AYOBANDUNG.ID - Garut punya banyak identitas. Ada dodol yang lengket di gigi, ada domba garut yang adu jotos di lapangan, ada juga kota intan yang disematkan Bung Karno. Tapi dari sekian banyak identitas itu, ada satu julukan yang terus menempel sampai sekarang: Swiss van Java. Hampir semua orang Garut tahu istilah itu, dari kakek-nenek sampai anak sekolah dasar. Di warung kopi, di brosur pariwisata, bahkan di pidato pejabat bupati, istilah itu akan selalu muncul.
Pertanyaannya, siapa yang pertama kali menyebut Garut sebagai Swiss van Java? Kisah yang paling sering beredar adalah: Charlie Chaplin, si komedian legendaris Hollywood, yang menjulukinya begitu setelah melihat keindahan panorama Garut. Benarkah begitu? Atau jangan-jangan hanya mitos yang terlalu sering diulang, sampai akhirnya dipercaya sebagai kebenaran?
Cerita yang paling populer beredar begini. Charlie Chaplin datang ke Hindia Belanda sekitar awal 1930-an. Ia konon singgah di Garut, menginap di Hotel Ngamplang—hotel kolonial megah yang sampai sekarang masih berdiri dengan lapangan golfnya. Dari sana, ia melihat Gunung Cikuray dan Papandayan menjulang, kabut tipis turun di lembah, sawah berundak terbentang.
Baca Juga: Warga Bandung Kena Kibul Charlie Chaplin: Si Eon Hollywood dari Loteng Hotel
Kisah ini enak didengar. Bahkan lebih enak lagi bila dibayangkan Chaplin, dengan gaya kocaknya, berdiri di teras hotel sambil mengacungkan tongkat dan berkata dengan aksen khas: “Swiss van Java!” Tapi sayangnya, sampai sekarang tidak ada bukti tertulis yang mendukung cerita itu.
Pegiat Komunitas Masa Lewat Garut, Ferdy Yudha Pratama, sudah menelusuri persoalan ini bersama timnya. Mereka membaca catatan perjalanan Chaplin berjudul A Comedian Sees the World. Buku itu mencatat detail perjalanan Chaplin keliling dunia, termasuk ke Hindia Belanda. Namun, tidak ada satu pun bagian yang menyebutkan bahwa Chaplin mencetuskan istilah Swiss van Java.
Karena itu, meski Chaplin memang pernah singgah di Jawa, klaim bahwa dialah pencetus Swiss van Java masih sebatas gosip. Chaplin memang benar-benar pernah berkunjung ke Garut, juga menikmati udara sejuk dan pemandangan gunung. Tapi bahwa ia yang melahirkan istilah Swiss van Java? Tidak ada bukti.
“Katanya Chaplin datang ke Garut, kemudian tahun 1932–1936 nginep di Hotel Ngamplang, dan kemudian melihat pemandangan seindah kayaknya keren, ‘Oh mirip-mirip Swiss’,” tutur Ferdy. “Cuman datanya enggak ada gitu loh. Tidak tertulis, maksudnya datanya belum bisa ditemukan yang menyatakan bahwa Chaplin menyebutkan Garut sebagai Swiss Van Java.”
Selain Chaplin, ada pula yang menuduh Thilly Weissenborn, fotografer perempuan terkenal Hindia Belanda, sebagai pencetus istilah itu. Thilly memang gemar memotret keindahan Priangan, dan banyak karyanya menampilkan lanskap Garut yang menawan. Tapi dalam biografinya, Vastgelerd voor later, tidak ada keterangan bahwa ia menciptakan julukan Swiss van Java. Jadi, dua tersangka ini—Chaplin dan Thilly—keduanya nihil bukti.
Kalau begitu, dari mana sebenarnya istilah itu berasal?

Jualan Europa van Java ala Brosur Turisme Kolonial
Petunjuk penting datang dari buku All Around Bandung karya Gottfried Roelcke dan Garry Crabb. Dalam buku itu, keduanya mengutip sebuah panduan wisata tahun 1917, yang sudah menyebut Garut sebagai Switzerland van Java. Jadi, julukan itu sudah beredar jauh sebelum Chaplin melancong ke Jawa.
Temuan ini menjadi kunci. Jika istilah itu sudah eksis tahun 1917, berarti ia bukan ciptaan artis Hollywood, melainkan hasil promosi wisata kolonial. Dugaan ini makin kuat ketika ditopang oleh dua penelitian akademis: tesis Ahmad Sunjayadi Vereeniging Toeristen Verkeer Batavia dan risalah Iskandar P. Nugraha Dutch Politics of Seeing.
