Alkisah, Sayidina Jafar As-Shodiq (guru dari Imam Madzhab Maliki dan Hanafi) pernah berkata kepada murid-muridnya, "Maukah kalian aku tunjukkan sedekah yang dicintai Allah dan Rasul-Nya?"
Mereka menjawab, "Iya.."Jafar pun berkata, "Mendamaikan sesama jika mereka berselisih dan mendekatkan mereka jika saling menjauh."
Sejarah pun menceritakan bahwa beliau sering menitipkan sejumlah uang kepada murid-muridnya. Mereka bertanya, "Untuk apa ini ya imam?" Beliau menjawabnya, "Untuk persiapan jika ada yang berselisih, damaikan dengan uang ini."
Walhasil pada puncaknya, Rasulullah saw bertanya kepada para sahabatnya, "Maukah kalian aku kabarkan tentang derajat yang lebih mulia dari puasa, solat dan sedekah?" Mereka menjawab, "Ya, wahai Rasulullah." Baginda Rasul bersabda,"Yaitu mendamaikan antar sesama (yang berselisih)."
Nabi melanjutkan sabdanya dengan menegaskan, barangsiapa yang merusak hubungan antar sesama maka perbuatan itu akan memutus segala kebaikan dan akan mengantarkannya kepada kesengsaraan. (www.khazanahalquran.com).

Budaya Kekerasan
Dalam konteks hari perdamaian dunia yang selalu diperingati setiap tanggal 21 September, khususnya di Indonesia dengan adanya Gong Perdamaian Nusantara di Kupang NTT sebagai simbol perdamaian di Tanah Air yang memiliki predikat negara toleran ini harus menjadi momentum yang tepat untuk terus belajar mendahulukan akhlak (baik, menghormati orang), menebarkan kedamaian, bukan malah menyebarluaskan perbedaan dan dengan sengaja memprovokasi perselisihan untuk menjadi konflik (horizontal, vertikal) kian bermunculan.
Dengan tingginya perilaku, intoleransi, kekerasan atas nama agama di bumi Nusantara ini menjadi bukti atas memudarkan sebutan Indonesia sebagai negara yang aman, rukun dan damai.
Dalam Siaran Pers SETARA Institute, Jakarta (25 Mei 2025) melaporkan sepanjang tahun 2024, mencatat adanya 260 peristiwa dan 402 tindakan pelanggaran KBB. Jumlah ini menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 217 peristiwa dengan 329 tindakan pada 2023. 159 tindakan di antaranya dilakukan oleh aktor negara, sedangkan 243 tindakan dilakukan oleh aktor non negara.
Secara umum, terdapat tiga highlight kondisi KBB 2024: Pertama, tingginya tindakan intoleransi (73) oleh masyarakat, dan tindakan diskriminatif (50) oleh negara. Angka ini mengalami lonjakan cukup signifikan jika dibandingkan tahun 2023 dengan tindakan intoleransi (26) dan diskriminatif (23).
Kedua, maraknya penggunaan pasal penodaan agama dari 15 kasus 1 pada 2023, angka ini melonjak hampir dua kali lipat menjadi 42 kasus di tahun 2024. Di antaranya, kasus pendakwaan (7) dan penetapan tersangka penodaan agama (7) dilakukan oleh aparat negara, Kemudian 29 kasus pelaporan penodaan agama oleh masyarakat.
Ketiga, gangguan terhadap pendirian dan operasionalisasi tempat ibadah. Meskipun jumlah gangguan menurun dari 65 kasus pada 2023 menjadi 42 kasus pada 2024, angka ini masih menunjukkan permasalahan pendirian tempat ibadah belum terselesaikan secara sistemik.
Dalam konteks wilayah, jika di tahun 2023 Jawa Barat menjadi provinsi paling banyak membukukan pelanggaran, di tahun 2024 Tanah Pasundan kembali membukukan pelanggaran tertinggi dengan 38 peristiwa. Sementara Jawa Timur 234 peristiwa, DKI Jakarta 31 peristiwa, Sumatera Utara 29 peristiwa, Sulawesi Selatan dengan 18 peristiwa, dan Banten dengan 17 peristiwa. (www.setara-institute.org)

