Tanaman hidroponik di branghang Kelurahan Lebak Gede, RW9 Kota Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)

Beranda

Menguak Kisah Branghang Lebakgede, Lorong Kecil yang Mengubah Wajah Lingkungan di Kecamatan Coblong

Rabu 01 Okt 2025, 14:06 WIB

AYOBANDUNG.ID - Pembangunan De Sofia Hotel di Jalan Tengku Angkasa, Lebakgede, Coblong, Kota Bandung, menjadi awal kegelisahan seorang perempuan bernama Ruth Cecilia. Rumah masa kecilnya yang kini diapit bangunan-bangunan baru, memantik jiwanya menelisik lebih jauh tentang masalah di sekitarnya.

Gosip tetangga pun sampai ke telinga Ruth, De Sofia Hotel hanya akan dibangun dua lantai, tapi nyatanya kini berdiri empat lantai. Perempuan yang akrab disapa Inong itu pun mengajukan protes ke kelurahan hingga pemerintah kota.

"Ketika saya pulang ke Bandung, (tahun 2011) tahu dari tetangga hotel itu izinnya dua lantai dan untuk wisma atlet, tapi akhirnya jadi empat lantai. Saya protes ke lurah hingga tembus pemerintah kota," kata wanita berusia 57 tahun tersebut kepada AyoBandung.Id saat ditemui di Branghang Buruan Sae RW 09 Lebakgede pada Senin, 29 September 2025.

Ridwan Kamil yang masih menjabat sebagai wali kota Bandung saat itu, melempar aduan soal izin De Sofia Hotel ke Dada Rosada wali kota periode 2003-2013 yang masih mendekam di Lapas Sukamiskin. Setelah berbicara, Inong pun semakin terbuka tentang "bau busuk" Kota Kembang.

Proses revitaliasi branghang di RW 9 Kelurahan Lebakgede sepanjang 100 meter.

"Bagi Kota Bandung, permasalahan saya itu bisa dibilang kecil. Akan tetapi, bagi kami masyarakat umum ini sangat mengganggu. Pak Dada banyak bercerita masalah dan riwayat kota. Hati saya pun tergerak untuk menjadi bagian kecil dari Kota Bandung," tuturnya.

Tak lama kemudian, Inong diterima sebagai sekretaris RW 9 Lebakgede. Dari situ, ia belajar memahami soal pembangunan, anggaran, hingga seluk-beluk persoalan di wilayahnya.

"Da ari mikiran Kota Bandung mah da saya lain wali kota. Saya mah cuman ibu rumah tangga, nganggur, tapi ingin jadi bagian kewilayahan. Minimal peduli sama wilayah sendiri. Setelah jadi pengurus, barulah tahu permasalahan di sini," katanya.

Inong tidak muncul dari latar belakang kemiskinan, dia justru lahir dan besar dari keluarga menengah ke atas di Kota Bandung. Siapa pun mungkin tahu, orang yang punya rumah di sekitaran Jalan Tengku Angkasa pasti orang kaya, bukan?

"Mungkin wilayah saya mah disebutnya orang elite, tapi nyatanya ada RW lain yang punya masalah seperti stunting, orang miskin, pergaulan bebas, hingga narkoba. Semua itu harus diselesaikan satu per satu," tuturnya.

Inong bukan nama sembarangan, nama panggilan masa kecilnya itu menjelma julukan bagi perempuan berpengaruh di Coblong. Hal itu diakui oleh Sugito Darsono yang akrab dipanggil Ito, sejawatnya sejak sekolah dulu.

"Ibu Inong ini bukan sekadar nama di sini, tapi punya pengaruh. Vokal, tukang protes, beda dari yang lain, wanian. Jadinya dipandanglah gitu," kata Ketua LPM Lebakgede, Ito.

Awal Mula Branghang

Branghang adalah lorong atau jalan sempit yang memisahkan rumah-rumah di perumahan. Namun, branghang di belakang rumah Inong berbeda. Tempat itu menjadi area pembuangan barang-barang yang sudah tidak dipakai seperti sofa bekas, kasur, hingga perabotan lainnya. Semak belukar yang tumbuh subur pun dan menjadi sarang yang nyaman bagi biawak dan ular.

Menurut Inong, pembangunan ulang branghang dilakukan karena beberapa alasan. Misalnya, tidak semua rumah di RW 9 Lebakgede memiliki septic tank, sehingga muncul persoalan ODF (Open Defecation Free) atau buang air besar sembarangan.

“Masalah ODF, drainase air, sampai penyerobotan lahan untuk kepentingan pribadi, itu jadi alasan saya dan Pak Ito membangun ulang branghang ini,” ungkapnya.

Revitalisasi branghang itu menelan biaya besar, hampir seharga satu Kijang Inova miliknya, ditambah sedikit bantuan APBD. Meski begitu, Inong yakin lorong tersebut bisa punya fungsi sosial jangka panjang.

“Saya harus kasih contoh dulu. Banyak orang menganggapnya tidak penting, padahal demi kepentingan bersama. Setelah jadi, malah RW lain minta juga dibangun branghang,” ujarnya.

Siapa sangka, dari lorong kecil itu lahirlah gagasan lebih besar. Revitalisasi branghang sepanjang 100 meter ini menjadi pintu masuk Inong untuk merintis program pengelolaan sampah melalui pendirian rumah maggot.

