Tentara Resimen Cakrabirawa yang melakukan penculikan Dewan Jenderal saat kup G30S dalam film Pengkhianatan G30S/PKI.

Ayo Jelajah

Pasukan Khusus Pergi ke Timur, Jawa Barat Senyap Pasca Kup Gagal G30S

Rabu 01 Okt 2025, 15:43 WIB

AYOBANDUNG.ID - Sejarah 1965 di Indonesia sering ditulis dengan angka korban yang mengerikan. Di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, ribuan hingga ratusan ribu orang tewas, sebagian besar karena dituduh anggota atau simpatisan PKI. Sungai, kanal, bahkan ladang berubah jadi kuburan massal.

Tapi, di Jawa Barat, pemandangan serupa jarang dijumpai. Tidak berarti Jawa Barat bebas PKI, tetapi ada faktor khusus yang membuat provinsi ini lebih sunyi dari pembantaian massal.

Robert Cribb dalam The Indonesian Killings of 1965-1966: Studies from Java and Bali menulis bahwa Jawa Barat relatif terhindar dari gelombang kekerasan karena sikap Divisi Siliwangi. Alasannya, menurutnya karena tentara di Jabar sudah kadung lelah menyapu pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosoewiryo.

“Jawa Barat relatif tak tersentuh oleh kekerasan massal, terutama karena Divisi Siliwangi di wilayah itu, yang selama empat belas tahun dari 1948 hingga 1962 sibuk menumpas gerakan Islam fundamentalis Darul Islam di pedesaan Jawa Barat, sangat enggan mendorong kelompok pemuda Muslim untuk turun tangan dalam urusan politik.”

Baca Juga: Sejarah Gelap KAA Bandung, Konspirasi CIA Bunuh Zhou Enlai via Bom Kashmir Princess

Sejak 1948, Jawa Barat menjadi arena pergulatan DI/TII. Gerakan ini, yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo, menuntut berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Selama hampir 14 tahun, pasukan Siliwangi harus menghadapi pemberontakan yang menyebar luas di pedesaan.

Bagi Siliwangi, pengalaman itu membekas. Mereka tahu betul bagaimana massa santri bersenjata, ketika dilepaskan tanpa kendali, bisa menimbulkan kerusuhan panjang. Karena itu, ketika terjadi G30S dan gelombang anti-PKI mulai bergulir, komandan Siliwangi memilih jalur berbeda dari rekan-rekan mereka di Jawa Tengah maupun Jawa Timur.

Di daerah lain, seperti digambarkan Cribb, kerusuhan anti komunis justru terjadi spektakuler di kota-kota besar, seperti Jakarta, Magelang, Solo, Salatiga, hingga Surabaya. Di Surabaya, kanal-kanal yang dipenuhi mayat bahkan sampai diberitakan luas oleh media Barat. Namun, pembantaian paling parah bukan terjadi di kota, melainkan di pedesaan. Para pelaku utamanya menurut Cribb adalah satuan militer pasukan khusus seperti Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD)--kini Kopassus--dan kelompok sipil berjaga, terutama pemuda Muslim Ansor dari Nahdlatul Ulama.

Instruksi Panglima Siliwangi dan Ketiadaan RPKAD

Ketenangan Jawa Barat tak bisa dilepaskan dari peran Panglima Divisi Siliwangi saat itu, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie. John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto menegaskan bahwa propaganda militer menjadi pemantik utama kebencian terhadap PKI. Tanpa provokasi itu, kata Roosa, masyarakat tak akan percaya PKI sebagai ancaman mematikan, sebab setelah G30S gagal partai itu cenderung pasif. “Tanpa provokasi yang disengaja oleh ahli-ahli propaganda militer, penduduk tidak akan percaya bahwa PKI merupakan ancaman yang mematikan,” tulis Roosa.

Baca Juga: Kapal Laut Garut jadi Korban Torpedo Jerman di Perang Dunia II

Propaganda itu disulut oleh media dan tentara: kabar palsu tentang senjata dari Tiongkok, daftar target pembunuhan, hingga kisah mengerikan tentang alat untuk mencungkil mata. Tapi semua itu tak cukup menjadikan Jawa Barat banjir darah. Ada faktor lain yang membuat perburuan komunis di tanah Pasundan tak sebrutal Jawa Tengah dan Timur: absennya RPKAD.

Sekelompok simpatisan PKI yang tertangkap di Jawa Timur. (Sumber: IPPHOS)

Ben Anderson, sejarawan yang banyak meneliti tragedi ini, menunjukkan bahwa kekerasan baru benar-benar meledak ketika RPKAD tiba di suatu wilayah. Di Jawa Tengah, pembantaian massal baru dimulai saat pasukan khusus itu masuk Semarang pada 17 Oktober 1965. Di Jawa Timur, hal serupa terjadi setelah RPKAD bergerak dari Jawa Tengah. Begitu pula di Bali, di mana pembunuhan massal baru terjadi setelah pasukan itu merapat.

