Saya selalu kagum dengan setiap kuliner yang hadir di Indonesia. Selain rasanya kaya bumbu dan rempah, kuliner yang hadir bukan sekedar makanan tapi selalu memiliki cerita menarik yang bisa dieksplorasi.
Salah satunya Nasi goreng, masakan yang mengingatkan saya pada kenangan di masa kecil bersama ibu ketika ikut memasak di dapur. Dulu di keluarga saya nasi goreng adalah menu langka yang hadir dalam keluarga.
Maka dari itu saya selalu berharap nasi yang dimasak ibu untuk menu makan sehari-hari selalu tersisa. Bahkan saya seringkali menunda salah satu jam makan agar nasi tidak habis di hari tersebut.
Ketika akhirnya ada nasi yang tersisa bahagianya sungguh tak terkira. Zaman itu Ibu saya memasak nasi bukan menggunakan rice cooker, tapi langsung menggunakan panci.
Saya sering melihat ibu memasak nasi. Mulai dari mencuci beras menggunakan tempat yang terbuat dari anyaman bambu, membuat beras tidak terbuang percuma karena air akan langsung keluar dari sela-sela anyaman bambu tersebut.
Setelah itu ibu memasukan nasi ke panci dan menambahkan air sampai satu ruas jari telunjuk berada di atas permukaan beras. Selanjutnya nasi di masak dalam api sedang sambil sesekali diaduk.
Selanjutnya nasi setengah tanak dimasukan ke dalam panci kukus yang memiliki saringan. air dibawahnya. Nasi setengah tanak dimasukan kedalam puring dan diletakan dibagian atas saringan air. Biasanya waktu yang dibutuhkan adalah sekitar 15-30 menit tergantung dari api dan jenis beras.
Nasi yang dimasak dengan cara tradisional memang memiliki ketahanan yang lebih lama dibandingkan dengan rice cooker. Saat ada nasi tersisa, biasanya anggota keluarga yang lain enggan memakannya karena teksturnya sudah sedikit lebih kering.
Namun saya justru menyambutnya dengan penuh suka cita. Dalam membuat nasi goreng ibu punya cara yang berbeda untuk memasaknya.
Ibu membuat dua bumbu yaitu halus dan kasar. Bumbu halus terdiri dari bawang putih, cabai dan kencur. Sementara bumbu kasar terdiri dari irisan bawang merah, daun bawang dan potongan cabai rawit. Bersama telur urak-arik, nasi berubah menjadi rasa yang sangat unik. Menu yang bisa saya lahap berkali-kali sampai tak tersisa.
Siapa sangka di balik kelezatannya, nasi goreng menyimpan sejarah dan cerita menarik yang patut untuk dipelajari. Terdapat beberapa konteks sosial, budaya dan ekonomi yang menjadi latar belakangnya. Nasi goreng yang berasal dari adaptasi budaya Tionghoa menyebar dan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.
Nasi Goreng sebagai Konteks Sosial
Simbol Kesederhanaan, nasi goreng adalah menu sederhana yang tidak sulit untuk diformulasikan. Nasi goreng juga bisa dibuat dari bahan-bahan sederhana yang tersedia di dapur. Mengajari kita bagaimana cara menghargai dari hal-hal kecil yang berada di lingkungan sekitar. Kata sederhana pun tidak selamanya memiliki konotasi yang buruk, karena kadang dari kesederhanaan bisa menghasilkan cita rasa yang menggugah selera.
Simbol Kebersamaan, nasi goreng seringkali menjadi andalan bagi seseorang ketika memilih makan di luar rumah. Nasi goreng juga seringkali di santap di rumah bersama keluarga baik ketika sarapan atau makan malam. Nasi goreng menjadi perekat komunikasi keluarga dalam meja makan serta menciptakan suasana yang hangat dan akrab.
Simbol pemerataan status sosial, nasi goreng merupakan kuliner yang bisa ditemukan dari penjual kaki lima hingga restoran bintang lima. Siapa saja bisa merasakan rasanya tanpa memandang status sosial.
Identitas Budaya, meski nasi goreng merupakan kuliner yang di adaptasi dari kebudayaan Tionghoa tapi bangsa Indonesia bisa memodifikasi versi negaranya sendiri sebagai bagian dari ciri khas. Nasi goreng menjadi bagian dari identitas budaya Indonesia karena berhasil menyatukan berbagai bahan dan bumbu khas Indonesia.
Nasi Goreng sebagai Konteks Budaya
Simbol adaptasi kuliner, Indonesia yang kaya akan rempah dan bahan-bahan masakan tentu bisa dengan mudah mengadaptasi dan mengkreasikan berbagai sajian kuliner dari beberapa budaya.
Simbol dari makanan tradisional, nasi goreng menjadi makanan yang secara turun-temurun diwariskan kepada setiap generasi. Meski masakan tradisional tapi masih banyak diminati bahkan eksistensinya tidak pernah hilang ditelan perubahan zaman.
Simbol Nostalgia, ini menjadi hal yang sangat dekat bagi saya karena memang nyata adanya nasi goreng menjadi bentuk nostalgia saya kembali ke masa anak-anak. Mengingatkan momen hangat bersama keluarga dan orang tersayang.
Nasi Goreng sebagai Konteks Ekonomi
Peluang Usaha, sudah menjadi hal lumrah kalau disepanjang jalan pasti selalu tersaji nasi goreng yang berasal dari tangan para pedagang kaki lima. Tidak hanya itu nasi goreng juga bisa lahir dari restoran bintang lima menjadi bukti bahwa nasi goreng bisa menjadi ide sederhana yang melahirkan peluang usaha.
Makanan dengan harga terjangkau, nasi goreng merupakan makanan yang bisa dinikmati hampir oleh seluruh kalangan masyarakat karena harganya yang merakyat.
Pendorong Industri, siapa sangka makanan sederhana ini bisa ikut berkontribusi dalam mendorong pertumbuhan industri terkait, seperti produsen bumbu dan rempah, bahan makanan dan peralatan masak.
Jadi siapa sangka, kan, di balik kelezatan nasi goreng ada sejarah dan cerita menarik yang patut dipelajari oleh kita. (*)