AYOBANDUNG.ID - Bandung, 23 Januari 1950. Senin pagi itu, Kota Bandung tidak tenang. Di Jalan Oude Hospitaalweg—kini Jalan Lembong—pasukan Divisi Siliwangi ditembaki habis-habisan. Penyerangnya: kelompok bersenjata bernama Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), dipimpin Raymond Westerling, eks komandan pasukan khusus KNIL, Depot Speciale Troepen (DST).
Dini hari, pasukan APRA yang dipimpin Westerling bergerak dari pinggiran kota. Menurut catatan Kementerian Pertahanan Indonesia yang dikutip dalam buku Nationalism and Revolution in Indonesia karya George McTurnan Kahin, mereka memasuki Bandung malam 22 Januari, dan mulai menyerang pada pagi harinya.
Jumlah mereka tidak bisa dibilang kecil. Sekitar 800 orang bersenjata lengkap, sebagian besar adalah eks tentara KNIL. Bahkan menurut Kahin, sekitar 300 orang di antaranya adalah pasukan Koninklijk Leger (KL)—tentara kerajaan Belanda—yang masih aktif dan ditempatkan di Bandung. Mereka bukan pasukan bayangan.
Target serangan mereka jelas: pusat-pusat strategis Republik, khususnya markas besar Divisi Siliwangi, kantor Gubernur Jawa Barat, dan stasiun-stasiun penting. Di Jalan Oude Hospitaalweg—yang kini dikenal sebagai Jalan Lembong—markas besar Divisi Siliwangi diserbu. Tembakan meletus sejak pagi, membangunkan warga yang tak tahu apa-apa.
Letkol Adolf Lembong, salah satu perwira Divisi Siliwangi, tewas dalam baku tembak itu. Ia bukan orang sembarangan—pernah bertugas di Kalimantan, dan dikenal sebagai perwira tangguh. Di dalam Museum Mandala Wangsit Siliwangi, yang kini berdiri di bekas markas itu, peristiwa tewasnya Lembong masih dikenang. Nama jalannya pun diabadikan dari namanya.
Baca Juga: Sejarah Bioskop Rio Cimahi, Tempat Hiburan Serdadu KNIL yang Jadi Sarang Film Panas
Catatan Museum Perumusan Naskah Proklamasi, APRA menyerang secara brutal, tanpa membedakan militer dan sipil. Sejumlah pasukan TNI gugur. Di kalangan warga, kepanikan merebak. Orang-orang takut peristiwa ini akan meluas jadi perang saudara. Total 94 anggota TNI dilaporkan jadi korban serangan gerombolan rusuh Westerling ini.

Tapi Bandung tidak tunduk. Pasukan TNI dari satuan lain dan kepolisian langsung merespons. Baku tembak terjadi di berbagai titik, tapi situasi berhasil dikendalikan. Sejumlah anggota APRA ditangkap hidup-hidup, sebagian melarikan diri ke luar kota.
Yang menarik, dalam hitungan jam, APRA ditarik keluar dari Bandung. Ini bukan karena mereka dikalahkan secara militer, tapi karena ada perintah dari atasan mereka di militer Belanda sendiri. Mayor Jenderal Engels, komandan garnisun KL di Bandung, membujuk mereka agar meninggalkan kota. Ia tahu, keterlibatan pasukan Belanda dalam kudeta ini akan membuka skandal besar.
Fakta bahwa APRA bisa begitu percaya diri menyerbu Bandung—tanpa takut terhadap aparat Belanda—menjadi sinyal kuat bahwa mereka mendapat semacam perlindungan. Dugaan itu tak salah. Belakangan terbukti bahwa Westerling tak bergerak sendirian. Sultan Hamid II dari Kalimantan Barat, seorang pejabat tinggi RIS dan tokoh federalis, terlibat merancang seluruh operasi.
Pemberontakan di Bandung adalah awal dari rencana yang lebih besar: menggulingkan pemerintah RIS, membunuh menteri-menteri penting, dan mendirikan pemerintahan boneka yang pro-Belanda.
Westerling Ditangkap Polisi Belanda
Usai Bandung, sasaran berikutnya adalah Jakarta. Westerling sudah berada di ibu kota sejak sebelum penyerbuan ke Bandung dilakukan. Ia menyusun skenario penggulingan kabinet RIS, dengan target utama: Sultan Hamengku Buwono IX (Menteri Pertahanan), Kolonel Simatupang, dan Ah Budiardjo (Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan).
Baca Juga: Wiranatakusumah V, Bangsawan Sunda Penentu Bubarnya Parlemen Pasundan Boneka Belanda
Tapi rencana 26 Januari 1950 itu gagal. Belum sempat bergerak, Westerling ditangkap oleh polisi Belanda sendiri. Anehnya, ia tak diserahkan ke aparat Indonesia. Belanda justru membawanya kabur ke luar negeri, dan akhirnya menetap kembali di negerinya.
Pemerintah Indonesia menuntut agar Westerling diekstradisi, menurut Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Ia dianggap penjahat perang, bukan hanya karena pemberontakan ini, tapi juga atas pembantaian Sulawesi Selatan. Tapi Belanda menolak. Westerling hanya dijatuhi hukuman ringan: lima tahun penjara, dan itu pun tidak dijalani penuh. Setelah dua tahun, ia dibebaskan dengan dalih kesehatan.
Dugaan keterlibatan Sultan Hamid II makin menguat. Dalam buku Kahin, disebutkan bahwa Sultan Hamid mengaku telah mendalangi dua upaya kudeta: 26 Januari dan 15 Februari. Yang terakhir menyasar gedung parlemen RIS. Untungnya, batal karena pasukan pengaman sudah disiagakan.
Setelah pemberontakan APRA, posisi kaum federalis melemah drastis. Tuntutan untuk membubarkan Negara Pasundan menguat. Pada 8 Februari, pemerintah RIS mengeluarkan undang-undang darurat. Sehari setelahnya, Wiranata Koesoemah, Kepala Negara Pasundan, menyerahkan kekuasaan kepada Komisaris Negara yang ditunjuk pusat.
Tak sampai tujuh bulan sejak pengakuan kedaulatan, RIS bubar. Pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan. Ironisnya, pemberontakan APRA yang dirancang untuk mempertahankan RIS justru mempercepat kematiannya.