Baca Juga: Sejarah Bandung dari Paradise in Exile Sampai jadi Kota Impian Daendels
Keduanya menyebut peran organisasi bernama Vereeniging Toeristen Verkeer (VTV). Perhimpunan ini berpusat di Batavia, diisi pengusaha Eropa swasta yang mengendalikan urusan pariwisata Hindia Belanda. Mereka membuat brosur, kartu pos, bahkan buku panduan wisata. Intinya: mereka ingin mendatangkan turis sebanyak mungkin ke Hindia Belanda.
Untuk itu, mereka perlu strategi pemasaran. Orang Eropa tentu lebih mudah tergoda bila destinasi jauh di Asia ini digambarkan dengan bahasa yang familiar. Maka muncullah trik: memberi julukan kota-kota di Hindia Belanda dengan nama-nama kota wisata di Eropa.
Batavia disebut Venesia van Java. Bandung dijual sebagai Parijs van Java. Dan Garut, dengan pegunungan yang mengelilingi lembah, udara sejuk, serta villa-villa kolonial, dipoles menjadi Switzerland van Java.
“Sejauh ini kami baru menemukan itu,” kata Ferdy. “Jadi istilah itu sejak tahun 1917 pun sudah berkembang gitu, sudah marak dari mulut ke mulut, terekam gitu di masyarakat waktu itu.”
Logika ini sederhana tapi efektif. Orang Eropa yang pernah berlibur di Swiss akan membayangkan suasana serupa di Garut, hanya dengan tambahan eksotisme tropis. Jadilah Swiss van Java sebuah merek dagang turisme. Ia tercatat dalam brosur sejak 1917, terus dipromosikan, dan akhirnya diwariskan ke generasi setelahnya.
Garut pun jadi primadona. Hotel-hotel kolonial berdiri, dari Hotel Papandayan di pusat kota sampai Hotel Ngamplang di dataran tinggi. Lapangan golf dibangun untuk para tuan besar. Perkebunan teh dan kopi di sekeliling kota menambah daya tarik. Orang Belanda, Inggris, bahkan bangsawan Hindia berdatangan untuk berlibur.
Dan sejak itu, Swiss van Java bukan sekadar sebutan, tapi juga citra resmi Garut di mata dunia.
Pemandangan Garut memang mendukung. Gunung Cikuray, menjulang 2.821 meter, berdiri megah. Gunung Papandayan dengan kawahnya yang menggelegak jadi daya tarik tersendiri. Gunung Guntur, yang dijuluki “Gunung Api Purba” karena sering meletus di abad ke-19, melengkapi panorama. Lembah-lembah hijau dan sawah berundak di kaki gunung memberi kesan seperti Pegunungan Alpen versi tropis.
Baca Juga: Jejak Sejarah Dodol Garut, Warisan Kuliner Tradisional Sejak Zaman Kolonial
Tak heran bila wisatawan Belanda menyukai Garut. Mereka bisa bersepeda keliling kota, berjalan-jalan ke air terjun, atau sekadar duduk di balkon hotel sambil menyeruput teh hangat. Sementara di Swiss mereka makan fondue, di Garut mereka bisa menikmati dodol. Perpaduan Eropa dan Jawa ini rupanya sangat menggoda bagi pasar kolonial.

Julukan Swiss van Java pun menempel kuat, bahkan setelah kolonialisme bubar. Dari generasi ke generasi, istilah itu diwariskan. Anak-anak sekolah Garut tumbuh dengan cerita itu, pejabat daerah bangga menggunakannya dalam pidato, dan brosur pariwisata modern pun tetap mencetaknya besar-besar.
Baca Juga: Kapal Laut Garut jadi Korban Torpedo Jerman di Perang Dunia II
Terlebih, setelah cerita Chaplin ikut beredar, sebutan itu makin populer. Walaupun buktinya nihil, siapa yang tidak suka mendengar kisah bahwa seorang superstar dunia pernah menyebut Garut mirip Swiss?
Tapi, kalau mau jujur, pencetus aslinya nampaknya bukan Chaplin, bukan Thilly, melainkan strategi marketing pariwisata kolonial yang dirancang oleh VTV sejak 1917. Mereka yang pertama kali menempelkan label Swiss van Java pada Garut, sama seperti mereka menempelkan label Parijs van Java pada Bandung.
Tentu saja, Chaplin dan Thilly membuat cerita lebih dramatis, lebih romantis, lebih mudah dijual di era digital. Tapi bukti sejarah bicara lain. Swiss van Java lahir dari brosur turisme kolonial, kemudian diwariskan, dan kini jadi bagian tak terpisahkan dari identitas Garut.