AYOBANDUNG.ID - Jakarta pagi itu, 17 Agustus 1945, baru saja bergemuruh. Soekarno-Hatta membaca Proklamasi di Pegangsaan Timur 56. Tapi di Bandung, orang-orang masih sibuk dengan urusan masing-masing. Belum ada yang tahu bahwa negeri ini sudah mengumumkan dirinya merdeka.
Kabar itu menempuh perjalanan bukan lewat merpati pos, tapi kabel-kabel telegraf. Kantor Berita Domei di Jakarta—yang nantinya dikenal sebagai Kantor Berita Antara—mengirim telegram berisi teks proklamasi. Tujuannya jelas: kantor Domei cabang Jawa Barat (sebelumya De Driekleur) di Jalan Dago, Bandung. Sekitar pukul 12 siang, kabel itu bergetar membawa kata-kata yang kelak dihafal anak sekolah dari Sabang sampai Merauke.
Seperti dikisahan dalam buku Atlas Sejarah Indonesia: Berita Proklamasi Kemerdekaan (2018), empat orang pertama yang menerima telegram itu: A.Z. Palindih, Muhamad Adam, Lalu Danila, dan Matullessy. Mereka bukan tipe yang suka menyimpannya rapat-rapat. Teks itu langsung ditulis ulang di papan tulis, huruf besar-besar, dipajang di depan kantor. Jalan Dago tiba-tiba ramai. Orang datang, membaca, berbisik, lalu kabar itu mulai mengalir ke sudut-sudut kota.
Baca Juga: Yang Dilakukan Soekarno Sebelum dan Sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Bupati Bandung, Suriasaputra, ikut kebagian berita. Ia memerintahkan pegawainya menyebarkan kabar kemerdekaan. Tapi Jepang masih ada di mana-mana. Satu jam kemudian, seperti orang yang tak rela mantan pacarnya bahagia, Jepang mengumumkan bantahan.
Di meja redaksi Harian Tjahaja, wartawan mudanya gerah. Bari Lukman, tanpa menunggu komando, menulis teks proklamasi di papan tulis depan kantor. Orang berkerumun. Jepang datang. Coretan itu dihapus.
Bari tak menyerah. Ia mencetak teks proklamasi jadi pamflet. Jam satu siang, ia bahkan mencoba mengibarkan merah putih di atas Gedung Denis—bank simpanan Belanda—dengan bendera yang ia dapat dari Isa Ansyari. Semua itu di tengah situasi Bandung yang masih penuh tentara Dai Nippon.
Tapi pimpinan redaksinya belum seberani wartawannya. Edisi sore 17 Agustus hanya memuat tulisan yang muter-muter, menyebut kemerdekaan seolah hadiah dari Jepang. Tidak ada nama Soekarno, tidak ada kalimat pembacaan proklamasi. Barulah di edisi 18 Agustus muncul berita singkat dari Jakarta, lalu dua hari kemudian Tjahaja menurunkan konfirmasi lengkap dengan pembukaan UUD 1945. Hurufnya besar sekali—sebesar nyali yang baru tumbuh.
Percetakan Siliwangi, di bawah Ili Sasmita, bergerak lebih frontal. Mereka mencetak selebaran naskah proklamasi dengan tinta merah. Diselipkan, dibagikan, dilemparkan. Tinta merah itu lebih dari sekadar warna—ia jadi tanda bahwa kemerdekaan sudah resmi, tak peduli apa kata tentara Jepang.

Ketika Radio Jadi Senjata
Kalau telegram adalah peluru jarak dekat, radio adalah meriam yang bisa meledakkan kabar ke mana-mana. Bandung membuktikan, pemudanya lebih cekatan dari Jakarta soal ini.
Pagi 18 Agustus, tiga pemuda—Sakti Alamsyah, R.A. Darya, dan Sam Kawengke—masuk ke Radio Hosokyoku di Tegallega. Di dalam, ada pimpinan radio Jepang. Negosiasi dilakukan, tapi tentara Jepang yang mengawal mencoba menghalangi.
Tiba-tiba, dor! Letusan senjata. Pemuda radio menembak tentara Jepang. Jepang menyerah. Kunci dan peralatan siaran berpindah tangan.
Pukul 17.00, teks proklamasi sampai ke meja R.A. Darya, pimpinan siaran Radio Bandung. Malam itu, pemancar di Palsari yang punya daya 10–20 kilowatt mulai bekerja. Studio Hosokyoku dijaga ketat oleh nama-nama yang kelak jadi catatan sejarah: Sofyan Djunaid, Sakti Alamsyah, R.A. Darya, Sjam Amir, Odas Sumadilaga, Herman Gandasasmita, T.M. Moh. Saman, Aiyat, Memed Sudiono, Brotokusumo, Sukseksi, dan Abdul Razak Rasjid.
Pukul 19.00, udara Bandung mendengar Indonesia Raya. Satu jam kemudian, dari pukul 20.00 sampai 21.00, teks proklamasi dibacakan dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Orang-orang yang mendengarnya, entah di rumah atau warung kopi, tahu: negeri ini sudah berdiri sendiri.
Baca Juga: Sejarah Pertempuran Gedung Sate, 4 Jam Jahanam di Jantung Bandung
Dua mobil pick-up berkeliling kota, menyiarkan berita lewat pengeras suara. Syafrudin Prawiranegara dan Hasbullah Siregar berangkat ke Jakarta untuk membawa kabar dan instruksi bagi A.H. Nasution, Wakil Komandan Barisan Pelopor.
Sejarawan John R.W. Smail mencatat: “Berita proklamasi sudah diketahui sebagian masyarakat Bandung pada sore hari 17 Agustus… dalam satu hingga dua hari, kabar itu telah menjangkau seluruh kawasan kecuali desa-desa paling terpencil.”
Dari Bandung, kabar ini merembes ke Bogor, Cirebon, Garut, dan Sukabumi. Di Bogor, radio yang biasa dipakai untuk senam taiso memutar kabar kemerdekaan. Di Garut, Ajengan Yusuf Tajiri sudah membisikkan rencana kemerdekaan sehari sebelumnya. Di Cirebon, pemuda Muklas mengumpulkan kawan-kawannya di alun-alun malam itu juga. Di Sukabumi, para tokoh langsung mengirim orang ke Jakarta untuk minta petunjuk.
Kemerdekaan itu ternyata bukan teriakan tunggal yang serempak di seluruh negeri. Ia adalah arus yang mengalir—melewati kabel telegram, papan tulis, pamflet tinta merah, hingga gelombang radio. Ia harus direbut dari tangan Jepang, dibawa keliling kota, lalu dimasukkan ke telinga rakyat. Dan begitu sampai, ia tak lagi bisa dibungkam.