Ingat, persoalan terbesar dalam dunia pendidikan saat ini adalah budaya kekerasan yang hadir dan mempengaruhi perkembangan karakter seseorang, baik yang langsung ditunjukkan oleh sekelompok orang yang memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Cara dan simbol kekerasan juga secara masif dikampanyekan lewat berbagai media, seperti televisi atau permainan elektronik.
Pengalaman konflik (maraknya budaya kekerasan) ini menuntut peran penting guru dalam mengembangkan budaya perdamaian melalui pendidikan perdamaian.
Dokumen UNESCO menyebutkan bahwa pendidikan perdamaian adalah upaya untuk menciptakan budaya damai, yaitu proses menumbuhkembangkan nilai, sikap, perilaku, dan pandangan hidup yang berdasar pada pandangan antikekerasan, menghormati hak asasi dan kebebasan, toleransi dan solidaritas, saling berbagi dan komunikasi.
Esensi dari perdamaian adalah antikekerasan dalam menyelesaikan masalah dan selalu mengedepankan dialog dan menghargai orang lain, maka dalam suasana kegiatan belajar di kelas atau di luar kelas seorang pendidik juga menghindari cara kekerasan dalam menghadapi dinamika anak didiknya.
Salah satu kunci untuk mencapai hidup harmonis dan rukun antarsesama adalah dengan menghargai perbedaan serta menghormati sesama yang berlatarbelakang berbeda. Sebab, dalam ajaran agama, manusia diciptakan Tuhan memang berbeda. Namun perbedaan bukanlah sebuah alasan menciptakan permusuhan, apalagi dengan peperangan, baik atas nama suku atau agama.
Oleh sebab itu, salah satu prinsip yang mesti terus dipegang untuk menciptakan perdamaian adalah mencintai perdamaian itu sendiri.
Dalam ajaran agama Islam, ada hal yang sangat menarik untuk kita cermati dalam penamaan agama Islam dan pengikutnya sebagai muslim. Kata Islam berasal dari kata salam yang secara harfiah berarti selamat, damai dan sejahtera. Misi universal Islam adalah membawa rahmat bagi sekalian alam (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Rahmat yang dijanjikan Islam ini bermakna adanya kedamaian. Kehidupan damai menurut Islam terbuka kepada semua individu, komunitas, ras, pemeluk agama, dan bangsa yang mendambakannya.
Betapa tingginya muatan ajaran sosial dalam Islam, dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda: “Berilah salam kepada orang yang kaukenal atau yang tidak kaukenal.” Artinya, dalam berbuat baik kepada orang lain, kita harus menunjukkan rasa kemanusiaan yang setinggi-tingginya.
Allah adalah Damai, salam (QS al-Hasyr [59]: 23), sumber kedamaian dan sasaran aktivitas damai (HR Muslim, Turmudzi dan Nasa’i).
Salam merupakan lambang kemanusiaan, lambang perdamaian. Dengan mengucapkan “assalam-u ‘alaykum wa rahmat-u ‘llah” (semoga keselamatan dan rahmat Allah dilimpahkan kepada kalian semua), kita ingin semuanya mendapatkan limpahan keselamatan, tidak menyisakan ego mencari selamat sendiri. (Budhy Munawar-Rachman [Penyunting] Jilid I1, 2015:17-19)

Kemuliaan Akhlak
Rasul adalah teladanmu. Teladan di segala bidang, termasuk teladan dalam kemuliaan akhlak. Satu hal yang tidak disukai Rasulullah adalah bermusuhan dengan siapa pun. Nabi Muhammad saw memilih berdamai ketika ada orang kafir yang ingin berdamai. Pasalnya, Rasul itu penebar cinta damai.
Kalau pun harus berperang dengan musuh, ini adalah jalan terakhir untuk mempertahankan kebenaran. Pada saat Muhammad dicaci maki seorang pengemis buta yang membenci Islam dan dirinya, dengan sabar Rasul menyuapinya.
Coba saja kejadian ini menimpamu, saya jamin ketika dicaci maki oleh seseorang, kamu akan mencaci maki, kamu aka menabuh genderang perang dengannya, bahkan ada yang bermusuhan seumur hidup.
Ketika kamu bertengkar dengan seseorang, misalnya hal ini kerap menciptakan permusuhan sengit. Kamu tidak pernah menyapanya selalu mengabaikannya dan apa pun yang dilakukannya buruk di matamu.
Akan tetapi, Baginda Rasul mah orangnya nggak begitu. Ketika dicaci maki dan dijelek-jelekin namanya, beliau tidak serta merta menjauhi orang tersebut. Malahan dengan penuh kasih sayang, Nabi mendekatinya dan memberikan pelayanan memuaskan sehingga orang tersebut sadar. Muhammad menyuapi orang buta yang membencinya dengan segenap keikhlasan.
Subhanallah, mulia banget akhlak dan kepribadian kekasih kita Muhammad saw, sehingga lakunya membuat orang lain terpukau, tutur katanya menentramkan jiwa dan dari bibirnya selalu terucap kebaikan.
Nabi Muhammad saw tidak pernah membalas kekerasan dengan kekerasan, kebencian dengan kebencian dan caci maki dengan caci maki kembali. Beliau selalu membalas kekerasan dengan kelembutan, kebencian dengan kecintaan dan caci maki dengan perhatian.
Subhanallah, sungguh mulia junjunan kita, nabi Muhammad yang dihormati kawan, dihargai sahabat dan dimuliakan umatnya sepanjang zaman. (@Nashihatku,2016:39-42).
Dengan demikian, mendahulukan akhlak baik dalam setiap menyelesaikan perselisihan, pertikaian, konflik, kekerasan dengan cara menghormati atas segala perbedaan agama, kepercayaan, suku, berprasangka baik dan berlomba-lomba dalam kebajikan ini harus menjadi cita-cita bersama untuk mewujudkan kehidupan yang rukun, damai, adil dan sejahtera. (*)