AYOBANDUNG.ID -- Di sebuah lorong sempit yang semarak dengan deru mesin dan warna-warni benang di Kelurahan Binong, Kecamatan Batununggal, Sentra Rajut Binong Jati berdiri bukan sekadar sebagai kawasan produksi, tapi sebagai napas perjuangan.
Sentra Rajut Binong Jati bukan sekadar pusat industri kecil, tetapi lembar-lembar kisah tentang jatuh bangun para perajut Kota Bandung. Tak hanya menjual pakaian hangat, mereka menjual ketekunan, ketabahan, dan tekad untuk bertahan.
Di tengah ratusan toko yang berjajar rapat, para pengrajin terus merajut harapan meski benang kehidupan mereka sempat nyaris putus.
Jauh sebelum pandemi datang hingga hantaman ketidakpastian ekonomi saat ini, Binong Jati telah menjadi denyut nadi UMKM di Kota Bandung sejak tahun 1960-an.
Di puncak kejayaannya, lebih dari 250 pengrajin, dengan mesin rajut, tangan terampil, dan semangat tak kunjung padam menghidupi industri ini dari balik rumah-rumah sederhana.
Setiap hari, ribuan lusin sweater, cardigan, syal, dan jaket dikirimkan ke berbagai penjuru, khususnya ke Pasar Tanah Abang.
“Dulu untuk untuk penjualan ke Pasar Tanah Abang saja bisa kirim sampai 2.500 lusin pakaian,” tutur Suhaya Wondo, Koordinator Sentra Rajut Binong Jati, saat berbincang dengan Ayobandung.

Namun roda usaha tak selamanya mulus. Ketika krisis ekonomi menghantam, sebagian besar pengrajin terpaksa merelakan benang-benang harapan mereka terputus.
Sekitar 50 persen dari mereka gulung tikar, tak kuasa melawan gelombang tantangan mulai dari sejumlah penutupan pasar sampai lesunya perekonomian yang membuat anjloknya permintaan.
Tapi Binong Jati bukan tempat yang mudah menyerah. Perlahan, para perajut bangkit, membangun ulang dari benang-benang yang berserakan.
Mereka menjajal pasar daring, menyesuaikan desain, dan mengejar pelanggan yang kini beralih ke platform digital. Walau harga harus ditekan dan kuantitas dikurangi, roda tetap berputar meski pelan.
"Untuk bertahan kita merambah ke pemasaran online. Itu pun dengan harga sangat murah. Yang penting bertahan dulu," ujar Wondo.
Wondo bukan sekadar menyuarakan kondisi, tapi mewakili semangat puluhan pelaku UMKM Bandung yang menolak menyerah.
Di tengah kelesuan pasar, mereka tetap bekerja, merajut baju hangat dengan sisa benang dan harapan. Pasalnya, berharap pada momen-momen emas seperti Ramadan atau Idulfitri bukan lagi satu-satunya strategi.
Kini, mereka lebih realistis, beradaptasi dengan cuaca, permintaan aksesori, serta perilaku konsumen yang terus berubah. Dari bandana, ciput, hingga kerudung rajut, setiap produk adalah upaya bertahan.
“Rajutan yang ramai menjelang Lebaran biasanya cuma bandana, ciput, atau kerudung rajut saja. Tapi kalau baju rajutan, itu kalau mau musim hujan ramainya,” ucap Wondo.
Di sisi lain, angin bantuan juga datang dari kebijakan pemerintah, seperti relaksasi kredit usaha rakyat, penundaan cicilan, serta pengurangan bunga. Meski belum sempurna, langkah ini memberi sedikit jeda atau ruang untuk bernapas di tengah tekanan ekonomi.
“Kebijakan pemerintah sudah tepat. Ke depan, harapannya khusus UMKM bunga jangan tinggi-tinggi,” pungkas Wondo.
Binong Jati mungkin tak lagi sesemarak dulu seperti di puncak kejayaannya pada era 1980-an. Tapi di balik setiap jarum rajut yang bergerak, tersimpan kisah tentang daya tahan, kreativitas, dan keengganan untuk menyerah.
Kini, memang tak ada lagi kepastian dalam setiap rajutan, yang ada hanya konsistensi dan keteguhan. Namun yang pasti, Binong Jati tak lagi sekadar sentra industri, kawasan ini menjadi simbol bahwa selama benang masih bisa disambung, harapan tak akan pernah benar-benar terputus.