AYOBANDUNG.ID - Bandung pada tahun 1946 adalah kota yang baru saja terbakar amarah. Peristiwa Bandung Lautan Apiā24-25 Maret 1946āmembuat pasukan Republik mundur sejauh 11 km dari pusat kota. Mereka meninggalkan Bandung dalam kobaran api, bukan karena putus asa, melainkan karena tekad: lebih baik membakar kota daripada menyerahkannya utuh kepada Belanda.
Pasukan pejuang kemudian menyebar ke luar kota. Di selatan Bandung, kekuatan ini terhimpun di bawah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MPPP). Markas MPPP berada di Baleendah-Ciparay, menjadi pusat koordinasi antara TNI dan berbagai laskar rakyat. Di sinilah strategi perang gerilya disusun, sambil mengawasi garis demarkasi yang memisahkan wilayah Republik dengan Belanda.
Buku Monumen Perjuangan di Jawa Barat mencatat Jembatan Rawayan adalah salah satu titik rawan di wilayah tersebut. Bukan kebetulan jika jembatan ini menjadi rawan. Letaknya persis di garis demarkasi yang sudah disepakati Sekutu yang membonceng Belanda dan Republik kala itu. Kesepakatan yang membagi wilayah itu memang sudah dibuat: sebelah utara Sungai Cisangkuy dan Citarum dikuasai Belanda, sebelah selatan dipegang Republik.
Kesepakatan pembagian Bandung menjadi dua wilayah ini muncul stelah tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum yang memerintahkan warga Bandung untuk meninggalkan kota dan menyerahkan senjata yang telah dirampas dari Jepang. Ultimatum pertama menyebutkan bahwa penduduk harus mengosongkan Bandung Utara dan pindah ke selatan, dengan batas waktu dua hari yaitu pada 29 November 1945. Bagi penduduk yang tidak segera pergi, mereka akan ditangkap.
Sebagai konsekuensi, Bandung resmi terbagi dua. Bagian utara dianggap daerah Sekutu, sedangkan bagian selatan menjadi wilayah Republik Indonesia. Garis pemisahnya adalah rel kereta api yang membujur dari barat ke timur, termasuk Jembatan Rawayan yang menjadi garis pembelah di Sungai Cisangkuy. Pembagian ini dimaksudkan untuk menghindarkan bentrokan senjata antara pasukan pejuang dengan pasukan Sekutu, yang saat itu sudah sangat panas akibat ketegangan dan konflik yang menguat seiring kedatangan NICA.
Jembatan Rawayan sendiri menghubungkan Desa Kiangroke dengan Desa Cangkuang, Kecamatan Banjaran.
Baca Juga: Pemberontakan APRA Westerling di Bandung, Kudeta yang Percepat Keruntuhan RIS
Bagi para pejuang, batas ini hanyalah ilusi. Pasukan TNI dan laskar rakyat kerap melakukan serangan mendadak. Salah satu yang terkenal adalah aksi Moh. Toha yang meledakkan gudang amunisi di Dayeuhkolot pada 11 Juli 1946. Balasannya pun keras. Pada 31 Juli 1946, pasukan Belanda menerobos Citarum dan menduduki Banjaran selama delapan jam.
Wilayah Banjaran dan Dayeuhkolot menjadi ajang saling serang. Pagi ini Republik yang menyerang, sore nanti giliran Belanda. Pasukan di daerah ini selalu harus siap tempur. Peran mata-mata sangat vital. Informasi tentang pergerakan lawan bisa berarti hidup atau mati.
Di tengah situasi seperti itu, datanglah Senin pagi, 28 Ramadhan 1365 H atau 26 Agustus 1946. Pasukan Republik bergerak menuju sekitar Jembatan Rawayan. Gabungan kekuatan itu terdiri dari kesatuan TRIKA pimpinan Kapten Kadarusno dan Polisi Tentara di bawah Kapten Gandawijaya. Mereka bergerak mengikuti pematang sawah, mungkin sambil mengandalkan pengetahuan medan.
Tapi, tanpa mereka sadari, Belanda telah lebih dulu tahu rute mereka. Pasukan musuh, lengkap dengan persenjataan, sudah menunggu. Sekitar pukul 08.00 pagi, suasana yang mungkin tenang hanya sesaat sebelumnya pecah oleh ārentetan bunyi tembakanā. Tembakan itu dibalas, dan pertempuran pun pecah.
