Literasi keuangan kembali menjadi sorotan utama di tengah meningkatnya kasus pinjaman ilegal yang menyasar pelaku usaha mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah. (Sumber: Ayobandung.id)

Ayo Biz

Meningkatkan Literasi, Melawan Jerat: Strategi Keuangan untuk Rakyat Berdaya

Kamis 03 Jul 2025, 12:10 WIB

AYOBANDUNG.ID -- Di tengah meningkatnya kasus pinjaman ilegal yang menyasar pelaku usaha mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah, literasi keuangan kembali menjadi sorotan utama sebagai upaya perlindungan dan pemberdayaan masyarakat.

Untuk memperkuat pemahaman publik terhadap pentingnya akses pembiayaan yang legal dan produktif, Ayobandung.com menginisiasi diskusi jurnalis bertajuk "Ayo Ngobrol Uang: Literasi Keuangan dan Akses Pembiayaan Legal bagi Masyarakat". Acara ini berlangsung di Bahagia Kopi, Jalan No.21, Kota Bandung pada Rabu (2/7/2025), dan menghadirkan berbagai pemangku kepentingan dari sektor keuangan dan ekonomi, hingga pelaku usaha lokal.

Turut hadir dalam diskusi ini perwakilan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Jawa Barat, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Provinsi Jawa Barat, akademisi dari Universitas Bina Nusantara (Binus). Mereka berbagi pandangan dan strategi untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat, khususnya dalam menghadapi godaan pinjaman konsumtif dan praktik pembiayaan ilegal.

Diskusi ini menekankan bahwa peningkatan literasi keuangan harus berjalan seiring dengan perluasan akses terhadap pembiayaan legal. Dengan pemahaman yang memadai, masyarakat diharapkan mampu membedakan antara pinjaman produktif dan konsumtif, serta menghindari jebakan utang yang merugikan.

"Yang paling penting dari literasi keuangan bukan sekadar memahami istilah finansial, tetapi juga mencakup kemampuan mengelola pemasukan dan pengeluaran, serta keberanian mengambil keputusan finansial yang bijak. Itu lah pentingnya edukasi dan literasi," ujar Kepala Direktorat Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan Kantor OJK Jawa Barat, Yuzirwan.

Yuzirwan mengungkapkan, fenomena dan permasalahan yang terjadi di masyarakat salah satunya godaan terkait bahaya pinjaman online (pinjol) ilegal. Adapun poin penting dan perbedaan paling mencolok fintech leanding atau pinjaman online ilegal yakni tidak memiliki izin resmi dan tidak terdaftar serta diawasi OJK.

"Karena tidak memiliki izin, OJK tidak bisa masuk memberikan perlindungan kepada konsumen, tidak bisa mengawasi, dan memberikan sanksi kepada fintech bersangkutan. Jatuhnya kalau ada masalah menjadi penipuan dan masuknya jadi ranah pidana di kepolisian," kata Yuzirwan.

Berdasarkan data OJK, Indeks Inklusi Keuangan di masyarakat sekitar 80,51 persen sedangkan Indeks Literasi Keuangan sekitar 66,46 persen. Artinya ada gap sekitar 14,05 persen yang menjadi tantangan perlindungan konsumen dam masyarakat di sektor keuangan.

Masih minimnya pemahaman publik terkait literasi keuangan, banyak terjadi modus-modus kejahatan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab melalui digitalisasi yang merugikan konsumen dan masyarakat.

Selain itu, fenomena Bank Emok, lanjut Yuzirwan, membuat banyak di masyarakat menyamakan antara pemberian kredit berkelompok yang dilakukan oleh lembaga keuangan formal dan berizin dengan pembiayaan penyaluran oleh lembaga atau perorangan yang tidak berizin.

"Fenomena dan permasalahan tersebut merupakan yang saat ini banyak muncul dan terjadi di masyarakat yang bersumber dari pengaduan konsumen dan masyarakat ke OJK, serta temuan di lapangan pada saat kegiatan edukasi kepada masyarakat," kata Yuzirwan.

Sebagai upaya pencegahan, Yuzirwan menegaskan pemberian edukasi yang memadai dengan mengedepankan nilai dan aksi edukatif dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat dan konsumen menjadi hal krusial.

Oleh sebab itu, Yuzirwan menilai, inisiatif seperti ini menjadi langkah konkret dalam membangun ekosistem keuangan yang inklusif dan berkelanjutan, terutama bagi masyarakat yang kerap menjadi sasaran empuk pinjaman ilegal.

"Diskusi seperti ini menjadi salah satu cara kita bergandengan tangan dalam menyampaikan informasi literasi keuangan, sehingga diharapkan memiliki jangkauan jauh ke masyarakat, dan tentunya membuat literasi keuangan di masarakat terus meningkat," ujar Yuzirwan.

Dalam kesempatan yang sama, Widyaiswara Ahli Madya Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Provinsi Jawa Barat, Hesti Pangastuti, menyebutkan bahwa masih banyak pelaku UMKM di Jawa Barat yang belum memahami literasi keuangan secara mendalam.

"Terkait masalah pembiayaan UMKM, yang menjadi tantangan atau PR itu mereka belum bisa memisahkan uang bisnis dengan uang rumah tangga," kata Hesti.

Kurangnya pemahaman ini, lanjut Hesti, membuat banyak pelaku usaha kesulitan saat mencari modal untuk pengembangan bisnis. Dalam situasi tersebut, mereka cenderung memilih jalur cepat melalui pinjaman, meskipun menghadapi hambatan saat mengakses pembiayaan dari lembaga perbankan.