Keberuntungan Jawa Barat, RPKAD justru segera bergerak ke Jawa Tengah, basis kuat PKI, tanpa berlama-lama di Bandung. “Relatif sedikit pembunuhan yang terjadi di Jawa Barat walaupun pada masa sebelumnya terjadi konflik tajam antara PKI dan organisasi anti-PKI,” tulis Roosa.

Baca Juga: Pemberontakan APRA Westerling di Bandung, Kudeta yang Percepat Keruntuhan RIS

Hal ini ditegaskan kembali oleh catatan wartawan Indonesia di pengasingan, Ayik Umar Said atau A. Umar Said. Dalam blog pribadinya, Umar Said menceritakan hasil wawancara Ben Anderson dengan Pangdam Siliwangi kala itu, Ibrahim Adjie. Menurut Anderson, ketika G30S meletus, ia segera menginstruksikan bawahannya agar jangan sampai terjadi pembantaian massal.

“Karena mereka bagaimana pun ini sebagian besar orang biasa, orang-orang kecil. Akan mengerikan kalau mereka itu dibunuh. Saya sudah kasih perintah kepada semua kesatuan di bawah saya, orang ini ditangkap, diamankan. Tapi jangan sampai ada macem-macem.”

Instruksi itu jelas dan tegas. Divisi Siliwangi, yang memiliki reputasi militer kuat sejak masa revolusi, memegang kendali penuh. Tak ada ruang bagi kelompok sipil untuk bertindak sendiri.

Perintah itu jelas: tangkap, amankan, tetapi jangan bunuh. Perintah seorang panglima terbukti ampuh. Para prajurit di bawahnya patuh. Memang ada kasus di Indramayu, tetapi itu tidak meluas.

Ben Anderson sendiri menegaskan dalam wawancara dengan Umar Said bahwa pola kekerasan di Jawa menunjukkan peran RPKAD sebagai pemicu. “Pembunuhan juga baru mulai di Jawa Timur setelah RPKAD berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Di Bali, pembunuhan massal baru mulai setelah RPKAD pindah dari Jawa Timur ke Bali.”

Bagi Anderson, kehadiran RPKAD membuat kelompok anti-PKI merasa mendapat angin. “Mereka yang mau netral dapat petunjuk dari RPKAD kalau membuktikan kamu bukan orang PKI maka kamu harus membunuh PKI. Ini khususnya ditujukan kepada pemuda-pemuda, pemuda Islam, pemuda Banteng, pemuda Kristen, Katolik, dsb.”

Di daerah yang tidak didatangi RPKAD, seperti Jawa Barat, kekerasan tidak meledak besar-besaran. PKI sendiri, kata Anderson, tidak melakukan perlawanan. Ketika ditanya Umar Said, “Kenapa tidak ada perlawanan dari orang PKI?” Anderson menjawab singkat: “Ya karena mereka tidak punya senjata. Mau apa?”

Baca Juga: Jejak Sejarah Kelahiran Partai Faisis Indonesia di Bandung, Supremasi ala Pribumi yang Bikin Heboh Wangsa Kolonial

Kendati demikian, bukan berarti Jawa Barat sepenuhnya bebas darah. Indramayu menjadi pengecualian. Di wilayah itu, PKI cukup kuat karena gerakan penggarap tanah yang menduduki hutan jati milik pemerintah. Ketika polisi mencoba mengusir, mereka melawan dan seorang aparat tewas. Balas dendam pun terjadi. Cribb menyebut, pembunuhan di Indramayu dilakukan oleh anggota kepolisian yang menyimpan dendam, bukan gelombang massa seperti di Jawa Tengah.

“Pembunuhan pada 1965 di daerah itu dilakukan oleh anggota kepolisian yang marah dan ingin membalas dendam,” tulis Cribb.

Cirebon menjadi wilayah dengan catatan berbeda. Berbatasan langsung dengan Jawa Tengah, kota pelabuhan itu sempat diguncang kekerasan. Hughes, seorang peneliti yang dikutip Cribb, melaporkan adanya “sebuah guillotine yang bekerja terus menerus sepanjang hari, hari demi hari” di Cirebon. Namun secara umum, Jawa Barat tetap jauh lebih sepi dari arus pembantaian massal dibandingkan tetangga di timur.

Kekerasan massal tetap bisa diredam di Jawa Barat, berbeda dari provinsi tetangganya. Menurut Cribb, salah satu kuncinya adalah sikap tegas komandan militer daerah. “Di sini, komandan militer daerah dengan tegas menentang penggunaan pasukan sipil tambahan, dan jumlah kematian jauh lebih sedikit dibandingkan dengan dua provinsi Jawa lainnya.”

Tags:
G30SPKISejarahJawa Barat

Hengky Sulaksono

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor