AYOBANDUNG.ID -- Kabut tipis menggantung di lereng Bukit Tunggul, Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jumat pagi, 22 Agustus 2025. Udara dingin menempel di kulit, membuat siapa pun enggan melepaskan jaketnya. Dari balik kabut, samar-samar terdengar suara cangkul dan percik air yang menyiram tanah subur di kaki pegunungan itu.
Di tengah hamparan kebun sayur, sosok Dadang Eka Lesmana tampak sibuk merawat tanamannya. Dengan jaket tebal menempel di tubuh, pria 59 tahun itu mencabuti rumput liar yang mengelilingi tanaman, memotong dahan yang terlalu rimbun, dan menyingkirkan ulat yang menempel di daun.
“Kalau mau cepat besar, rumputnya harus dibersihkan, ulatnya dibuang. Jangan sampai menyebar ke seluruh daun,” ujarnya sambil tersenyum, tangannya tak berhenti bergerak.
Namun kebun milik Dadang tak serupa dengan milik petani lain di Suntenjaya. Di saat mayoritas warga menanam kol, cabai, selada, atau wortel, ia memilih sesuatu yang lain—menanam pohon Saninten (Castanopsis argentea), flora asli Indonesia yang kini masuk daftar merah tanaman terancam punah menurut IUCN dan dilindungi oleh Peraturan Menteri LHK Nomor P.106 Tahun 2018.
“Orang di sini umumnya tanam sayuran,” kata Dadang, yang akrab disapa Deka.
“Saya justru ingin menjaga Saninten, jangan sampai hilang dari Indonesia,” tambahnya.

Di lahan seluas 3,5 hektare milik Perhutani di Kampung Sukaluyu, Deka bersama Leni Suswati, 49 tahun, membentuk kelompok konservasi Saninten. Sejak 2021, mereka menggandeng karang taruna, ibu-ibu, hingga anak sekolah untuk menanam dan merawat pohon langka itu.
Keduanya punya latar belakang yang sama: pencinta alam, pendaki gunung, dan pegiat penghijauan. Hobi itu yang kemudian menjelma menjadi misi konservasi.
“Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui,” kata Leni. “Hiking tetap jalan, tanam pohon juga jalan.”
Bibit Saninten pertama mereka dapat dari Gunung Halimun Salak. Mencarinya bukan perkara mudah. Deka sempat menempuh perjalanan berhari-hari ke beberapa lokasi—Gunung Salak hingga Srikandi—demi menemukan buah Saninten yang jatuh di hutan alami. “Nyari bijinya susah sekali,” kenangnya.
Kesulitan itu mulai teratasi ketika kelompok konservasi Saninten menggandeng PT Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Barat (JBB) melalui program keanekaragaman hayati (kehati). Bantuan bibit dari program CSR itu membuat mereka tak lagi harus memikul pipa paralon dan berjalan jauh ke hutan untuk mencari bibit secara manual.
“Sekarang akses bibit jadi lebih mudah. Kami bisa menanam lebih banyak di sini,” ujar Deka.
Kini, jerih payah itu mulai membuahkan hasil. Lahan di Kampung Sukaluyu telah menghijau oleh 1.350 pohon Saninten. Tingginya sudah mencapai dua hingga tiga meter, batangnya mulai menebal—tanda adaptasi berhasil di tanah Lembang.
Menjelang siang, Deka menuntaskan perawatan sepuluh pohon Saninten. Ia duduk di saung bambu, meneguk kopi hitam sambil menatap barisan pohon muda di hadapannya.
“Kalau hutan hilang, mata air juga ikut hilang,” katanya pelan. “Kami cuma ingin anak cucu nanti masih bisa lihat Saninten tumbuh—dan bermanfaat, bagi alam dan manusia.”
Di bawah terik matahari, kopi Deka mendingin. Tapi semangatnya menjaga napas kehidupan Saninten di lereng Lembang tak pernah padam.
Senjakala Saninten
Saninten dikenal sebagai pohon endemik Indonesia yang di sejumlah daerah juga disebut berangan atau sarangan. Pohon ini mampu tumbuh menjulang hingga 35–40 meter dengan batang berwarna hitam keabu-abuan berbentuk silindris. Permukaan kulit batangnya tampak kasar, beralur, dan pecah-pecah seiring usia pohon.
