AYOBANDUNG.ID - Di sebuah rumah sederhana di Bandung, Desti duduk di dapur kecilnya, mengaduk kuah mi pedas yang ia jual untuk menghidupi anak-anaknya. Aroma cabai menyeruak, bercampur dengan cerita tentang hidup yang berliku. Sejak suaminya meninggal karena AIDS, Desti harus menjadi tulang punggung keluarga. "Saya menolak mati begitu saka," kata Desti. Ia ingat betul kata-kata anaknya, “Kalau ibu pergi, kami enggak punya siapa-siapa lagi. Ayah kan sudah enggak ada." Kalimat itulah yang membuatnya bangkit, mencari cara untuk bertahan, meski tubuhnya sendiri hidup berdampingan dengan HIV.
Kisah Desti adalah satu dari tujuh cerita nyata perempuan penyintas HIV di Bandung yang diteliti dalam riset The Everyday Life of Women Living with HIV in Bandung City yang dilakukan oleh Maulina Thahara Putri, Erna Herawati, dan Junardi Harahap dari Universitas Padjadjaran. Risalah yang terbit 2024 lalu itu menelusuri kehidupan Rara, Siska, Sinta, Anita, Rita, Liza, dan Desti—semuanya perempuan penyintas HIV yang menjalani terapi antiretroviral (ARV) dan membesarkan anak-anak mereka, sebagian besar sebagai orang tua tunggal. Cerita mereka menggambarkan HIV bukan hanya soal penyakit, melainkan juga tentang pergulatan psikologis, sosial, budaya, hingga ekonomi yang mewarnai keseharian para perempuan ini.
Tubuh yang Berubah dan Disiplin dalam Terapi
Kehidupan penyintas HIV di Bandung diwarnai perjuangan panjang untuk memahami tubuh mereka sendiri. Sebagian dari mereka sempat menunda pengobatan ARV karena merasa sehat. Rara dan Rita, misalnya, tidak merasakan gejala berarti selain batuk atau pilek ringan yang berlangsung singkat. Desti pun pernah menolak pengobatan selama beberapa bulan hingga tubuhnya mulai mengalami penurunan daya tahan dan infeksi oportunistik mulai menggerogoti kesehatannya. Pada akhirnya, semua perempuan ini memutuskan menjalani terapi ARV untuk menjaga harapan hidup.
Baca Juga: Kisah Siti Fatimah: Intel Cilik yang Menjadi Saksi Agresi Militer Belanda
Terapi ARV membawa banyak tantangan. Efek samping obat menjadi masalah besar bagi beberapa di antaranya. Desti pernah mengalami gangguan bicara akibat regimen obat tertentu sebelum akhirnya beralih ke kombinasi baru yang lebih ringan. Siska dan Anita mengalami pembengkakan akibat toksoplasmosis yang memerlukan perawatan intensif. Siska bahkan harus menjalani dua kali operasi, sementara Liza menghadapi asma dan infeksi gonore yang meninggalkan bekas ruam dan luka di kulitnya.
Konsumsi ARV setiap hari adalah rutinitas yang tidak bisa diabaikan. Alarm ponsel menjadi penolong untuk mengingatkan jadwal minum obat. Namun di balik disiplin itu, ada kecemasan yang selalu membayangi. Rara dan Liza, yang masih aktif bekerja, harus berhadapan dengan rasa takut diketahui rekan-rekan mereka. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti “obat apa” yang mereka minum membuat keduanya memilih berbohong dan mengatakan itu adalah vitamin. Beban psikologis semakin berat ketika mereka merasa harus menyembunyikan penyakitnya di lingkungan kerja demi menghindari stigma.
Walau pemerintah menyediakan obat secara gratis melalui BPJS dan klinik-klinik seperti Klinik Mawar yang dijalankan oleh lembaga swadaya masyarakat, hambatan dalam pelayanan kesehatan masih sering terjadi. Liza pernah mengalami diskriminasi di rumah sakit ketika ia tidak mendapatkan perawatan selama dua hari dengan alasan kamar penuh, meski saat itu ia tengah mengalami serangan asma akibat infeksi oportunistik. Peristiwa semacam ini menunjukkan bahwa akses kesehatan yang seharusnya menjadi hak semua warga belum sepenuhnya dapat dirasakan secara merata oleh penyintas HIV.
Luka Psikologis dan Pergulatan Emosional
Diagnosis HIV membawa dampak psikologis yang mendalam. Anita kehilangan suami dan dua anaknya dalam waktu hanya 53 hari. Kesedihan yang begitu besar memicu stroke dan pembengkakan kelenjar akibat toksoplasmosis. Ia menyesal tidak mengetahui status HIV lebih awal karena merasa ada langkah pencegahan yang bisa dilakukan untuk melindungi anak-anaknya.
Baca Juga: Sampai ke Bandung, Sejarah Virus Hanta Bermula dari Perang Dunia 1
Sinta juga menjalani masa-masa penuh tekanan saat mengetahui dirinya positif HIV setelah suaminya meninggal. Selama enam tahun pernikahannya, ia tidak pernah mengetahui bahwa suaminya adalah pengguna narkoba suntik. Rasa terkejut bercampur hancur membuatnya merasa tertipu dan dikhianati. Beban semakin berat ketika ia harus memastikan kesehatan anaknya, yang untungnya tidak tertular HIV.
