Cerita hantu bukan cuma seru yang menghangatkan suasana malam saat nongkrong bareng. Sepintas lalu memang seperti obrolan intim yang memacu degup jantung dan bikin sensasi panik.
Tapi kali ini kita akan menyelaminya dengan lebih jujur, tentang narasi horor yang kadang jadi arsip yang paling baik buat mengungkapkan alam pikir rakyat.
Kode-kode lokal buat berbagai trauma, ketakutan, dan harapan soal hidup yang lebih baik.
1. Hantu Zaman Perang
Goa Jepang di Taman Hutan Raya Bandung megeradarkan kisah hantu Ayame, perempuan pribumi korban pelecehan seksual para tentara Jepang pada masa penjajahan.
Cerita ini diiringi pantangan mengucapkan kata lada di Goa Belanda yang letaknya enggak jauh dari lokasi itu. Menyebutnya sama dengan memprovokasi penunggu setempat yang dulu dikenal sebagai Ki Lada Wisesa. Sekilas, tampak seperti takhayul. Namun goa-goa tersebut adalah situs peninggalan perang.
Hantu menjadi medium untuk mengingat betapa mengerikannya kolonialisme beroperasi. Ia merendahkan martabat manusia, memeras, dan membunuhnya.
Kita begitu familiar dengan pengakuan banyak orang yang melihat prajurit berkepala buntung atau penampakan noni Belanda.
Tapi mengertikah kita soal tragisnya penjarahan itu? Dalam perang, menang jadi arang kalah jadi abu. Betapa banyak korban luka tembak dengan simbah darah yang tak terbilang? Betapa banyak nyai dan perempuan pribumi yang bukan hanya menjadi tawanan, juga dijadikan objek seksual? Hantu adalah penuntut keadilan.
2. Tumbal Pabrik
Kisah lain muncul di pabrik-pabrik tua, seperti cerita tumbal dalam film Pabrik Gula (2025) garapan Awi Suryadi. Film yang diadaptasi dari kisah viral di utas X (Twitter) karya SimpleMan ini menceritakan sekelompok orang muda yang bekerja musiman di sebuah pabrik gula bersama warga desa.
Awalnya pekerjaan berjalan lancar, namun setelah seseorang mengikuti sosok misterius di malam hari, teror mulai datang kepada para pekerja.
Film yang hadir dalam dua versi yakni jam kuning (17+, tersensor) dan jam merah (21+, uncut), menayangkan serangkaian kecelakaan kerja dan kematian tragis yang mengungkap rahasia kelam tentang kerajaan gaib yang menuntut nyawa sebagai balasan.
Tanpa kerajaan gaib pun, buruh menghadapi hari-hari yang melelahkan. Film dan cerita seperti ini sejatinya memotret situasi yang beneran mengerikan di balik cara kerja industri. Para pekerja berhadapan dengan upah minim sebagai imbalan buat nyawa yang dianggap murah.
Keselamatan kerja bukan jadi prioritas, termasuk tunjangan dan sistem kontrak yang sepihak. Hantu semacam potret dari kehidupan buruh yang secara berulang ditumbalkan untuk keuntungan pemilik modal semata.
3. KM 97 Tol Cipularang

Tol Cipularang dengan panjang 54 kilometer menghubungkan Cikampek, Purwakarta, dan Padalarang, menjadi jalur strategis Bandung-Jakarta.
Di jalur yang selesai dibangun pada 2005 ini berhamburan kesaksian pengalaman janggal seperti munculnya penumpang gaib berwajah hancur di kursi belakang, gangguan rasa kantuk mendadak yang bikin oleng kendaraan, sampai penampakan mobil misterius yang sekejap menghilang.
KM 97 dikenal paling berbahaya. Keyakinan setempat bilang ada makhluk gaib yang bernama Kamilin sebagai ular besar penunggu Gunung Hejo di dekat tol.