Daun saninten termasuk jenis daun tunggal yang tersusun spiral dengan posisi berseling. Bentuknya memanjang seperti lanset dengan ukuran sekitar 7–12 sentimeter dan lebar 2–3,5 sentimeter. Bagian atas daun tampak licin dan mengilap, sedangkan sisi bawahnya terasa agak kasar dengan warna hijau keabu-abuan yang tertutup bulu-bulu halus menyerupai sisik.
Karena bentuk buahnya yang mirip, saninten kerap dijuluki rambutan hutan. Buahnya bulat dan tertutup duri-duri panjang, keras, serta berkayu. Buah saninten biasanya tumbuh bergerombol di ujung tangkai, menyerupai tandan rambutan. Di dalamnya terdapat tiga biji berwarna cokelat kemerahan.

Dalam ekosistem hutan, saninten memiliki peran penting sebagai habitat alami berbagai jenis burung dan mamalia. Tajuknya yang rimbun menjadi tempat berlindung dan bersarang, sementara buahnya menjadi sumber pakan bagi satwa liar di sekitarnya.
Berdasarkan catatan organisasi internasional yang berfokus pada konservasi sumber daya alam Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), saninten ditemukan di Sumatra dan Jawa. Spesies ini terancam oleh konversi hutan dataran rendah yang meluas menjadi perkebunan kelapa sawit serta penebangan untuk kebutuhan kayu. Hilangnya habitat asli spesies ini diperkirakan telah menyebabkan penurunan populasi setidaknya 50% selama tiga generasi terakhir.
Pegiat konservasi Saninten, Leni Suswati mengatakan faktor pemicu kepunahan pohon saninten di Jawa tak jauh berbeda dengan Sumatra. Jika di Sumatera populasi pohon habis akibat pembabatan perkebunan sawit, di Jawa penyebabnya diakibatkan alih fungsi kawasan hutan menjadi pertanian atau pemukiman.
"Habitat saninten dibabat jadi perkebunan sayur, pemukiman atau kawasan wisata. Di habitat gunung Bukit Tunggul misalnya, memang pohon besarnya masih ada, tapi untuk registrasi relatif sulit," jelas Leni.
Kondisi itu makin menggerus populasi pohon saninten. Apalagi secara alamiah regenerasi pohon ini sangat lambat karena adanya konsumsi biji oleh manusia atau satwa liar mengakibatkan minimnya populasi benih dan perkecambahan. Tak salah jika IUCN memasukkan pohon ini pada daftar merah, karena populasinya tercatat tinggal di Gunung Gede-Pangrango sebanyak 12 pohon per hektar dan di Gunung Halimun antara 7 hingga 13 pohon per hektare.
"Latar belakang itu yang mendesak kami untuk segera membuat blok konservasi Saninten di Suntenjaya. Kalau gak cepat bergerak, tanaman ini bisa benar-benar hilang," jelas Leni.
Menurutnya punahnya pohon saninten bukan sekedar lenyapnya satu jenis pohon. Tapi ada dampak besar yang ikut menyertai yakni kehilangan siklus keseimbangan alam, tergerusnya kantung konservasi air, serta acaman bencana alam karena hilangnya tutupan lahan.
"Senjakala saninten harus kita cegah dengan membuatnya tetap tumbuh. Kalau sudah kita rawat dan tumbuhkan, itu berarti kita juga sedang merawat area tutupan, mencegah alih fungsi, serta mewat sumber air dan mencegah banjir," tandasnya.

Benteng Hidup Degradasi Lahan
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Wahyudin Iwank menyebut alihfungsi lahan secara masif di Kawasan Bandung Utara atau KBU menjadi penyebab utama bencana longsor dan banjir di Lembang, lantaran menghilangkan fungsi resapan air dan hutan lindung.
Walhi Jabar mencatat, lahan kritis di Jawa Barat terus meningkat, dengan angka mencapai lebih dari 1 juta hektare. Berdasarkan data terbuka Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun 2021, tutupan lahan kritis telah mencapai 907.683 hektare. Namun dalam dua tahun terakhir, alihfungsi justru semakin tak terkendali.