Belanda sudah mengepung rapat. Pasukan Republik melawan sekuat tenaga, tetapi tak bisa menembus lingkaran. Persenjataan musuh jauh lebih unggul. āBanyak di antara mereka gugur di medan tempur, sebagian lagi berhasil meloloskan diri,ā demikian catatan peristiwa itu.
Penduduk sekitar panik. Laki-laki bersembunyi, meninggalkan rumah. Justru para ibu yang pertama mendekat ke lokasi usai suara tembakan mereda. Dari Kampung Pataruman, Sukesih, Eras, dan Darsih datang, mengangkat satu per satu jenazah pejuang dari tengah sawah. Alat yang mereka gunakan bukan tandu resmi, melainkan tangga bambu dan badodonāalat tangkap ikan dari bambu.
Jumlah korban mencapai 43 pejuang gugur. Mayoritas berusia sekitar 20 tahunāusia yang biasanya masih sibuk memikirkan masa depan, tapi mereka memilih mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan. Sebagian besar dari pasukan TRIKA, satu dari Polisi Tentara, dan seorang warga sipil bernama H. Sarbini. Banyak yang dipercaya berasal dari Tasikmalaya.
Jenazah mereka dibawa ke Balai Desa Kiangroke dan markas TRI di Kampung Tarigu sebelum keesokan harinya diangkut dengan truk ke Pangalengan. Mereka dimakamkan di Ciwidara dan Cinereātanah dingin pegunungan yang kini menjadi tempat abadi anak-anak muda itu.

Tugu Peringatan Perjuangan Rawayan Dua Kali Dibangun
Dua puluh lima tahun setelah pertempuran, Kiangroke belum melupakan peristiwa itu. Pada 21 April 1971, diadakan musyawarah antara kepala desa, para tokoh veteran, dan Camat Banjaran. Kepala Desa saat itu menyetujui ide membangun monumen. Alasannya sederhana: di banyak tempat lain sudah ada tugu peringatan pertempuran 1945, sementara di Kiangrokeāyang punya kisah heroik sendiriābelum ada.
Bangunan monumen pertama dibuat pada 21 November 1979 di dekat Jembatan Rawayan. Namun, lokasinya terlalu sempit untuk upacara, sehingga pada 1981 diputuskan membangun monumen baru di lokasi yang lebih representatif: depan lapangan sepak bola Desa Margahurip (pecahan dari Kiangroke).
Pembangunan monumen kedua dimulai pada 28 Oktober 1981, bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda. Biayanya dari hasil kas desa dan swadaya masyarakat. Lima tiang besar meruncing melambangkan bambu runcing, senjata rakyat yang sederhana tapi mematikan. Lima tiang lebih kecil dihiasi bekas peluru mortirālambang kekuatan militer Belanda. Kombinasi ini seakan menggambarkan ketimpangan kekuatan pada 26 Agustus 1946, tapi juga keteguhan hati melawan.
Baca Juga: Sejarah Vila Isola Bandung, Istana Kolonial Basis Pasukan Sekutu hingga jadi Gedung Rektorat UPI
"Telah gugur 43 kesatria Pahlawan Bangsa ketika mempertahankan kemerdekaan melawan tentara Belanda di sekitar Sasak Rawayan pada hari Senin tanggal 26-8-1946. 28 Ramadhan 1365," demikian tertulis dalam prasasti tugu peringatan.
Kini, Monumen Perjuangan Rawayan berdiri di pinggir jalan, mudah dijangkau siapa saja yang ingin mengenang. Lokasinya strategis untuk peringatan hari-hari besar, seperti 17 Agustus atau Sumpah Pemuda. Lebih dari sekadar tumpukan batu dan besi, ia adalah penanda bahwa di tanah ini, 43 anak muda pernah memilih mati berdiri daripada hidup berlutut.
Bagi warga Kiangroke, monumen itu adalah warisan. Bagi sejarawan, ia adalah sumber cerita tentang bagaimana perang kemerdekaan bukan hanya terjadi di kota besar, tapi juga di pematang sawah desa yang mungkin tak terkenal di peta.