Jejak Kota Dolar, Sejarah Sentra Rajut Bandung yang Terlilit Benang dan Waktu

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Rabu 06 Agu 2025, 14:46 WIB
Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) milik salah satu pengusaha di Majalaya. (Sumber: Wikimedia)

Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) milik salah satu pengusaha di Majalaya. (Sumber: Wikimedia)

AYOBANDUNG.ID - Di balik lalu-lalang kendaraan dan riuhnya pasar tradisional Majalaya, ada jejak sejarah yang tak lekang oleh waktu. Kampung kecil di Kabupaten Bandung ini pernah menjelma menjadi poros penting industri tekstil Indonesia. Saking besarnya kontribusi ekonomi yang dihasilkan dari ekspor kain dan sarung tenun, Majalaya dijuluki ā€œkota dolarā€ sejak dekade 1970-an hingga 1990-an. Namun seperti banyak kejayaan lain, masa emas itu kini tinggal kenangan yang perlahan memudar bersama bunyi mesin tenun yang tak lagi nyaring terdengar.

Dalam Menelusuri Jejak Sarung Tenun di Kota Dolar, Peneliti Balai Pelestarian Kebudayaan Jawa Barat, Risa Nopianti menyebut industri tekstil Majalaya bermula dari aktivitas rumahan. Sejak sebelum abad ke-20, masyarakat sudah mengenal alat tenun bukan mesin (ATBM) seperti gedogan atau kentreung, yang digunakan dalam posisi duduk bersila. Lebarnya sempit, sekitar 60 cm, cukup untuk menghasilkan kain sarung berukuran kecil. Pada masa itu, alat ini banyak digunakan oleh ibu rumah tangga yang menenun di sela-sela kesibukan domestik mereka.

Perubahan besar terjadi ketika mesin tenun tustel masuk ke Desa Namicalung pada 1940-an. Alat ini memungkinkan pembuatan kain dengan lebar dua kali lebih besar dan waktu produksi yang jauh lebih singkat. Jika sebelumnya satu lembar kain tenun memerlukan waktu satu hingga dua minggu untuk diselesaikan, maka dengan tustel, produksi bisa rampung dalam dua hingga empat hari. Kemajuan ini memicu pertumbuhan industri skala rumahan yang masif.

Desa Namicalung kemudian dikenal sebagai pusat kelahiran sarung tenun khas Majalaya. Sejak 1960-an, hampir setiap rumah di desa ini memiliki mesin tustel. Sebagian besar rumah tangga memproduksi sarung secara mandiri dan menjualnya melalui pengepul yang tersebar di Bandung dan sekitarnya. Produksi meningkat tajam, dan permintaan pasar tak hanya datang dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri, terutama kawasan Timur Tengah dan Afrika.

Baca Juga: Hikayat Dinasti Sunarya, Keluarga Dalang Wayang Golek Legendaris dari Jelekong

Tenun Majalaya punya motif sangat khas, dengan corak kotak-kotak yang dalam istilah lokal disebut poleng. Terdapat setidaknya 12 motif utama yang berkembang, di antaranya poleng camat, poleng goyobod, poleng salur, gudang garaman, hingga samarindaan dan kapiyur. Setiap motif punya cerita dan fungsi sosialnya masing-masing, menjadikan sarung Majalaya lebih dari sekadar produk tekstil—ia adalah artefak budaya.

Kota Dolar yang Tergerus Waktu

Puncak kejayaan Majalaya sebagai kota dolar terjadi pada era 1980-an. Salah satu pabrik besar di daerah ini bahkan mampu memproduksi hingga 90.000 kodi sarung per bulan. Produk mereka laris manis di pasar ekspor, mencetak devisa negara dalam jumlah besar. Merek-merek seperti Dua Gajah, Al-Majali, dan Al-Jazuli menjadi simbol kejayaan tekstil lokal yang mendunia.