Untuk luasan KBU sendiri seluas 40 ribu hektare, namun menurut Walhi 70 persennya atau sekitar 28 ribu hektare telah rusak dan rawan potensi bencana. Kerusakan itu disebabkan hilangnya wilayah resapan air.

Merujuk dari dokumen amdal, dalam 10 tahun terakhir degradasi atau alih fungsi lahan di KBU diperkirakan telah mencapai 200 hektare, atau pertahunnya terhitung seluas 10-20 hektare. izin pembangunan di KBU di antaranya didominasi pembangunan hotel, perumahan, apartemen dan villa.
Di samping itu ada bisnis lain yang turut menyebabkan perubahan bentang alam yakni menjamurnya izin-izin wisata alam, kafe, usaha kuliner, outbound, off road dan privatisasi air. Izin pembangunan dan pembukaan usaha baru ini dikeluarkan dengan seporadis oleh pemeritah Kabupaten/kota dan provinsi.
“Lembang yang dulunya dikenal sebagai kantong resapan, sekarang justru jadi langganan banjir. Itu akibat hilangnya vegetasi alami yang seharusnya menahan air,” ujar Iwank.
Kepala Bidang Penataan Bangunan Prasarana Permukiman dan Bina Konstruksi Dinas PUTR Kabupaten Bandung Barat, Rahmat Ardiansyah, mengakui lemahnya pengawasan menjadi salah satu pemicu menjamurnya bangunan tak berizin di kawasan kaki Gunung Tangkuban Parahu. Menurutnya, proses pembangunan banyak yang tidak melalui prosedur legal yang ditetapkan pemerintah.
“Alih fungsi lahan yang tidak terkendali menjadi salah satu penyebab utama. Banyak pembangunan yang tidak melalui mekanisme perizinan di kami,” ujar Rahmat.
Ia menambahkan bahwa hampir setengah dari bangunan yang ada di wilayah Lembang berdiri tanpa dokumen izin mendirikan bangunan. Tak sedikit di antaranya yang berfungsi sebagai tempat tinggal warga.
“Komposisinya hampir seimbang, antara yang berizin dan yang tidak. Masalahnya, banyak rumah yang dibangun tanpa permohonan izin terlebih dahulu,” jelasnya.
Di kawasan yang masuk Zona KBU, pembangunan seharusnya tunduk pada aturan Koefisien Dasar Bangunan (KDB), yang membatasi luas bangunan maksimal 10 hingga 20 persen dari total lahan. Hal ini bertujuan menjaga kelestarian wilayah konservasi dan daerah tangkapan air.
Namun, berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, saat ini sekitar 70 persen dari total 40 ribu hektare lahan di KBU telah mengalami perubahan fungsi. Hal ini memperbesar risiko bencana ekologis seperti longsor dan banjir yang kerap terjadi.
Data dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) KBB mencatat, sejak 2022 hingga 2024, hanya 326 izin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang diterbitkan di seluruh kawasan KBU. Sebagian besar permohonan izin datang dari Kecamatan Parongpong dan Lembang, namun dibandingkan dengan maraknya bangunan yang berdiri, jumlah ini dinilai masih jauh dari realitas di lapangan.
Sistem perizinan yang kini terintegrasi melalui platform Online Single Submission (OSS) diharapkan dapat memperketat pengawasan. Namun, pelaksanaannya tetap bergantung pada koordinasi lintas dinas, serta kepatuhan masyarakat terhadap aturan tata ruang dan lingkungan yang berlaku.
“Prosesnya tetap harus mengikuti ketentuan seperti PKKPR, Amdal, UKL-UPL, serta acuan dari Perda RTRW terbaru. Khusus untuk KBU, rujukannya adalah Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2016,” jelas Kepala Bidang Perizinan DPMPTSP KBB, Yusef Ahmad Darajat.
Fadiyah Munifah, Community Development Officer Pertamina AFT Husein Sastranegara mengatakan, keberadaan program konservasi Saninten di Suntenjaya bertujuan untuk melindungi keanekaragaman hayati sekaligus membuat benteng alih fungsi lahan di KBU.

