Di tengah riuh protes yang merebak di media sosial dan jalanan, simbol bajak laut muncul di poster, mural, bahkan kaos para demonstran.
Simbol yang dahulu identik dengan perompakan kini menjelma menjadi ikon perlawanan generasi muda terhadap apa yang mereka anggap sebagai âperampasan masa depanâ oleh elite.
Fenomena ini bukan sekadar tren visual, tetapi cermin dari krisis kepercayaan publik terhadap institusi.
Bajak Laut Sebagai Bahasa Politik Baru
Dalam sejarah, bendera Jolly Roger dengan tengkorak dan tulang menyilang melambangkan ancaman dan pembangkangan terhadap otoritas maritim. Kini, simbol itu hadir Kembali bukan di lautan, melainkan di linimasa media sosial dan ruang-ruang protes di kota-kota besar di Indonesia.
Menurut pengamat komunikasi politik Effendi Gazali, simbol adalah âbahasa yang melampaui kata-kata, karena ia mengundang tafsir dan rasaâ. Dalam konteks protes generasi muda, bajak laut menjadi metafora bagi elite yang âmerampasâ sumber daya, hak politik, atau bahkan kesempatan hidup yang layak.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya 39 persen, dan terhadap partai politik hanya 36 persen. Angka ini mengindikasikan jurang yang dalam antara penguasa dan rakyat.
Ketika ruang dialog formal dirasa buntu, simbol visual seperti bajak laut menjadi sarana artikulasi kemarahan yang lebih efektif.
Krisis Kepercayaan yang Makin Terstruktur

Krisis kepercayaan di Indonesia tidak muncul tiba-tiba. Ia dibentuk oleh rangkaian kasus korupsi besar, kebijakan publik yang dianggap memihak kelompok tertentu, dan minimnya transparansi dalam pengambilan keputusan.
Kasus mega corruption seperti dugaan korupsi Pertamina Rp968 triliun atau manipulasi tata kelola energi menjadi pemicu utama. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan sepanjang 2023, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 44,8 triliun.
Psikolog sosial Hamdi Muluk dari Universitas Indonesia menjelaskan, âKrisis kepercayaan terjadi ketika publik merasa norma dan etika yang diharapkan dari pemimpin dilanggar secara berulang. Simbol-simbol protes kemudian menjadi bentuk coping mechanism kolektif.â
Generasi Z dan Politik Simbolik
Generasi Z yang lahir antara 1997â2012 menjadi aktor utama di balik gelombang simbol bajak laut. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2024, generasi ini mencakup sekitar 27,94 persen populasi Indonesia.
Mereka adalah pengguna aktif media sosial, peka terhadap isu ketidakadilan, dan terbiasa mengekspresikan pendapat lewat meme, poster digital, hingga street art.
Peneliti media dari Universitas Gadjah Mada, Wisnu Prasetya Utomo, mencatat bahwa gerakan ini memanfaatkan visual storytelling untuk memperluas pesan.
âSimbol bajak laut memudahkan publik yang awam politik untuk langsung mengerti pesan inti bahwa ada pihak yang dianggap merampas,â ujarnya.
Fenomena ini juga menunjukkan pergeseran dari protes berbasis orasi menjadi protes berbasis viral content. Dalam beberapa kasus, satu gambar dengan simbol bajak laut dapat menyebar lebih cepat dibandingkan berita di media arus utama.
Dampak terhadap Politik Formal
Pertanyaannya, apakah simbol ini hanya akan menjadi tren atau mampu mendorong perubahan nyata?
Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa politik simbolik dapat menjadi pintu masuk bagi gerakan politik yang lebih terorganisasi.
Namun, risikonya adalah banalitas ketika simbol lebih populer dibandingkan substansi. Seperti diingatkan sosiolog Ariel Heryanto, âSimbol yang kehilangan konteks akan menjadi komoditas pasar, bukan alat perubahan.â
Jika tidak diikuti agenda politik yang jelas, simbol bajak laut berpotensi hanya menjadi merchandise tanpa kekuatan transformasi.

Tantangan terbesar bagi gerakan ini adalah konsistensi narasi dan integritas aktornya. Krisis kepercayaan publik tidak akan teratasi hanya dengan mengangkat simbol, melainkan dengan membangun kanal partisipasi yang efektif baik melalui kebijakan publik maupun mekanisme pengawasan masyarakat.
Di sisi lain, fenomena ini adalah tanda vitalitas demokrasi Indonesia. Ia menunjukkan bahwa generasi muda tidak apatis, melainkan mencari cara baru untuk menyampaikan pesan. Munculnya simbol bajak laut justru dapat menjadi âalarmâ bagi penguasa bahwa bahasa politik lama tidak lagi efektif.
Sejarah telah menunjukkan bahwa simbol dapat menggerakkan massa, dari bendera merah putih di era kemerdekaan hingga pita hitam saat reformasi. Kini, bajak laut menjadi bab terbaru dalam politik visual Indonesia. Tantangannya adalah memastikan bahwa simbol ini membawa perubahan nyata, bukan sekadar tren yang menguap di linimasa.
Ketika simbol bajak laut berkibar di jalan-jalan kota, ia mengingatkan kita pada satu hal: di balik tawa sinis dan meme lucu, ada kemarahan yang sah terhadap ketidakadilan. Pertarungan bukan lagi di lautan, melainkan di ruang publik baik fisik maupun digital.
Generasi muda telah memilih bahasanya sendiri. Kini, bola ada di tangan para pemimpin, apakah mereka akan mendengar, atau menunggu sampai bendera bajak laut itu menjadi pertanda badai yang tak lagi bisa dibendung? (*)