Tapi masa kejayaan itu mulai redup menjelang akhir dekade 1980-an. Pemerintah saat itu memberlakukan pembatasan impor benang katun dari Jepang dan Tiongkok sebagai bagian dari strategi ketahanan industri dalam negeri. Akibatnya, pengrajin tenun di Majalaya mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku utama. Produksi terganggu, dan rumah-rumah tenun perlahan mulai gulung tikar.

Salah satu produk kain tenun Majalaya. (Sumber: Kemenparekraf)
Salah satu produk kain tenun Majalaya. (Sumber: Kemenparekraf)

Di saat yang sama, para pemodal besar, terutama dari komunitas Tionghoa, mulai membangun pabrik-pabrik tekstil modern di Majalaya. Mereka menguasai sistem distribusi dan bahan baku, memperkuat dominasi mereka di sektor hulu dan hilir industri tekstil. Pada awal 1940-an saja, pemodal Tionghoa telah menguasai lebih dari sepertiga alat tenun tangan di wilayah Bandung. Pada 1942, dominasi mereka di Majalaya meningkat drastis, dengan kendali atas lebih dari 75 persen pabrik tekstil yang ada.

Baca Juga: Puting Beliung Rancaekek Sudah Terjadi Sejak Zaman Belanda

Industri rumahan pun tak kuasa bersaing. Mereka tidak punya cukup modal, kehilangan akses terhadap benang, dan tak mampu mengimbangi efisiensi produksi pabrik besar. Ketergantungan kepada sistem pengepul dan tengkulak membuat posisi mereka semakin rentan. Dalam waktu dua dekade, sebagian besar rumah tenun tradisional di Namicalung dan sekitarnya berhenti beroperasi.

Sejalan dengan kedaan, motif-motif khas Majalaya pun mulai hilang dari pasaran. Pasar lebih tertarik pada kain tenun dari daerah lain seperti songket, ulos, tapis, dan tenun ikat yang dianggap lebih eksotik dan komersial. Alih-alih memproduksi motif sendiri, banyak pabrik tekstil di Majalaya kini justru memproduksi ulang motif tradisional dari berbagai daerah Indonesia untuk dijual kembali ke daerah asalnya. Majalaya beralih peran: dari pusat inovasi menjadi pusat distribusi.

Upaya Lestarikan Warisan yang Kian Samar

Kehilangan motif khas dan mesin-mesin tenun tradisional menggugah kesadaran sebagian warga untuk mencoba membangkitkan kembali warisan yang nyaris punah ini. Di Desa Namicalung, masih ada beberapa artefak sarung tenun yang dibuat antara tahun 1930 hingga 1960-an. Keberadaannya menjadi pengingat bahwa Majalaya pernah punya identitas kuat sebagai penghasil sarung tenun terbaik di Jawa Barat, bahkan Indonesia.

Tapi upaya pelestarian ini tidak mudah. Keterampilan menenun hampir tidak diwariskan lagi ke generasi muda. Pengetahuan tentang konstruksi alat tenun, teknik pewarnaan, hingga penciptaan motif nyaris hilang. Mereka yang masih menguasainya kebanyakan sudah sepuh. Dibutuhkan pelatihan, dukungan pemerintah, serta komitmen kolektif dari berbagai pihak agar tradisi tenun Majalaya tidak benar-benar hilang dari peta budaya.

Baca Juga: Sejarah Gang Tamim, Pusat Permak Jins Sohor di Bandung

Kini, Majalaya masih menjadi salah satu sentra tekstil terbesar di Indonesia, tapi dengan wajah yang berbeda. Suara mesin-mesin besar telah menggantikan denting ritmis kentreung dan tustel. Dan meski julukan ā€œkota dolarā€ masih dikenang, ia tak lagi menggambarkan realitas ekonomi warga di sana.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 21 Des 2025, 17:21 WIB

Dari Cafe ke Hiking: Kini Menjelajah Alam Jadi Hobi Baru Anak Muda

Hiking kini menjadi hobi baru anak muda saat ini, terutama Tebing Keraton yang menawarkan jalur pendakian dan keindahan alam.
Kabupaten Bandung, Sabtu (25/10/2025).Pengunjung sedang berjalan menyusuri jalur utama menuju kawasan wisata Tebing Keraton di Kecamatan Cimenyan. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Muhammad Naufal)
Ayo Jelajah 21 Des 2025, 15:16 WIB