"Untuk kegiatan konservasi saninten ini sendiri dilatarbelakangi adanya isu degradasi lahan di kawasan bandung utara yang diakibatkan alih fungsi lahan hijau untuk pertanian intensi monokultur, salah satu dampaknya adalah penurunan fungsi ekologis seperti ancaman loss biodiversity hilangnya keanekaragaman hayati," tutur Fadiyah.
Guna memperkuat program konservasi pohon dan pencegahan alih fungsi ini pihaknya menggandeng berbagai elemen masyarakat mulai dari warga sekitar, pegiat konservasi, pemerintah desa, Perhutani, serta akademisi. Selain penanaman pohon langka, program ini diintegrasikan dengan pemberdayaan masyarakat khususnya petani kopi yang ada di koperasi buana walatra sejahtera, sehingga model konservasi saninten ini menjadi konsep agroforestri kopi.
"Selain Saninten kita juga tanam yang lain, ada MTPS atau tanaman buah agar petani disana bisa berdaya secara ekonomi. Tanaman itu jenis tanaman penguat akar dan berfungsi menyerap air seperti jeruk, alpukat, dan kopi," jelasnya.
Toponimi dan Potensi Ekonomi
Di sebuah jalan gang di Desa Kayuambon, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB) tertulis plang kecil bernama: "Gang Saninten" memakai hurup warna putih serta latar papan kayu bercat hijau tua.
Jalan beraspal hitam itu pendek, tak lebih dari 20 meter, namun tetap bisa dilewati satu mobil berukuran sedang. Kiri-kanannya dipatit benteng serta 4 bangunan rumah berderet dengan ujungnya mentok di pintu masuk SMAN 1 Lembang.
Gang ini terlihat seperti fasilitas penunjang permukiman biasa. Tempat warga hilir mudik dengan keramaian rutin para siswa SMA tatkala masuk dan pulang sekolah. Namun ada satu hal yang menarik: tak satu pun dari warga yang tinggal di sana benar-benar tahu asal-usul nama gang tempat mereka tinggal.
“Saya pikir itu cuma nama aja. Saninten itu terdengar seperti kata Sunda atau mungkin singkatan,” ujar Depi Gunawan (38), salah satu warga Gang Saninten. Depi mengaku baru tahu bahwa Saninten adalah nama pohon ketika iseng mencarinya di internet. “Pas saya cari, ternyata itu nama pohon. Saya kaget juga, karena saya sendiri belum pernah lihat pohonnya. Mungkin memang dulu ada, tapi sekarang udah nggak ada di sekitar sini ya?” katanya sambil tersenyum, setengah ragu.
Pudarnya pengetahuan seperti dialami Depi disebabkan terputusnya pengetahuan masyarakat tentang asal-usul nama kawasan. Selain itu, berkurangnya keberadaan pohon saninten ikut jadi faktor hilangnya pengetahuan masyarakat. Tanpa kehadiran fisik yang nyata, nama pun perlahan menjadi simbol tanpa isi. Warga seperti Depi tidak bisa lagi mengaitkan nama tempat tinggalnya dengan rupa asli si pohon, karena memang pohonnya tak lagi tumbuh di sekitar mereka.
“Mungkin kalau pohonnya masih ada di sekitar sini, orang-orang bakal lebih tahu,” ujar Depi. “Anak-anak bisa diajak lihat, terus orang tua juga bisa cerita. Tapi sekarang kita cuma tahu dari Google.”
Bagi Depi, informasi kecil yang ia temukan itu justru membuatnya ingin tahu lebih jauh. “Kalau ada pohonnya lagi, saya pengen lihat. Mungkin bisa jadi kebanggaan juga, kan? Soalnya, nggak semua tempat punya nama dari pohon langka,” katanya.
Terawetkannya pohon saninten dalam toponimi kawasan bukan saja berada di Lembang. Hasil penelusuran, saninten dipakai nama sebuah Jalan di Cihapit, Bandung Wetan, Kota Bandung. Menjadi nama puncak bukit di Rancah, Kabupaten Ciamis. Serta nama Desa di Kecamatan Kadu Hejo, Kabupaten Pandeglang.
Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) sekaligus penulis buku Toponimi: Susur Galur Nama Tempat di Jawa Barat, T Bachtiar mengatakan toponimi saninten memang berasal dari pohon saninten. Kebiasaan masyarakat Pasundan, memakai nama kawasan merujuk nama flora, fauna, hingga rupa bentuk bumi.
