Di tengah hiruk-pikuk dunia yang semakin materialistis, hadis "Ulama adalah pewaris para nabi"sering diulang-ulang seperti mantra sakral. Ia dibacakan dalam pengajian, dikutip dalam khutbah, dan dijadikan pembenaran atas otoritas keagamaan yang seolah tak terbantahkan.
Tapi, benarkah para ulama hari ini masih mewarisi misi kenabian? Atau justru gelar itu telah berubah menjadi topeng yang menutupi wajah-wajah busuk di baliknya?
Realita yang kita saksikan sungguh memilukan. Beberapa tahun terakhir, media massa ramai memberitakan ulama dan kiai yang terlibat pencabulan terhadap santriwati, menguras dana umat untuk kepentingan pribadi, atau bermain politik kotor dengan dalih "jihad".
Yang lebih ironis, ketika kasus-kasus itu mencuat, banyak pengikutnya justru dengan arogan membela sang "ulama" daripada membela korban atau menuntut keadilan. Seolah-olah gelar keagamaan membuat seseorang kebal dari kritik, bahkan kebal dari hukum.
Dari beberapa kasus yang telah terjadi, perlu kita bertanya: sebenarnya ini warisan Nabi atau malah warisan Firaun?
Nabi-nabi tidak mewariskan harta, tahta, atau kekuasaan. Mereka mewariskan ilmu yang membebaskan, akhlak yang mulia, dan keberanian melawan kezaliman, meski harus berhadapan dengan penguasa sekalipun.
Lihatlah Nabi Musa yang menantang Firaun, Nabi Ibrahim yang menghancurkan berhala, atau Nabi Muhammad yang membela kaum mustadh'afin. Lalu, apa yang diwariskan sebagian "ulama" hari ini?
Ada yang mewariskan budaya taklid buta, di mana umat dilarang kritis dan harus patuh mutlak pada satu figur. Ada yang mewariskan mentalitas korup, menganggap dana umat sebagai hak pribadi.
Ada pula yang mewariskan politik pecah belah, memanfaatkan sentimen agama untuk menggalang kekuatan. Jika begini keadaannya, apakah mereka pewaris nabi, atau justru penerus tradisi Firaun yang menggunakan agama sebagai alat legitimasi kekuasaan?
Yang lebih berbahaya adalah ketika gelar "ulama" dijadikan tameng untuk menghindari pertanggungjawaban. Begitu seseorang disebut "kiai" atau "ustadz", kesalahannya sering dimaklumi, bahkan dibela mati-matian oleh pengikutnya.
Kasus pencabulan? "Itu fitnah!" Korupsi dana masjid? "Dia kan sudah berjasa besar!" Kolaborasi dengan penguasa zalim? "Itu untuk kemaslahatan umat!"
Inilah penyakit kronis yang menggerogoti dunia keulamaan dan kultus individu. Seorang ulama tidak lagi dinilai dari integritas dan ketakwaannya, tapi dari seberapa besar pengaruhnya, seberapa banyak pengikutnya, atau seberapa dekat dia dengan kekuasaan.
Akibatnya, yang lahir bukanlah pemimpin umat yang rendah hati, melainkan "selebritas agama" yang haus pujian dan penghormatan.
Umat pun Turut Bersalah

Kita tidak bisa hanya menyalahkan para ulama yang bobrok. Umat juga turut bersalah karena pada realitanya seringkali menciptakan pasar bagi ulama-ulama gadungan.
Ada permintaan akan figur yang "sakti", yang bisa memberikan jimat kesejahteraan, yang bisa mengabulkan segala hajat—maka munculah "ulama" yang menjual jimat, mengklaim diri sebagai wali, atau menawarkan fatwa instan tanpa dasar ilmu yang jelas.
Selain itu, umat sering terjebak dalam fanatisme buta. Ketika seorang ulama jelas-jelas melanggar hukum, banyak yang lebih memilih menyerang media atau pihak yang mengkritik daripada mengakui kesalahan sang figur.
Sikap seperti ini hanya memperpanjang budaya impunitas, di mana ulama korup atau predator bebas berkeliaran karena merasa dilindungi oleh massa.
Ulama sejati bukanlah mereka yang pandai beretorika di mimbar, tapi yang hidupnya sederhana, ilmunya mendalam, dan konsisten antara kata dan perbuatan.
Seperti Imam Syafi’i yang menolak hadiah penguasa karena tak ingin terikat, atau Imam Ahmad bin Hanbal yang dipenjara demi mempertahankan kebenaran. Mereka tidak mencari popularitas, apalagi kekayaan. Tugas mereka hanya menyampaikan ilmu dan menegakkan keadilan.
Masyarakat juga harus lebih kritis. Gelar "ulama" tidak boleh lagi dijadikan tameng kekebalan. Jika ada kiai yang mencabuli santri, dia harus dihukum setimpal. Jika ada ustadz yang korupsi, dia harus dituntut di pengadilan.
Agama terlalu suci untuk dibela mati-matian sementara nilai-nilainya diinjak-injak oleh oknum berjubah dan bersurban.
Oleh karena itu, kita membutuhkan gerakan reformasi dalam dunia keulamaan. Ulama harus kembali diuji bukan dari gelarnya, tapi dari integritas, keilmuan, dan ketakwaannya.
Pesantren dan lembaga keagamaan harus lebih ketat dalam mencetak kader, bukan hanya mengajarkan fiqih, tapi juga akhlak, kejujuran, dan tanggung jawab sosial.
Warisan nabi terlalu agung untuk dinodai oleh oknum-oknum serakah. Jika ulama hari ini ingin benar-benar disebut "pewaris nabi", maka mereka harus berani membersihkan diri dari segala penyakit hati, dengan kesombongan, ketamakan, dan haus kekuasaan.
Atau, sejarah akan mengenang mereka bukan sebagai penerus Nabi, tapi sebagai pengkhianat misi suci itu sendiri. (*)