Sejarah Bandung jadi Pusat Tekstil, Serambi Kota Dolar yang Tergerus Zaman

Denting alat tenun mengubah Majalaya menjadi pusat tekstil kolonial yang hidup dari kampung ke pabrik. Sayangnya kejayaan sejarah ini kini tergerus zaman.
Textiel Inrichting Bandoeng (TIB) tahun 1925-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 21 Des 2025, 14:39 WIB

Strategi Jeda untuk Menguasai Audiens dalam Public Speaking

Gunakan teknik 'Strategic Pause' agar public speaking kamu semakin jago dan bikin kamu terlihat berwibawa.
Potret aktivitas public speaking.  (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 21 Des 2025, 13:04 WIB

Pengolahan Sampah Organik dengan Maggot Jadi Solusi di Cigending

Pemanfaatan maggot dapat menjadi solusi jangka panjang dalam menciptakan lingkungan Cigending yang lebih bersih dan sehat.
Rumah Maggot di Kelurahan Cigending. (Dokumentasi penulis)
Ayo Netizen 21 Des 2025, 12:14 WIB

Momen Improvisasi yang Menyelamatkan Teater Malam Itu

Teater Pena Jurnalistik membawakan pertunjukan berjudul Para Pencari Loker.
Sejumlah pemain Teater Pena mebawakan adegan dibawah lampu sorot, disaksikan para penonton di Bale Teras Sunda, Senin (7/12/2025). (Sumber: Dokumen Pribadi | Foto: Saskia Alifa Nadhira)
Ayo Netizen 21 Des 2025, 09:44 WIB

Kesenjangan Ruang Publik Bandung Hambat Aktivitas Mahasiswa

Artikel ini menjelaskan mengenai pandangan seorang mahasiswi asal Bandung mengenai ruang publik di Bandung.
Suasana salah satu Ruang Publik di Bandung, Taman Saparua pada pagi hari Sabtu, (29/11/2025). (Foto: Rasya Nathania)
Ayo Netizen 21 Des 2025, 08:47 WIB

Alih Fungsi Tugu Simpang Diponegoro Citarum pada Malam Hari, Menyimpang atau Membantu UMKM?

Keresahan warga terhadap penertiban area Pusdai, apakah lamgkah yang efektif atau tidak?
Suasana di tugu Jl Diponegoro dan Jl Citarum pada malam hari, Senin 1 Desember 2025 pukul 1 dini hari (Sumber: Dokumentasi penulis | Foto: Mazayya Ameera Aditya)
Ayo Netizen 21 Des 2025, 08:21 WIB

Es Krim Yogurt Tianlala Bikin Cibiru Kota Bandung Makin Kekinian

Hadirnya Tianlala di kawasan Cibiru menambah warna baru dalam tren kuliner Bandung Timur.
 (Sumber: Tianlala.id)
Ayo Netizen 21 Des 2025, 06:54 WIB

Di Ujung Tombak Pengabdian: Menata Beban RT RW demi Harmoni Warga

Dalam hal implementasi program, tidak jarang pada praktiknya RT RW mengeluarkan dana pribadi untuk menutupi kekurangan pendanaan dalam pelaksanaan program
Pelantikan Forum RT RW Periode (2025-2027) Kecamatan Panyileukan Kota Bandung (Sumber: Humas Kecamatan Panyileukan)
Ayo Biz 20 Des 2025, 22:19 WIB

Ketika Seremoni Berubah Menjadi Aksi Nyata Menyelamatkan Hutan

Menanam pohon bukan hanya simbol, melainkan investasi untuk generasi mendatang. Pohon yang tumbuh akan menjadi pelindung dari bencana, penyerap karbon, dan peneduh bagi anak cucu kita.
Menanam pohon bukan hanya simbol, melainkan investasi untuk generasi mendatang. Pohon yang tumbuh akan menjadi pelindung dari bencana, penyerap karbon, dan peneduh bagi anak cucu kita. (Sumber: Ist)
Beranda 20 Des 2025, 13:46 WIB