Kesulitan memenuhi syarat perbankan membuat sebagian UMKM memilih pinjaman online sebagai alternatif. Namun, tidak jarang mereka justru terjebak pada pinjaman online ilegal.

"Ujung-ujungnya mereka akan cari yang mudah dengan pinjaman online, tapi larinya ke pinjaman online ilegal. Saat melalui pinjaman online ilegal mereka sebetulnya akan sulit mengukur kemampuan usaha, pendapatan atau omzet yang didapat dari usaha mereka," tegas Hesti.

Sebagai upaya solusi, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Provinsi Jawa Barat berencana memperluas kolaborasi dengan berbagai pihak guna mempermudah akses pembiayaan bagi pelaku UMKM. Fokus utamanya adalah pada pembiayaan untuk kebutuhan modal kerja.

"Sebagai salah satu solusinya, saat ini ada program kredit untuk UMKM, seperti Kredit Caang untuk memberi akses pinjaman kredit selama satu tahun dengan subsidi bunga atau bunga ringan, yang seetulnya merupakan hasil obrolan dengan sejumlah UMKM yang terjerat pinjaman online ilegal," ungkap Hesti.

Sementara itu, akses tanpa pemahaman kerap membuat masyarakat menjauh dari layanan keuangan formal. Karena itu, pendekatan yang personal, kontekstual, dan berbasis komunitas menjadi kunci literasi yang efektif.

Program PNM Mekaar (Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera) menjadi contoh nyata. Bukan hanya memberi pembiayaan tanpa agunan, Mekaar juga menghadirkan pendampingan mingguan, pencatatan keuangan sederhana, dan penguatan kelompok usaha. Di sinilah letak perbedaannya, di mana memberi pemahaman, bukan sekadar pinjaman.

Ratusan ribu perempuan prasejahtera telah terbantu. Mereka bukan hanya mengakses modal, tetapi juga mendapatkan kepercayaan dan bekal keterampilan. Skema tanggung renteng mendorong disiplin, solidaritas, dan semangat gotong royong modern.

Kisah para nasabah PNM menjadi bukti nyata bagaimana pendekatan ini bekerja dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya dialami oleh Enti Daryati, pelaku UMKM asal Kota Bandung, yang merasakan langsung dampak positif dari program Mekaar.

"Pertama saya masuk ke PNM Mekaar dengan nilai peminjaman mulai dari Rp2 juta, sekarang sudah Rp10 juta. Alhamdulillah sangat membantu selama saya berjualan dan membantu perekonomian keluarga saya menjadi lebih baik," ungkap Enti Daryati (44), nasabah PNM Mekaar cabang Batununggal.

Dengan menjangkau lebih dari 15 juta nasabah di ribuan titik layanan di seluruh Indonesia, PNM menunjukkan bahwa ketika kepercayaan sosial dipadukan dengan pendampingan konsisten, dampaknya melampaui angka, bahkan menggerakkan perubahan.

"PNM itu tidak memberatkan. Angsurannya dua minggu sekali Rp461.000. Alhamdulillah saya kreditnya lancar. Omzet sebelum corona bisa sampai Rp1 juta per hari, tapi sekarang sekitar Rp300 ribuan, karena saya jualan kripik, basreng, pangsit, jajanan rumahan," imbuh Enti.

Upaya PNM sejatinya membalik logika ekonomi formal. Mereka menaruh kepercayaan pada kelompok yang kerap diabaikan yakni perempuan prasejahtera. Ketika kepercayaan diberikan dalam bentuk yang benar melalui pendampingan yang konsisten, yang dampaknya bisa jauh melampaui sekadar pelunasan cicilan.

Namun, di sisi lain ekosistem keuangan nasional masih menyisakan tantangan. Tidak semua masyarakat memiliki akses pada layanan formal yang aman dan dapat dipercaya. Di ruang inilah fenomena pinjaman online ilegal tumbuh subur, mengisi kekosongan yang seharusnya diisi oleh solusi berbasis literasi dan perlindungan.

Ekonom dari Universitas Bina Nusantara (Binus), Dian Kurnianingrum, mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2024, terdapat 15.162 aduan terkait pinjol ilegal dari total 16.231 laporan yang diterima oleh Satgas PASTI. Menurutnya, kelompok usia 26–35 tahun menjadi pelapor terbanyak, disusul oleh kelompok usia 17–25 tahun.

“Data ini menunjukkan setengahnya merupakan generasi muda, seperti milenial dan generasi Z, yang seharusnya menggantikan generasi terdahulu untuk membangun Indonesia, menggerakkan roda perekonomian, justru malah terjerat pinjaman ilegal,” terang Dian.

Ia menjelaskan bahwa kerentanan ini lahir dari kondisi ekonomi yang mendesak, budaya konsumtif, dan minimnya pemahaman tentang bunga serta risiko keuangan. “Kita tidak bisa tutup mata. Banyak masyarakat berada di tingkat ekonomi menengah ke bawah, dengan kebutuhan mendesak tapi pendapatan terbatas,” ujarnya.

Sebagai solusi, Dian menyarankan Indonesia belajar dari negara-negara seperti Korea Selatan, Singapura, dan Inggris, yang telah menerapkan sistem pinjaman resmi berbunga rendah, daftar pemberi pinjaman legal, sistem pelaporan cepat, hingga akses ke nasihat keuangan gratis.

“Mungkin problemnya ada di sosialisasi yang masih kalah gencar dibandingkan kampanye pinjol ilegal. Siapa tahu, sebenarnya banyak yang ingin pinjam dari platform legal, tapi malah tersesat karena kurang informasi,” tutupnya.

Tags:
Jawa BaratOJKpelaku usahapinjaman onlinepinjaman ilegalliterasi keuangan

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Reporter

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Editor