"Kemungkinan pernah ada pohon saninten di sana, sehingga menjadi ciri kawasan. Di Tahura Djuanda ada pohonnya. Saninten itu bijinya enak dimasak tanpa minyak," jelas Bachtiar.
Bachtiar mengapresiasi kelompok masyarakat yang melaksanakan konservasi tanaman saninten. Menurutnya, langkah itu bukan saja menyelamatkan varietas asli Indonesia, tapi juga merawat ingatan kolektif masyarakat terhadap nama kawasan dan menjadi bukti empiris.
Pria ahli di bidang geografi itu juga mendorong toponimi sebagai dasar negara atau masyarakat dalam melaksanakan penghijauan atau rekayasa sivil dengan cara vegetatif di area rawan longsor, ambrasi dan bencana alam lainnya.
Toponimi dapat menjadi pintu gerbang dalam pemilihan jenis pohon yang akan ditanam dalam penghijauan di suatu kawasan. Kalau di sempadan sungai atau di taman dekat tempat itu ditanapi pohon saninten kan bagus," tandasnya.
Selain terawetkan dalam toponimi sehingga jadi warisan kebudayaan. Saninten punya potensi ekonomi tinggi. Pemanfaatan biji dari kerabat saninten, yakni kastanya (Castanea spp.), di negara lain sebenarnya sudah berkem bang ribuan tahun lamanya. Kastanya merupakan bahan makanan yang sudah lama terkenal di Eropa dan Asia.
Merujuk buku Cerita 100 Pohon karya Yanuar Ishaq tahun 2019, peneliti tumbuhan Swiss, bernama Marco Conederanmenjelaskan bahwa kastanya (Castanea sativa) pertama kali dibudidayakan di Eropa pada masa Kerajaan Yunani kuno di wilayah Mediterania kurang lebih 3000 tahun yang lalu. Kemudian tersebar di Eropa bagian tengah pada masa invansi Kerajaan Roma.
Kastanya (Castanea crenata) juga telah menjadi sumber makanan utama bagi masyarakat Jepang pada periode Jomon, periode sebelum budi daya tanaman berkembang (2500 tahun yang lalu) menurut Masaki Nishida (2002) dalam publikasinya "Another Neolithic in Holocene Japan".
Sedangkan di China menurut Li Zai-Long (1998), "kastanya (Castanea mollisima) menjadi salah satu buah-buahan yang tercatat telah dibudidayakan sejak 6000 tahun yang lalu" dalam publikasinya di Deciduous Fruit Development in Asia, FAO Regional Asia Pacific.
Sampai saat ini China telah berhasil secara kontinu memanfaatkan kastanya sebagai sumber makanan yang menjadi komoditas ekspor, tercatat dalam laporan IndexBox, sebuah perusahaan marketing dan konsultasi terpercaya berbasis di California, USA, World - Chestnut - Market Analysis, Forecast, Size, Trends and Insights 2017. Ekspor kastanya dari China sebesar 34 ribu ton pada tahun 2017 dengan nilai ekspor sebesar $73 juta atau Rp 1,108 triliun.
Hal ini bisa menjadi penggugah bahwa saninten sebagai kerabat kastanya bisa menjadi salah satu komoditas ekspor yang bernilai tinggi. Tidak menutup kemungkinan saninten jika dikelola dengan baik akan mendatangkan nilai tambah bagi masyarakat Indonesia.
"Ke depan setelah saninten di sini tumbuh besar dan berbuah kita ingin ini jadi komoditas unggulan non kayu. Jadi lahannya bisa tempat wisata edukasi, bijinya bisa komoditas unggulan," papar Leni. "Doakan kami tetap konsisten hingga bisa dipetik manisnya," ungkapnya.
Langit mulai berwarna tembaga ketika Deka dan Leni menuntaskan pekerjaannya hari itu. Suara serangga hutan berpadu dengan desir angin yang melewati pucuk-pucuk saninten. “Kami cuma ingin pohon ini tetap hidup,” kata Leni, menatap jauh ke lereng Bukit Tunggul. “Kalau saninten bisa bertahan, artinya alam juga masih punya harapan.” (*)