHS.
Rumah sakit ini mulai dibangun pada 1917 dan diresmikan pada 15 Oktober 1923. Gedungnya dirancang oleh F.J.I. Ghijsels, arsitek kondang era kolonial, atas prakarsa Vereeniging Bandoengsche Ziekenhuis (Asosiasi Rumah Sakit Bandung). Kapasitas awalnya sekitar 300 tempat tidur, dan fungsinya menyerupai rumah sakit umum yang melayani berbagai kalangan.
Beberapa waktu kemudian, nama rumah sakit ini berubah menjadi Het Gemeente Ziekenhuijs Juliana untuk menghormati Putri Juliana, pewaris tahta Belanda. Statusnya tetap sebagai rumah sakit umum, tapi perlahan menjadi salah satu yang terlengkap dan terbesar di Bandung kala itu.
Baca Juga: Sejarah Dago, Hutan Bandung yang Berubah jadi Kawasan Elit Belanda Era Kolonial
Kondisi berubah drastis ketika Perang Pasifik pecah pada 1942. Hindia Belanda ikut terseret, dan Bandung tak luput dari dampaknya. Rumah sakit Juliana beralih fungsi menjadi rumah sakit militer Belanda. Namun tak lama, Jepang menyerbu dan menguasai Jawa. Rumah sakit ini pun jatuh ke tangan mereka dan berganti nama jadi Rigukun Byoin.
“Tidak ada kebijakan signifikan yang diterapkan Jepang terhadap rumah sakit itu. Sarana dan prasarana tetap seadanya,” begitu menurut catatan yang disusun tim sejarah RSHS.
Setelah Jepang kalah dari Sekutu, Belanda kembali masuk dan mengambil alih rumah sakit tersebut. Namanya dikembalikan ke Het Gemeente Ziekenhuijs Juliana. Tapi geliat perjuangan kemerdekaan Indonesia tak terbendung. Meski Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan pada 1945, rumah sakit ini masih berada dalam genggaman Belanda hingga 1948.

Baru pada tahun itu, rumah sakit resmi berada di bawah pemerintahan Indonesia melalui Kota Praja Bandung. Namanya pun berubah menjadi Rumah Sakit Rancabadak, dan yang pertama kali menjabat sebagai direktur adalah dr. H.R. Paryono Suriodipuro yang merupakan seorang dokter Indonesia.
Dari Rancabadak ke Hasan Sadikin
Tahun 1954, status rumah sakit ini meningkat menjadi Rumah Sakit Provinsi di bawah naungan Departemen Kesehatan. Kapasitasnya ditambah menjadi 600 tempat tidur. Pada 1956, rumah sakit ini ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad) yang baru berdiri. Kerja sama ini menandai babak baru peran rumah sakit sebagai penggerak pendidikan kedokteran di tanah air.
Lalu, nama Rancabadak diganti. Pada 8 Oktober 1967, rumah sakit ini resmi bernama Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin. Nama itu diambil dari tokoh penting: dr. Hasan Sadikin, direktur pertama sekaligus dekan FK Unpad. Ia wafat saat masih menjabat, dan namanya diabadikan sebagai bentuk penghormatan.
Sejak saat itu, RSHS terus mengalami transformasi kelembagaan. Tahun 1967, rumah sakit ini menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kesehatan RI dan bertanggung jawab langsung kepada Dirjen Pelayanan Medik. Selanjutnya, pada rentang 1992–1997, statusnya beralih menjadi unit swadana, memberi otonomi lebih luas dalam pengelolaan anggaran.
Tanggal 12 Desember 2000 menjadi tonggak penting lain. Status RSHS secara yuridis berubah menjadi Perjan (Perusahaan Jawatan). Model ini memberi ruang otonomi manajemen, dan dinilai sebagai kebijakan strategis dalam reformasi pelayanan kesehatan publik. Sejak saat itu, RSHS berkembang pesat sebagai rumah sakit pendidikan dan rujukan utama.
Baca Juga: Salah Hari Ulang Tahun, Kota Bandung jadi Korban Prank Kolonial Terpanjang
Kini, RSHS tak hanya menjadi rumah sakit provinsi, tapi juga ditetapkan sebagai Rumah Sakit Rujukan Nasional. Fasilitasnya jauh dari kata sederhana. Jumlah tempat tidur mencapai 944 unit, dengan lebih dari 3000 tenaga kerja yang terdiri atas 395 dokter spesialis dan subspesialis.
Terdapat enam layanan inti yang menjadi unggulan: Pelayanan Jantung Terpadu, Onkologi, Infeksi, Bedah Minimal Invasif, Transplantasi Ginjal, dan Kedokteran Nuklir. Fasilitas ini menunjukkan transformasi RSHS sebagai pusat layanan kesehatan berteknologi tinggi di Jawa Barat, bahkan Indonesia.
Jejak sejarah RSHS menyimpan banyak kisah. Dari wabah yang mengilhami pendirian rumah sakit, perang yang menjadikannya rebutan, hingga akhirnya menjadi rujukan utama, rumah sakit ini telah melewati segala musim dan krisis.