Ilustrasi truk melintasi jalanan Cileunyi, Bandung, tahun 1950-an.

Ayo Jelajah

Hikayat Komplotan Bandit Revolusi di Cileunyi, Sandiwara Berdarah Para Tentara Palsu

Kamis 23 Okt 2025, 16:18 WIB

AYOBANDUNG.ID - Pada suatu dini hari bulan Juni 1950, di antara kabut tebal dan hawa dingin pegunungan timur Bandung, sebuah truk pengangkut tekstil melaju pelan meninggalkan pusat kota menuju arah timur. Jalanan yang waktu itu masih sepi, berkelok di antara ladang dan kampung, membawa kendaraan itu menuju Cileunyi, wilayah sebelum perbatasan antara Bandung dan Sumedang. Tak ada yang mencurigakan pada malam itu, kecuali empat orang berseragam tentara yang meminta tumpangan.

Keempat tampak percaya diri, bahkan ramah. Si sopir, mungkin karena menghormati seragam yang mereka kenakan, mengizinkan mereka naik, tanpa tahu bahwa malam itu akan menjadi awal dari kisah perampokan paling keji yang pernah tercatat di halaman koran zaman vivere pericoloso. Di depan sebuah hotel Tionghoa, kisah liar itu bermula. Para bandit beraksi menggasak truk beserta muatan serta merapas nyawa para penumpang.

Sopir truk tak punya alasan untuk curiga ketika salah satu dari mereka datang mendekat. Dengan nada sopan, pria itu berkata bahwa mereka ingin menumpang sampai Sumedang. “Ia dengan sopan meminta agar ia dan teman-temannya diizinkan menumpang sampai Sumedang,” tulis De Preanger-bode pada 26 Juni 1950. Sang sopir, yang hanya ditemani pembantu dan kondektur, mengizinkan mereka naik. Karena kabin penuh, keempat pria itu duduk di atas muatan. Di atas baknya, terikat rapi gulungan kain tekstil—barang mahal pada masa itu.

Baca Juga: Sabotase Kereta Rancaekek, Bumbu Jimat dan Konspirasi Kiri Zaman Kolonial

Pada malam jahanam itu, mereka melaju ke arah Cileunyi. Truk berguncang di jalan berbatu, sementara udara dingin menembus baju. Sekitar tengah malam, pemimpin komplotan mengetuk kaca belakang kabin. Itu tanda. Sopir yang tak tahu apa-apa langsung menginjak rem dan menepi. Empat “tentara” itu melompat turun. Satu menarik pistol dan menodongkan ke arah kabin. Dalam sekejap, mereka mengambil alih truk dan menodong tiga penumpangnya untuk tetap diam.

Salah satu pelaku naik ke kemudi. Tiga korban—sopir, pembantu, dan kondektur—dipaksa duduk di atas tumpukan kain. Jalan kembali sunyi. Di antara suara mesin dan deru angin malam, sopir memutuskan untuk melompat. Ia memilih luka daripada mati. Tubuhnya terguling di aspal, berdarah, tapi ia selamat. Dua orang lainnya tidak seberuntung itu.

Jejak Kejahatan di Rancaekek

Truk melanjutkan perjalanan hingga ke Bojongjati, wilayah sunyi di distrik Rancaekek. “Sesampainya di kampung Bojongjati, truk berhenti di dekat beberapa rumah yang terpencil,” catat De Preanger-bode. Di rumah itu, mereka menurunkan gulungan kain dan mengurung dua orang yang tersisa. Truk yang sudah kosong kemudian dibawa jauh hingga menjelang Garut, lalu ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan.

Esoknya, komplotan itu menuju Tasikmalaya. Di sana mereka menemukan pedagang yang bersedia membeli kain curian itu dengan harga tinggi. Hasilnya besar, cukup untuk membuat mereka kembali ke Bojongjati keesokan harinya. Tapi bersama uang, muncul rasa takut. Dua tawanan di rumah itu bisa menjadi saksi. Bila dibiarkan hidup, mereka bisa melapor. Maka keputusan dibuat: keduanya harus disingkirkan.

