Andri Ganamurti selaku Owner dari brand Daimata, produk UMKM sambal dalam kemasan. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)

Ayo Biz

Dari Bank ke Dapur: Andri dan Daimata yang Meracik Peluang dari Pedasnya Sambal Lokal

Senin 01 Sep 2025, 18:01 WIB

AYOBANDUNG.ID -- Indonesia dikenal sebagai negeri seribu sambal. Dari Sabang hingga Merauke, hampir setiap daerah memiliki racikan pedas khas yang menjadi pelengkap wajib di meja makan. Di tengah kecintaan masyarakat terhadap rasa pedas, lahirlah Daimata, sebuah brand sambal kemasan yang digagas oleh Andri Ganamurti, mantan pegawai bank yang kini menekuni dunia kuliner sebagai pelaku UMKM.

Ide mendirikan Daimata muncul saat Andri ditugaskan dinas ke Tasikmalaya. Di sana, ia menemukan sambal goang sebagai pelengkap tutug oncom yang menggugah selera. Namun, satu hal yang mengganggu pikirannya, yakni sambal tersebut tidak tahan lama.

"Saya berpikir, gimana caranya supaya sambal ini bisa dinikmati tapi tetap tahan lama,” ujar Andri saat berbincang dengan Ayobandung.

Berbekal rasa penasaran dan semangat belajar, Andri mulai meriset cara membuat sambal yang awet tanpa bahan pengawet. Hasilnya, lahirlah Daimata pada tahun 2021, dengan sambal goang sebagai produk perdana.

Daimata mengusung konsep sambal dasar, tanpa isian tambahan seperti teri, pete, atau udang. Hanya cabai dan rempah-rempah pilihan yang diolah secara higienis.

“Kami tidak pakai bahan pengawet. Produk kami sudah halal dan mereknya sudah terdaftar di HAKI,” jelas Andri.

Legalitas yang lengkap menjadi fondasi kuat bagi Daimata untuk bersaing di pasar yang semakin kompetitif. Dengan harga Rp35.000 per botol, sambal Daimata menyasar konsumen yang mengutamakan kualitas dan keaslian rasa.

Saat ini, Daimata memiliki tiga varian sambal seperto sambal geprek, sambal goang, dan sambal ngoprot. Masing-masing memiliki karakteristik cabai yang berbeda. Sambal geprek menggunakan cabai keriting merah, sambal goang dari cabai rawit merah, dan sambal ngoprot —yang paling pedas— juga dari cabai rawit merah namun dengan racikan yang lebih tajam.

“Yang paling pedas itu sambal ngoprot. Cocok buat mereka yang suka tantangan rasa,” kata Andri.

Berbagai produk Daimata, sebuah brand sambal kemasan. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)

Sebelum terjun ke dunia kuliner, Andri bekerja di sektor perbankan. Keputusan untuk meninggalkan pekerjaan stabil demi membangun usaha sendiri bukan hal mudah. “Alhamdulillah, meskipun baru punya dua karyawan, saya bisa produksi dari rumah di Gedebage,” ungkapnya.

Langkah ini menunjukkan keberanian Andri dalam mengejar passion dan melihat peluang di sektor yang ia yakini memiliki potensi besar. Seperti banyak pelaku UMKM lainnya, Andri mengalami masa-masa sulit di awal produksi.

“Waktu pertama produksi, nggak ada yang beli. Mungkin karena belum ada yang tahu produk dan rasanya gimana,” kenangnya.

Namun, ia tidak menyerah. Perlahan, melalui promosi di media sosial dan e-commerce, Daimata mulai dikenal. Kini, penjualan di Instagram dan Tokopedia menunjukkan tren positif.

Andri memanfaatkan media sosial sebagai kanal utama promosi. Dengan konten yang menarik dan interaksi yang aktif, Daimata berhasil membangun komunitas konsumen yang loyal. “Instagram itu jadi etalase kami. Dari sana banyak yang mulai kenal dan pesan,” katanya.

Strategi ini membuktikan bahwa branding digital adalah senjata ampuh bagi UMKM untuk menjangkau pasar yang lebih luas.

Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen rumah tangga di Indonesia mengonsumsi sambal secara rutin. Karakter masyarakat yang gemar rasa pedas menjadi peluang emas bagi pelaku usaha seperti Andri.

“Sambal itu bukan sekadar pelengkap, tapi sudah jadi bagian dari identitas kuliner kita,” ujar Andri.

Oleh karena itu, dirinya percaya bahwa produk sambal lokal bisa bersaing dengan produk pabrikan jika dikemas dengan baik dan menjaga kualitas. Sebagai pelaku UMKM, Andri berharap ada dukungan lebih dari pemerintah.

Berbagai produk Daimata, sebuah brand sambal kemasan. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)

"Saya berharap support dari pemerintah supaya lebih banyak memanfaatkan produk-produk UMKM. Jangan sampai masyarakat lebih senang beli produk dari pabrik-pabrik,” tegasnya.

Menurutnya, produk UMKM justru lebih transparan dalam proses produksi dan bisa lebih mudah dicek higienitasnya dibandingkan produk massal.

Meski diproduksi dari dapur rumah di Gedebage, kualitas sambal Daimata tidak kalah dengan produk industri besar. Proses produksi yang terkontrol dan bahan baku segar menjadi kunci utama.

“Kami jaga betul kualitas. Setiap botol sambal Daimata adalah hasil dari proses yang kami awasi langsung,” ujar Andri.

Tak hanya itu, Andri tidak berhenti di tiga varian sambal. Ia terus bereksperimen dengan rasa dan teknik pengemasan agar produk tetap relevan dan menarik. “Kami ingin terus berkembang, mungkin nanti ada varian sambal khas daerah lain,” katanya.

Inovasi menjadi bagian penting dari strategi bertahan di tengah persaingan pasar yang dinamis. Daimata pun adalah misi Andri untuk mengangkat kuliner lokal ke panggung nasional. Ia ingin sambal khas Indonesia bisa dinikmati oleh siapa saja, kapan saja, tanpa kehilangan cita rasa aslinya.

“Kalau bisa, sambal Daimata jadi oleh-oleh khas Bandung yang bisa dibawa ke mana-mana,” harapnya.

Persaingan dengan produk pabrikan dan menurunnya daya beli masyarakat menjadi tantangan tersendiri. Namun, Andri tetap optimis. Ia percaya bahwa kualitas dan kejujuran dalam produksi akan selalu menemukan pasar.

“Kalau produk bagus dan jujur, pasti ada jalannya. Saya ingin Daimata jadi bukti bahwa UMKM bisa besar, asal kita konsisten dan percaya pada kualitas,” ujarnya.

Informasi Sambal Daimata

https://www.instagram.com/daimata.sambal

Link pembelian produk sambal dan UMKM serupa:

• https://s.shopee.co.id/AUjDYDZLd5

https://s.shopee.co.id/3LG3148gNj

https://s.shopee.co.id/50OH096Kjo

Tags:
kuliner lokalsambal kemasanUMKM dunia kulinerDaimata

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Reporter

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Editor