Rumah maggot di branghang RW 9, Kelurahan Lebakgede. Kasgot yang dihasilkan dari budidaya ini digunakan untuk pupuk tanaman hidpronik di sekitarnya. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)
Budidaya maggot di RW 9 Lebakgede menjadi upaya warga mengolah sampah organik agar bermanfaat bagi lingkungan sekitar. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)

Rumah Maggot

Program maggotisasi Kota Bandung sempat ditolak oleh sejumlah RW di Kelurahan Lebakgede. Bau dan jijik menjadi sekian alasan. Akan tetapi Inong memberanikan diri mengambil risiko itu. Dia ingin warga di wilayahnya sadar akan pentingnya memilah sampah.

"Saya sempat undang seluruh warga RW 9 untuk menghadiri sosialisasi memilah sampah. Ternyata tidak berhasil, akhirnya saya mengundang ART-nya saja daripada majikannya. Ternyata itu lebih efektif," kata Inong.

Informasi pentingnya memilah sampah pun menjalar ke tiap warga lewat grup-grup percakapan. Inong ingin kesadaran ini tertanam dari lini terkecil kehidupan, yakni rumah tangga. Sampah organik yang dikelola rumah maggot ini adalah hasil perjuangan panjang.

Rumah Maggot Lebakgede menjadi wadah kebermanfaatan hingga saat ini. Meski ada beberapa yang protes karena bau, tapi itu tidak mengendurkan niat baik Inong dan pengelola Buruan Sae Rumah Maggot Lebakgede.

"Kadang volume sampah itu numpuk dan menimbulkan bau, warga protes. Akhirnya kami meminta 100 ayam untuk sirkulasi sampah di sini bisa lancar, selain diurai oleh maggot," katanya.

"Giliran RW 9 mau dikasih ayam, RW lain pun pada mau, akhirnya dari 100 itu dibagilah ke beberapa RW," sambung Inong.

Kandang ayam di branghang RW 9, Kelurahan Lebakgede Kota Bandung. Telur dari ayam ini disumbangkan untuk program pengentasan stunting di kelurahan. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)

Inong mengatakan jumlah sampah rumah tangga di RW 9 sebetulnya tidak terlalu banyak. Maka dari itu, dia menyasar pengusaha-pengusaha, khususnya kuliner, yang terletak di RW 9 Lebakgede untuk mengelola sampah sendiri.

"Sampah organik yang diolah sehari bisa sampai 15 kilogram. Kalau di sini ada sekitar 12 usaha kuliner di RW 9. Itu kami sasar untuk bisa mengelola sampah sendiri," ucapnya.

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) dari sejumlah pengusaha ke para pengurus RW juga menjadi sorotan Inong.

Menurut Inong, tidak sedikit pengusaha yang memberikan dana TJSL kepada pengurus RW tempat mereka mendirikan usaha, tidak mengerti betul birokrasi yang seharusnya dijalankan. Ada pula oknum RW yang malah mengantongi dana tersebut ke kantong pribadi.

“Dampak ke sosial dan lingkungannya kan jangka panjang. TJSL ini harusnya dimanfaatkan benar-benar. Jangan cuma proposal terus ngasih uang yang tak seberapa,” ucapnya.

“Tidak sedikit pula pengusaha yang keberatan dengan nominal yang ditentukan. Saya pun menginisiasikan untuk diberikan secara bertahap, ibarat pengusahanya pada iuran, nominalnya tercapai, pun pengusaha tidak terlalu berat,” sambungnya.

“Dana iuran tersebut nantinya akan diperuntukan ke kas RT, RW, Karang Taruna, hingga Posyandu. Jadi kalau setiap ada program dananya ada,” katanya lagi.

Banyak manfaat yang lahir dari Branghang Rumah Maggot Lebakgede yang dikelola oleh Inong bersama sembilan rekannya. Selain manfaat terhadap lingkungan, dia juga bercerita tentang satu keluarga telantar.

“Kami, LPM, dan Babinsa, tiga pilar ini yang kerjasama jika ada masalah di wilayah ini. Misal kami membangunkan rumah untuk satu keluarga miskin. Ibunya ODGJ, anaknya hamil di luar nikah,” tuturnya.

“Dinas sosial kami libatkan untuk membantu. Anaknya yang hamil di luar nikah ini kami bantu hingga melahirkan, bayinya dititip ke dinsos, lalu ibunya dipesantrenkan di Dago. Ibunya yang ODGJ pun kami rujuk ke RSJ, dan sekarang sudah pulang,” katanya lagi.

Ito yang punya latar belakang kontraktor, kata Inong, membantu merancang desain rumah dan membuat RAB. Hingga saat ini, keluarga yang mereka bantu itu masih terus dipantau perkembangannya.

Salah satu sudut branghang RW 9, Kelurahan Lebakgede yang dimanfaatkan untuk menanam tanaman sayuran. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)

Bagi Inong, Branghang Rumah Maggot Lebakgede yang sudah berdiri dua tahun lalu itu hanya sebagai jembatan dan rumah yang bisa menebar manfaat khususnya untuk wilayah RW 9.

“Sebetulnya jika berbicara soal kewilayahan, seharusnya pemerintah bicara ke pengurus di tingkat paling bawah, karena mereka yang tahu masalahnya lebih detail. Kami akan sangat mendukung program yang menyangkut lingkungan dan sosial dari pemerintah, asalkan jelas. Mulai dari anggaran hingga pengelolaan yang terlihat, bukan hanya sekadar ada dana terus asal terserap,” tutupnya.

Tags:
Kecamatan CoblongBuruan SaeBranghangKelurahan Lebakgede

Ikbal Tawakal

Reporter

Andres Fatubun

Editor