AYOBANDUNG.ID - Sudah lebih dari satu dekade, Rinda Aunillah Sirait resmi menjalani kehidupannya dengan peran multifungsi.
Banyak peran yang Ia mainkan dalam satu waktu. Menjadi akademisi, berkegiatan sebagai aktivis lingkungan, pun pernah menjajaki dunia jurnalis di lapangan, serta tak lupa tugas terakhir yang menjadi kewajiban—seorang ibu tunggal.
Tekadnya terhadap lingkungan dimulai dari mengambil peran sebagai Koordinator Profauna Jawa Barat semenjak 2014. Dari sana peran Rinda (46), dalam edukasi pemberdayaan lingkungan dan satwa liar melanglang buana hingga tahun 2020.
Kontribusinya dalam dunia aktivis lingkungan bukan datang dari keinginan impulsif yang tak berdasar, justru jalan itu berkembang dari sebuah luka. Suaranya yang tenang perlahan berubah menjadi sedikit bergetar dan bola matanya berkaca-kaca,
“Ada satu momen dimana perpisahan saya dengan suami sekaligus ayah kandung dari anak saya, sedikit mengguncang psikis."
"Akhirnya, saya berpikir sampai menemukan satu hal penting. Jika saya merasa tidak berguna bagi sesama manusia—terutama pada pasangan saya, maka saya harus berguna bagi lingkungan dan alamnya,” kenangnya.
Bukan hanya omong kosong belaka, tetapi pada akhirnya keputusan tersebut menjadi langkah awal karirnya semakin fokus di bidang lingkungan, tak lupa kesibukan menjadi aktivisme juga ternyata berperan penting sebagai penyeimbang psikologisnya pada masa transisi sang suami dan dirinya resmi berpisah.
Tak terasa dari waktu ke waktu, sumber pengalih perhatian dan psikologisnya berubah menjadi akses jendela pengetahuan yang semakin membuatnya penasaran. Kegiatan aktivisme ini kemudian berperan sebagai medium dirinya berhasil mencapai tahap kelulusan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi, penelitian pada tahap S2 dan S3.
“Selain membantu saya dalam topik penelitian, yang paling membuat saya betah di dunia aktivis lingkungan ini—tentu saja, karena sedikit-demi sedikit saya bisa menularkan pengetahuan soal lingkungan dan satwa liar pada anak tunggal saya. Sampai akhirnya, keputusan putri saya dalam memilih jurusan kuliah—jatuh kepada bidang konservasi kelautan,” ucapnya dengan senyum bangga.
Walaupun yang Ia ceritakan seolah-olah tidak menunjukkan proses yang sulit dan pelik, namun di balik senyumnya yang hangat sebagai seorang Ibu, Ia ternyata menyimpan beragam luka tersembunyi yang jarang diketahui orang-orang di sekitarnya.
“Kalau ditanya tentang stigma yang melekat pada diri saya, tentu akan selalu ada. Salah satunya, fakta bahwa di tahun 2010-2013-an jurnalis perempuan masih minim jumlahnya dan status saya sebagai “Janda” kemudian sering dipermasalahkan,” kjarnya, kembali bernostalgia mengingat masa awal karirnya dahulu kala.
Tak pantang menyerah, hal itu bukanlah suatu halangan bagi Rinda untuk terus berkembang di dalam lingkup jurnalisme lingkungan. Menurutnya, kekuatan berjejaring bersama teman-teman jurnalis lainnya sangat membantu pekerjaannya di lapangan.
“Waktu itu, saya pernah mendapatkan ujaran kebencian dan pelecehan verbal di medsos. Hal itu disebabkan karena saya menulis artikel opini bersifat kontra pada saat seorang pejabat publik menghadiri satu event di siang hari, yang menghadirkan burung hantu,” terang Rinda.
Rinda menjelaskan, bahwa peristiwa itu juga membuktikan aspek kekuatan berjejaring ternyata bisa membantunya saat merasa terancam. Teman-teman jurnalis lain menyarankan dirinya untuk menutup akun demi menjaga data privasi.
Rinda sedikit meringis, “Ada juga kasus di mana eksploitasi “doger monyet” dan pembelian sejenis owa jawa masih tergolong marak di lapangan.”
Sebagai aktivis lingkungan, bukan hanya soal menulis artikel saja yang Ia tekuni—tetapi usahanya juga mencakup soal melakukan edukasi dan sosialisasi ke tempat-tempat pelosok yang akhirnya menjadi sebuah pembuktian diri tentang komitmen yang kuat pada bidang lingkungan.
Walaupun rekam jejaknya di sektor jurnalisme lingkungan tergolong naik-turun—tak selamanya melegakkan dan tak selamanya terintimidasi, Rinda mengingatkan bahwa menjadi perempuan merupakan sebuah pembelajaran diri yang prosesnya panjang.
Ia pun menambahkan, supaya perempuan Indonesia lebih mandiri soal pilihan hidupnya. Namun, dipastikan untuk tetap aware dengan isu-isu lingkungan yang tentunya dibarengi dengan akses berjejaring yang luas supaya menemukan ruang lingkup yang stabil dan aman.