AYOBANDUNG.ID - Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan dan semak belukar kawasan Hutan Maribaya, sebuah penemuan unik menyimpan misteri masa lalu yang terlupakan. Koswara, pria 42 tahun dari Kampung Maribaya, Desa Langensari, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, secara tak sengaja menemukan sebuah patung kepala manusia berukuran jauh lebih besar daripada kepala manusia biasa.
Patung itu memiliki diameter sekitar tiga meter, lengkap dengan mulut, hidung, dan telinga, berdiri kokoh di bawah tebing tak jauh dari Air Terjun Curug Omas. Namun, jika dilihat dari kejauhan, sosok raksasa ini sulit terlihat, tersembunyi di balik semak belukar dan rumpun bambu, dengan seluruh permukaannya tertutup rumput liar dan lumut.
Ada yang membuatnya berbeda dari patung biasa—bentuknya menyerupai arca dwarapala, sosok penjaga yang kerap ditemukan di gerbang candi atau keraton di Jawa. Namun yang ditemukan hanya bagian kepala, tanpa badan yang utuh.
Tak jauh dari lokasi itu, sekitar 500 meter jauhnya, Koswara juga menemukan sebuah ukiran relief di lereng curam. Relief tersebut menggambarkan sosok manusia berkuncir, mengenakan selendang, dan menaiki binatang mirip kuda. Berbeda dengan patung kepala yang terlihat sangat kuno, relief ini justru memberi kesan lebih modern, terlihat dari sisa warna cat merah dan kuning yang masih melekat pada ukiran tersebut.
Koswara masih ingat betul saat penemuan itu terjadi. Waktu itu, ia tengah memasang perangkap lebah di kawasan hutan tersebut. Ia teringat cerita kakek buyutnya tentang dua tempat bernama Bubutaan dan Cadas Kuda Lumping—nama-nama yang selama ini hanya dianggap sebagai sebutan biasa untuk area hutan itu.
Namun kini, nama-nama tersebut menemukan makna baru setelah melihat patung kepala manusia raksasa yang kemudian disebut Bubutaan, dan relief manusia menaiki kuda yang dinamai Cadas Kuda Lumping.
Meski begitu, Koswara tak mengetahui siapa pembuat patung dan relief itu, atau kapan keduanya dibuat. Keluarganya pun tak pernah membicarakan asal-usul benda-benda tersebut. Lebih aneh lagi, keduanya ditemukan jauh di dalam hutan belantara yang sepi, seolah sengaja disembunyikan.
Menurut cerita ayah Koswara, dulunya lokasi itu kerap menjadi tempat bertapa atau semedi. Di sana sering ditemukan dupa, rokok, atau sesaji berupa kelapa muda sebagai tanda penghormatan dan ritual spiritual. Kini, tradisi itu telah lama hilang dan jejak-jejak sesaji pun tak lagi tampak.


Dari Seniman ke Tahanan Politik
Keberadaan sejumlah karya seni berbentuk patung dan relief di tengah Hutan Maribaya diduga kuat merupakan karya dua seniman anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yaitu Tubagus Chutbani BA dan Unu Pandi.
Lekra merupakan organisasi yang dibentuk sejumlah tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 17 Agustus 1950 sebagai wadah bagi para seniman pada masa itu. Namun, dalam perjalanannya, lembaga ini kerap dituding menjadi media propaganda politik PKI hingga dibubarkan tahun 1966.
Hasil penelusuran menyebutkan, kedua seniman Lekra tersebut sengaja membuat patung dan relief untuk mempercantik destinasi wisata Maribaya pada tahun 1970-an. Saat itu, pemandian air panas Maribaya, Air Terjun Maribaya, dan Air Terjun Omas masih dikelola oleh pemerintah Kabupaten Bandung.
Status keduanya adalah mantan tahanan politik (Tapol) peristiwa G30S. Mereka sempat diburu rezim Orde Baru dan ditahan di Jalan Jawa, Kota Bandung. Karena tak terbukti bersalah, pada tahun 1970-an Bupati Bandung Lily Sumantri meminta agar Chutbani dan Unu dibebaskan dan dipekerjakan di Maribaya.
“Chutbani dan Unu ini dikenal sebagai Tapol golongan C. Meski telah bebas, mereka tetap dikenakan wajib lapor,” kata Entun Suryana Alamsyah (76), rekan kerja keduanya di Maribaya.
Beberapa patung dan relief karya Chutbani dan Unu masih tersisa di hutan. Di antaranya patung kepala manusia raksasa lengkap dengan detail wajah, serta relief sosok manusia berkuncir menaiki kuda. Kini, keduanya nyaris tak terlihat karena tertutup lumut dan semak.
Tak hanya dua, menurut Entun, karya mereka mencapai puluhan, tersebar di berbagai titik Hutan Maribaya. Ada yang berada di tepi sungai, di depan pintu masuk, hingga lokasi terpencil. Beberapa masih utuh, lainnya rusak atau hanyut terbawa arus Sungai Cikapundung.
“Banyak sekali—ada patung kuda lumping, singa, katak, kera, rusa, buaya, sampai relief tradisi adu domba,” ujarnya.
Entun bercerita, selain Chutbani dan Unu, ada sekitar 30 Tapol ’65 yang bekerja di Maribaya pada 1970–1975. Mereka bisa bebas berkat jaminan langsung dari Bupati Lily Sumantri, meski tetap mendapat stigma negatif dan diskriminasi.
“Bupati Lily yakin mereka tidak bersalah. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, mereka tetap sering dituduh PKI dan tidak bisa diangkat menjadi PNS seperti warga lain,” katanya.
Entun menyebut selama bekerja, Chutbani dan Unu tak pernah bercerita detail soal keterlibatan mereka di Lekra. Mereka hanya mengaku pernah belajar seni rupa kepada Hendra Gunawan, tokoh Lekra terkenal di Bandung dan Jawa Barat.
Kedua seniman ini menegaskan tidak pernah merencanakan atau terlibat dalam peristiwa G30S.
“Saat bekerja bersama saya, mereka membantah terlibat. Mereka hanya sempat belajar pada Hendra Gunawan. Tapi tiba-tiba dituduh PKI dan ditahan militer,” jelasnya.
Senada dengan Entun, mantan Kepala Balai Pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda, Lianda Lubis, mengatakan patung kepala raksasa dan relief manusia naik kuda itu memang karya Chutbani BA dan Unu Pandi sekitar tahun 1972.
Ia menjelaskan, patung dan relief itu merupakan karya seni luar ruang yang dibuat dari campuran batu, semen, dan pasir. Dulu, masyarakat melihatnya sebagai patung biasa, namun seiring waktu dan tertutup lumut, karya itu justru terlihat lebih artistik.
“Kalau ada yang bertanya ini peninggalan Belanda atau kerajaan, jawabannya bukan. Ini peninggalan dua seniman,” kata Lianda. (*)