AYOBANDUNG.ID - Suasana Bandung di akhir 1945 sudah seperti kota yang duduk di tepi kawah. Bau mesiu, asap pembakaran, dan ketegangan menghantui tiap sudut. Di jalan-jalan, anak-anak muda berseragam seadanyaâseringkali hanya kemeja lusuh dan celana panjangâmenenteng senjata rampasan dari Jepang. Di antara deretan bangunan kolonial yang megah, berdiri Gedung Sate, ikon arsitektur Hindia Belanda yang pada masa itu menjadi Kantor Departemen Pekerjaan Umum (Verkeer en Waterstaat).
Bagi Republik yang baru berdiri, gedung ini bukan sekadar kantor. Ia simbol bahwa pemerintahan Indonesia hadir di Bandung. Bagi Belanda yang datang membonceng pasukan Sekutu, Gedung Sate adalah target strategis. Letaknya di Bandung Utaraâwilayah yang secara militer sudah mulai mereka kuasaiâmembuatnya seperti bendera merah yang berkibar di mata banteng.
Ledakan aktivitas revolusioner mulai terasa sejak 25 September 1945. Seperti dicatat dalam Peristiwa Perebutan Gedung Sate di Bandung Tahun 1945, para pemuda baik yang terorganisir maupun tidak, mulai berusaha untuk mengambil kendali dari Jepang. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, kekosongan kekuasaan membuka ruang bagi republik muda untuk merebut pos-pos penting.
Tapi, perayaan itu tak berlangsung lama. Pada 4 Oktober 1945, tentara Inggris, serdadu Belanda, dan NICA masuk ke Bandung. Resminya, Inggris datang untuk melucuti Jepang dan membebaskan tawanan perang. Kenyataannya, mereka mengawal kembalinya administrasi kolonial Belanda.
Sejak saat itu, Bandung berubah menjadi kota terbelah. Utara dikuasai Sekutu dan Belanda, lengkap dengan markas, gudang logistik, dan pos pemeriksaan. Selatan tetap di tangan pejuang Indonesia, termasuk Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan laskar-laskar pemuda. Garis pemisahnya tidak selalu jelas, tapi semua orang tahu wilayah siapa yang aman untuk dilintasi.
Lokasi markas besar Sekutu berdiri tak jauh dari Gedung Sate. Gangguan terhadap Kantor Departemen PU mulai sering terjadi. âTentara Sekutu hampir setiap hari mengacaukan Kantor Departemen,â tulis risalah yang diterbitkan akademisi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung tersebut. Akhirnya, sejak awal November, hanya pegawai muda yang diizinkan masuk gedung. Mereka diberi perintah khusus: pertahankan kantor dan barang-barang negara di dalamnya, bahkan jika itu berarti mempertaruhkan nyawa.
Baca Juga: Sejarah Pertempuran Rawayan 1946, Gugurnya 43 Pemuda saat Bandung Terbelah Dua
Tanda-Tanda Badai
Saat memasuki pertengahan November, kota seperti memanas dari dalam. Baku tembak sporadis mulai terdengar hampir tiap malam. Jalan Braga, alun-alun, dan rel kereta jadi titik-titik ketegangan. Zona netral hampir tidak ada. Di malam hari, pemuda bersenjata sering berkumpul untuk menembaki pasukan Gurkha yang ditempatkan di Hotel Savoy Homann.
Puncaknya, pada akhir November, dua batalion Gurkhaâsekitar 2.000 prajurit dari Nepal yang jadi pasukan tempur Inggris dan Belandaâberkonsentrasi di Bandung Utara. Gurkha bukan prajurit sembarangan. Mereka terkenal berani, kejam di medan perang, dan dilengkapi senjata modern.
Bagi para pentolan Angkatan Muda Pekerjaan Umum, situasinya jelas: pengepungan sudah di depan mata. Pada 29 November 1945, Didi Hardianto Kamarga, Ketua Angkatan Muda Verkeer en Waterstaat, datang ke markas Majelis Persatuan Priangan (MP3) bersama dua rekannya. Di hadapan Ketua Biro Pertahanan MP3, Soetoko, ia mengungkap kesediaannya menjadi martir untuk mempertahankan Gedung Sate.