Mobilitas Kota Bandung Belum Aman bagi Kaum Rentan, Infrastruktur Jadi Sorotan

Dalam temuan B2W, di kawasan Balai Kota, Jalan Aceh, dan Jalan Karapitan, meskipun telah tersedia jalur sepeda, hak pesepeda kerap ditiadakan.
Diskusi Publik ā€œRefleksi Mobilitas Bandung 2025ā€ di Perpustakaan Bunga di Tembok (19/12/2025) (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 21:14 WIB

Sate Murah di Tikungan Jalan Manisi, Favorit Mahasiswa Cibiru

Sate dengan harga yang murah meriah dan rasa yang enak serta memiliki tempat yang strategis di sekitar wilayah Cibiru.
Dengan harga Rp20.000, pembeli sudah mendapatkan satu porsi berisi 10 tusuk sate lengkap dengan nasi. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 20:24 WIB

Hidup Selaras dengan Alam, Solusi Mencegah Terjadinya Banjir di Musim Penghujan

Banjir menjadi salah satu masalah ketika musim hujan telah tiba, termasuk di Kota Bandung.
Salah satu dampak dari penurunan permukaan tanah adalah banjir seperti banjir cileuncang di Jalan Citarip Barat, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung, Rabu 28 Februari 2024. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al- Faritsi)
Ayo Jelajah 19 Des 2025, 19:15 WIB

Sejarah Jatinangor, Perkebunan Kolonial yang jadi Pabrik Sarjana di Timur Bandung

Jatinangor pernah hidup dari teh dan karet sebelum menjelma kawasan pendidikan terbesar di timur Bandung.
Jatinangor. (Sumber: sumedangkab.go.id)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 18:09 WIB

Abah, Buku Bekas, dan Denyut Intelektual

Mahasiswa lintas angkatan mengenalnya cukup dengan satu panggilan Abah. Bukan dosen, staf, bukan pula pustakawan kampus.
Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 16:01 WIB

Maribaya Natural Hotspring Resort: Wisata Alam, Relaksasi, dan Petualangan di Lembang

Maribaya Natural Hotspring Resort menawarkan pengalaman wisata alam dan relaksasi di tengah kesejukan Lembang.
Maribaya Lembang. (Sumber: Dokumen Pribadi)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 15:13 WIB

Bukit Pasir sebagai Benteng Alami dari Hempasan TsunamiĀ 

Sand dune yang terbentuk oleh proses angin dan gelombang dapat mengurangi efek tsunami.
Teluk dengan pantai di selatan Jawa Barat yang landai, berpotensi terdampak hempasan maut tsunami. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: T. Bachtiar)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 14:22 WIB

Jualan setelah Maghrib Pulang Dinihari, Mi Goreng ā€˜Mas Sam’ Cari Orang Lapar di Malam Hari

Mengapa mesti nasi goreng ā€œMas Iputā€? Orangnya ramah.
SAM adalah nama sebenarnya, tapi para pelanggannya telanjur menyebutnya ā€œMas Iputā€. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 14:12 WIB

5 Hidden Gem Makanan Manis di Pasar Cihapit, Wajib Dicoba Saat Main ke Bandung!

Semuanya bisa ditemukan dalam satu area sambil menikmati suasana Pasar Cihapit.
Salah satu tempat dessert di Pasar Cihapit, yang menjadi tujuan berburu makanan manis bagi pengunjung. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 12:57 WIB

Twig CafƩ Maribaya: Tempat Singgah Tenang dengan Pemandangan Air Terjun yang Menyegarkan Mata

Suasana Cafe yang sangat memanjakan mata dan pikiran lewat pemandangan nyata air terjun yang langsung hadir di depan mata.
Air terjun yang langsung terlihat dari kafe. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)