Sepanjang KM 90 sampai KM 100, memang menjadi area rawan kecelakaan. Dengan topografi turunan dan jalur berliku di kawasan pegunungan, sejumlah kecelakaan terjadi mulai dari insiden beruntun hingga tragedi rem blong.
Ketimbang menyangkali tuturan pengalaman warga soal jalan tol ini, narasi horor yang menempatkan penyebab di luar kendali manusia nyatanya menutupi tanggung jawab negara dan pengelola tol untuk memastikan keselamatan publik.
Hal ini adalah cerminan soal kebutuhan rakyat pada pembangunan yang berkeadilan di berbagai sektor. Tentang tanggung jawab pada ruang hidup yang digusur, hak pekerja, juga konservasi ekologis.
4. Nyi Roro Kidul dan Kuntilanak
Nyi Roro Kidul, ratu mistis Laut Selatan. Dalam legenda kerap dipandang sebagai putri yang disingkirkan karena intrik politik. Mitos paling terkenal tentangnya berhubungan dengan larangan mengenakan pakaian hijau di pesisir Laut Selatan.
Sebab diyakini akan membuat orang celaka. Melebihi pantangan lokal, laut sudah kadung tercemar, di isi konflik nelayan, dan proyek pelabuhan yang merugikan masyarakat pesisir. Lihatlah Pelabuhan Ratu dan Pangandaran.
Selain ia, banyak hantu perempuan yang terkenal di Indonesia seperti kuntilanak, sundel bolong, wewe gombel, hingga suster ngesot. Mereka lahir dari kisah perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan.
Ada juga kisah infertilitas, pemerkosaan, dan pembunuhan tragis yang mencerminkan stigma, kekerasan seksual, dan kuasa patriarki atas tubuh perempuan.
Dalam semua kisah ini, korban malah digambarkan sebagai sosok yang menakutkan. Padahal mereka sedang mengejar pelaku, menuntut keadilan. Gambaran dari kejadian nyata di kehidupan kita.
5. Penglaris dan Kekayaan
Sementara itu, tuyul atau praktik penglaris menjadi kisah yang enggak pernah kelewat kalau bicara soal orang-orang kaya dan restoran yang terkenal. Sering ada cerita tentang orang yang memuja ke gunung untuk mencari keberuntungan, lalu “menyerahkan” saudaranya kepada iblis.
Begitu juga cerita-cerita tentang jualan makanan yang enggak enak kalau dibungkus. Ada juga tuturan yang mengaku melihat genderowo menjilat piring, liur siluman sebagai penyedap, sampai pakaian dalam yang masuk kuah panci.
Dunia perdagangan yang sarat trik licik, ketimpangan, dan sifat eksploitatif kerap menjadi sasaran kritik sosial. Figur juragan-jurangan lokal sering diasosiasikan dengan monopoli keuntungan lewat praktik tidak transparan.
Mulai dari permainan harga sampai penguasaan pasokan. Mereka kerap dilekatkan pada citra keserakahan. Cerita-cerita horor model ini mencerminkan kecurigaan sekaligus kritik rakyat terhadap sistem ekonomi yang tidak adil.
Dari semua ini kita belajar bahwa hantu-hantu adalah suara keresahan warga pada keadilan yang tak kunjung tiba. Kisah hantu di rumah sakit, misalnya, merekam fasilitas kesehatan yang tidak aman dan perlakuan tidak manusiawi kepada pasien maupun tenaga medis.
Pocong, anak yang tenggelam, dan perantau muda yang masuk dalam mimpi menggambarkan nasib pekerja migran yang meninggal jauh dari kampung halaman. Penampakan arwah korban pembantaian 1965 turut menjadi ingatan liar atas tragedi politik yang dibungkam negara.
Hantu-hantu tidak lekang oleh zaman. Mereka menjadi penyambung ingatan bahwa luka sosial belumlah sembuh.
Kita juga jadi sadar ternyata ada yang lebih horor ketimbang penampakan sosok bayangan yang sepintas, ialah tampaknya ketimpangan sosial yang bukan lagi menghantui tapi menerkam kita semua. (*)