AYOBANDUNG.ID -- Di tengah arus deras fesyen modern yang kian menggoda generasi muda, satu nama muncul dengan tekad kuat untuk menjaga warisan, yaitu Nines Widosari. Lewat butik yang menyandang namanya, ia mengangkat kembali batik sebagai identitas yang tak lekang oleh waktu,dibalut dalam desain busana muslim yang anggun dan syari.
Perempuan asal Bandung ini adalah sosok di balik Nines Widosari Butique, sebuah usaha yang tak sekadar menjual busana muslim, melainkan juga menghadirkan semangat membumikan batik dalam kehidupan sehari-hari.
"Kenapa saya konsen fesyen syari dengan mendirikan Nines Widosari Butique, sebab pemerintah sudah paham UMKM dalam fesyen muslim ini amat besar. Para pelaku UMKM itu pun memang semakin menggeliat dan mereka juga tahu bahwa potensi batik ini luar biasa," kata Nines.
Kegelisahan Nines bermula dari pandangan publik khususnya generasi muda yang menganggap batik sebagai busana kuno, terlalu formal, bahkan ‘seragam wajib’ acara resmi. Namun bagi Nines, pandangan itu justru menjadi panggilan. Ia pun mulai bertanya bagaimana caranya membuat batik lebih relevan, terutama dalam konteks busana muslim yang modis dan praktis?
"Memang sih kalau ngomongin batik seakan-akan tua, lawas, atau khas orang tua. Padahal terus terang banyak juga model batik kekinian yang sebetulnya cocok dengan gaya anak muda," ungkapnya.
Melihat peluang besar di balik tantangan tersebut, ia kemudian menghadirkan sebuah butik fesyen syari yang fokus pada batik handmade terutama batik tulis dan batik cap berkualitas yang dikemas lewat pendekatan desain kreatif dan kekinian.

Didirikan di Kota Bandung, Nines Widosari Butique menjelma sebagai rumah kreatif bagi fesyen batik muslim yang anggun dan bermakna. Butik ini menyuguhkan ragam koleksi seperti gaun dan tunik syari dari batik tulis, outerwear elegan berbahan batik cap, hingga padu-padan kasual dari batik printing yang menyasar generasi muda muslimah usia 25 hingga 50 tahun.
Selain menjual busana, setiap produknya dibubuhi cerita tentang motif, filosofi, dan tangan-tangan pengrajin yang merangkainya. Dengan sistem pre-order untuk edisi terbatas, distribusi butik ini dilakukan secara daring melalui media sosial dan marketplace, lengkap dengan sentuhan personal seperti kartu ucapan tulisan tangan dan kemasan ramah lingkungan.
Tak hanya menghadirkan estetika yang khas, Nines Widosari Butique juga menjadi ruang bagi kolaborasi dengan komunitas pengajian, wedding organizer syari, hingga pelaku UMKM, membangun ekosistem yang memberdayakan dan mencintai batik sebagai bagian dari identitas spiritual dan budaya.
Pada tahun-tahun awal berdirinya bisnis ini, Nines membangun relasi langsung dengan para pembatik di daerah seperti Yogyakarta, Solo, Cirebon, dan Pekalongan, membeli langsung dari pengrajin, bukan pabrikan.
"Batik sebenarnya luar biasa, apalagi batik tulis, dikerjakan pembatik kampung dengan teliti. Nilainya bukan cuma dari motif, tapi dari proses dan makna di baliknya," ungkapnya.
Lewat rancangannya pula, ia mengusung semangat baru melalui batik bisa syari, bisa modern, dan bisa dikenakan dalam keseharian tanpa kehilangan pesan budaya yang dikandungnya.

Nines menyadari pentingnya membangun pemahaman, bukan sekadar menjual produk. Ia kerap mengadakan diskusi daring soal filosofi batik, sejarah warna dan motif, hingga kampanye “Batik Bukan Cuma Seragam.” Tak jarang, ia juga menjadi pembicara dalam workshop UMKM untuk memberi semangat pada pegiat fesyen muslim lokal.
"Kalau ngomongin batik, orang suka merasa itu mahal. Padahal, kalau kita lihat dari prosesnya, itu adalah karya seni," ucap Nines.
Sejak UNESCO mengakui batik sebagai warisan budaya dunia pada 2 Oktober 2009, yang kini dirayakan sebagai Hari Batik Nasional, kesadaran terhadap pentingnya melestarikan batik terus digaungkan. Tapi bagi Nines, pelestarian tidak cukup hanya dalam seremoni.
"Pembudayaan menggunakan batik pun bisa dilakukan dalam kegiatan sehari-hari. Bukan hanya program pemerintah, tapi siapa pun bisa menggaungkan nama batik," ujarnya.
Ia percaya batik dapat menjadi poros ekonomi nasional jika dikelola dengan pendekatan kreatif. Nilai estetikanya yang tinggi, serta proses pembuatannya yang melibatkan tangan-tangan pengrajin, menjadikannya warisan yang bernyawa.
"Apalagi dari segi estetis, batik itu artistik dan buatan handmade langsung. Kalau itu dilakukan oleh semua pihak, bukan tidak mungkin kekuatan ekonomi bisa bangkit dan tidak perlu lagi impor-impor bahan," sambungnya.
Dalam menyikapi masih rendahnya minat anak muda terhadap batik, Nines tak lantas menghakimi. Ia memilih menjembatani. Salah satu langkahnya adalah membuka pintu terhadap batik printing sebagai media edukasi awal.
"Meskipun bagi orang yang membatik, batik printing itu bukan batik. Tapi kalau buat saya, sosialisasi menggunakan batik ke masyarakat dengan batik printing gak ada masalah. Sah saja," jelasnya.
Bagi Nines, batik printing adalah gerbang awal. Jika anak muda sudah akrab, mereka akan lebih mudah menghargai batik tulis dengan segala kemewahan proses dan nilai luhur di dalamnya.
"Insyaallah batik tulis gak akan terpengaruh sama maraknya batik printing karena segmen konsumennya sudah tahu kualitas. Yang sudah paham, mereka keukeuh ingin batik tulis walau harganya tinggi," ujarnya.
Melalui Nines Widosari Butique, Nines membangun lebih dari sekadar bisnis. Ia membangun gerakan budaya yang mengakar. Di tangan Nines, batik tak hanya dikenakan sebagai simbol, tapi juga disampaikan sebagai narasi.
Fesyen syari yang ia hadirkan pula bukan hanya menutup aurat, tapi membuka mata bahwa batik bisa melebur dalam harmoni antara modernitas dan warisan. Ia ingin setiap pelanggan merasa mengenakan warisan bukan sebagai beban masa lalu, tapi sebagai bagian dari masa depan yang layak dirayakan.
Informasi Nines Widosari Butique
Instagram: https://www.instagram.com/nw.boutiques
Shopee Nines Widosari Official: https://s.shopee.co.id/qYH4Ns7QO