Siska, seorang mantan pengguna narkoba suntik, menjalani pernikahan yang penuh kekerasan verbal dan fisik. Pengalaman hidupnya mencerminkan betapa stigma dan diskriminasi sering datang dari lingkaran terdekat. Ia diperlakukan dengan kasar oleh mantan suaminya meskipun ia sudah berusaha meninggalkan masa lalunya.
Dalam penelitian ini, para peneliti mencatat bahwa sebagian perempuan mengalami trauma mendalam hingga memilih mengisolasi diri. Desti bahkan sempat menutup diri dari dunia luar selama satu tahun setelah suaminya meninggal, menolak pengobatan, dan membiarkan tubuhnya melemah karena infeksi. Namun, titik balik datang ketika mereka mulai terhubung dengan komunitas penyintas HIV. Sinta, misalnya, menemukan semangat baru setelah bergabung dengan Rumah Cemara dan KPA Kota Bandung. Keterlibatannya di komunitas memberi arti baru dalam hidupnya dan membantunya menemukan rasa percaya diri untuk membantu orang lain yang mengalami situasi serupa.
Stigma, Diskriminasi, dan Tekanan Sosial Budaya
Stigma masih menjadi tembok besar yang harus mereka hadapi setiap hari. Bagi sebagian perempuan, menjaga rahasia tentang status HIV adalah strategi bertahan hidup. Namun tidak semua berhasil menghindari perlakuan diskriminatif. Liza merasakan secara langsung bagaimana status HIV membuatnya diperlakukan berbeda oleh tenaga medis. Penolakan perawatan dan ketidakpedulian petugas kesehatan mencerminkan masih kurangnya pengetahuan tentang HIV di kalangan tenaga medis.
Baca Juga: Dari Gurun Pasir ke Kamp Konsentrasi, Kisah Tragis Keluarga Berretty Pemilik Vila Isola Bandung
Siska merasakan stigma dalam bentuk lain. Ia menjadi korban pelecehan verbal dari suaminya sendiri, yang terus merendahkannya dan menyebut ia akan segera mati karena HIV. Kasus-kasus seperti ini menegaskan bahwa stigma dari pasangan intim sering kali lebih menyakitkan dibandingkan stigma dari masyarakat luas.
Di tengah budaya patriarkal Indonesia, perempuan penyintas HIV kerap tidak memiliki ruang untuk bersuara atau membela diri. Program seperti Warga Peduli AIDS (WPA) berusaha mengedukasi masyarakat, memberikan informasi, dan menciptakan ruang aman bagi perempuan untuk berbagi pengalaman. Anita adalah contoh nyata perempuan yang bangkit melawan stigma. Kini ia memimpin lingkungannya sebagai ketua RW dan menjadi suara vokal dalam edukasi HIV, menunjukkan bahwa keterbukaan dan pengetahuan dapat mengikis diskriminasi di tengah masyarakat.
Halang Rintang Kondisi Ekonomi
Problem ekonomi menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan perempuan penyintas HIV. Banyak dari mereka harus menjadi kepala keluarga setelah kehilangan suami. Desti memulai bisnis mi pedas dari nol, memanfaatkan bantuan peralatan memasak dan modal awal dari program pemberdayaan. Kini ia memiliki pekerja untuk membantu penjualan. Hidupnya menjadi bukti bahwa status HIV tidak menghalangi perempuan untuk mandiri secara ekonomi dan memberikan masa depan yang layak bagi anak-anaknya.
Rara juga pernah terpaksa menjadi pekerja seks komersial untuk menghidupi kedua anaknya. Namun, tekanan emosional dalam dunia itu membuatnya memilih keluar meski pendapatannya menurun. Ia kemudian bekerja sebagai terapis, profesi yang memberinya ketenangan dan ruang untuk fokus menjalani pengobatan.
Semua perempuan ini menjadikan anak-anak mereka sebagai sumber motivasi utama. Mereka menolak pandangan bahwa HIV identik dengan penderitaan dan berusaha menunjukkan bahwa penyintas HIV bisa hidup normal, bekerja, dan berkontribusi bagi masyarakat. Sebagian besar dari mereka kini aktif dalam kegiatan advokasi HIV, membagikan pengalaman hidup mereka di forum-forum publik, dan menjadi sumber inspirasi bagi orang lain.
Contohnya Anita, tetap percaya diri meskipun statusnya terbuka di lingkungan tempat tinggalnya. Ia tidak menghadapi diskriminasi karena edukasi HIV yang intensif di daerahnya telah mengubah cara pandang masyarakat. Ia percaya bahwa HIV hanyalah salah satu penyakit yang bisa mematikan, tetapi tidak harus membuat seseorang merasa tidak berharga.
Cerita-cerita ini menunjukkan bahwa komunitas dan jaringan dukungan memiliki peran penting dalam proses pemulihan psikologis para perempuan penyintas HIV. Mereka menemukan kembali harga diri, membangun solidaritas, dan memperjuangkan hak mereka untuk hidup sehat dan bermartabat.
Kisah tujuh perempuan penyintas HIV di Bandung yang diungkap penelitian ini memperlihatkan kompleksitas hidup dengan HIV. Perjuangan mereka bukan hanya melawan virus, tetapi juga stigma sosial, tekanan budaya, diskriminasi tenaga medis, serta kesulitan ekonomi. Namun dari keterpurukan, mereka menemukan kekuatan untuk bangkit.
Baca Juga: 18 Tahun Tanpa Akta Nikah: Kisah Ogi dan Pentingnya Perlindungan Hak Sipil Warga Adat Cireundeu