âSaya dan kawan-kawan sanggup untuk mempertahankan kantor kami. Kami datang hendak meminta izin dan minta senjata,â kata Didi dipetik dari Gedung Sate Bandung (2009) karya Sudarsono Katam.
Soetoko menghargai semangat itu, tapi menyarankan mereka mengurungkan niat. Ia tahu lawan yang akan mereka hadapi. Namun tekad Didi dan kawan-kawan tak goyah. Akhirnya, Soetoko memberikan revolver pribadinyaâsenjata tunggal dari markas pertahanan untuk misi itu.

Baca Juga: Pemberontakan APRA Westerling di Bandung, Kudeta yang Percepat Keruntuhan RIS
3 Desember, Serbuan Badai Peluru Jahanam di Gedung Sate
Pagi 3 Desember 1945, suasana Bandung sudah panas sejak subuh. Sekitar pukul 11 siang, derap langkah berat mulai terdengar di sekitar Gedung Sate. Pasukan Gurkha datang dari berbagai arah. Di dalam, hanya ada 21 pemuda pegawai, sebagian masih belasan tahun.
Serangan dimulai dengan tembakan beruntun. Peluru menghantam dinding, kaca pecah, dan udara dipenuhi debu. Para pemuda membalas tembakan dengan senjata seadanya. Pertempuran itu berlangsung sengit. Mereka dikepung dan diserang dari segala penjuru. Jumlah pasukan Gurkha yang menyerbu para pemuda jauh lebih banyak.
Selama empat jam, Gedung Sate berubah menjadi benteng terakhir. Para pemuda memanfaatkan setiap sudut ruangan, jendela, dan pintu untuk menahan serbuan. Namun ketidakseimbangan jumlah dan persenjataan akhirnya mematahkan pertahanan. Pada pukul 14.00, sisa tembakan terhenti. Gedung Sate jatuh ke tangan Sekutu.
Tujuh pemuda dinyatakan hilang: Didi Hardianto Kamarga, Muchtaruddin, Soehodo, Rio Soesilo, Soebenget, Ranu, dan Soeharjono. Sisanya luka berat atau ringan. Bagi mereka yang selamat, pertempuran itu meninggalkan kenangan yang membekas seumur hidup.
Bagi Inggris, ini kemenangan taktis. Bagi Republik, ini kehilangan yang berat. John R.W. Smail dalam Bandung in the Early Revolution, 1945-1946 menulis bahwa Inggris memanfaatkan kekuatan yang superior untuk memaksa mundur lawan. Perebutan Gedung Sate hanyalah satu dari rangkaian operasi yang membuat banyak bangunan penting di Bandung Utara jatuh.
Keberadaan misterius tujuh pemuda itu baru terpecahkan sebagian pada Agustus 1952. Dari pencarian di sekitar lokasi pertempuran, hanya empat kerangka yang ditemukan. Mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra. Tiga lainnya tak pernah ditemukan. Dua tanda peringatan dibuat di dalam Gedung Sate untuk mengenang mereka.
Pada 3 Desember 1951, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga, Ir. Ukar Brata Kusumah, menyatakan mereka sebagai âPemuda yang berjasaâ. Tugu Prasasti Sapta Taruna didirikan di halaman belakang Gedung Sate, memuat nama tujuh pejuang itu. Sejak itu, setiap 3 Desember diperingati sebagai Hari Kebaktian Pekerjaan Umum.
Baca Juga: Riwayat Gedung Sate dan Jejak Para Insinyur Kolonial
Tak lama kemudian, sebuah batu besar di bekas lokasi pertempuran diresmikan menjadi Monumen Gedung Sate, penanda abadi bahwa di titik itu, sekelompok pemuda pernah berdiri melawan badai peluru demi republik yang baru lahir.