Laporan De Preanger-bode menulis dingin, “Setelah para korban ditahan selama satu setengah hari tanpa mengetahui nasib mereka, keduanya dibunuh secara keji dengan cara dicekik.” Tak ada perlawanan, tak ada suara. Setelah tubuh kedua pria itu tak lagi bernyawa, para pelaku menguburnya di belakang rumah. Malam kembali sunyi, seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Baca Juga: Jejak Dukun Cabul dan Jimat Palsu di Bandung, Bikin Resah Sejak Zaman Kolonial

Tentara KNIL pada masa Perang Revolusi. (Sumber: Wikimedia)

Beberapa hari kemudian, polisi menemukan kuburan itu. “Jenazah mereka dikuburkan di tempat yang tidak jauh dari lokasi tersebut, dan pada hari Sabtu kemudian digali kembali oleh polisi,” lanjut laporan itu. Kedua jasad lalu dibawa ke Bandung untuk penyelidikan. Bau anyir tanah dan tubuh membusuk memenuhi udara pagi Bojongjati ketika mayat-mayat itu diangkat dari kubur dangkal.

Kasus ini menyebar cepat di Bandung. Berita tentang perampokan berseragam TNI mencuri perhatian publik. Orang-orang mulai curiga pada siapa pun yang mengenakan seragam tentara tanpa tanda pangkat yang jelas. Ketika polisi kriminal menggerebek sebuah rumah di Pagarsih dan menangkap seseorang bernama T.S., semuanya mulai terbuka. Dari pengakuan tersangka itulah polisi bisa menelusuri jejak ke Cileunyi dan Rancaekek.

“Petugad polisi kriminal melakukan penggerebekan di sebuah rumah di Pagarsih, di mana mereka berhasil menangkap seseorang bernama T.S.,” tulis De Preanger-bode. Dalam penggerebekan lain di Jalan Idawasir, polisi juga menangkap anggota komplotan lainnya. Tiga orang berhasil diamankan. Salah satu di antaranya akhirnya mengaku dan membeberkan seluruh rencana keji itu.

Dari Perampokan ke Pembunuhan

Kasus perampokan ini menjadi perbincangan panjang di kalangan masyarakat Bandung dan sekitarnya. Nilai muatan yang dicuri mencapai f 380.000, jumlah yang setara dengan harga beberapa rumah di kota kala itu. “Muatan tekstil yang dimiliki oleh seorang pedagang Tionghoa di Semarang dan bernilai sekitar f 380.000 sebagian besar telah berhasil ditemukan kembali,” tulis koran itu. Sebagian kain berhasil diamankan, sebagian lainnya sudah berpindah tangan di pasar-pasar kecil Tasikmalaya.

Polisi kemudian menemukan bahwa komplotan itu bukan pertama kali beraksi. Mereka juga pernah terlibat dalam perampokan terhadap seorang haji di Cisarua pada hari raya Pentakosta. “Dalam kejadian itu mereka mencuri sejumlah besar uang tunai dan berbagai perhiasan,” ungkap laporan yang sama.

Pola mereka nyaris serupa di tiap aksi: menyamar sebagai tentara, mencari sasaran di jalan sepi, menodong, merampok, lalu menyingkirkan saksi. Dalam situasi Bandung tahun 1950, cara itu efektif. Seragam TNI masih dianggap simbol wibawa dan kekuasaan, apalagi di masa revolusi ketika perang berkecamuk di mana-mana dan banyak pasukan belum sepenuhnya terorganisir.

Bandung sendiri saat itu adalah kota yang sedang berusaha menata diri. Setelah perang, banyak senjata dan perlengkapan militer jatuh ke tangan sipil. Seragam bisa dibeli di pasar gelap. Pistol pun mudah ditemukan di sisa-sisa gudang militer. Dalam kondisi semacam itu, kejahatan seperti ini bukan hal mustahil. Orang-orang dengan niat buruk bisa meniru tentara dengan mudah, dan masyarakat tak berani menolak permintaan orang berseragam.

Baca Juga: Hikayat Kasus Pembunuhan Grutterink, Landraad Bandung jadi Saksi Lunturnya Hegemoni Kolonial

Perampokan Cileunyi jadi semacam legenda kelam yang nyaris terdengar seperti lelucon buruk: sekelompok orang berseragam resmi yang ternyata palsu, menjarah truk berisi kain sambil berpura-pura menjalankan tugas negara.

Komplotan itu bukan maling sembarangan. Mereka tahu betul cara memanfaatkan lambang negara untuk menutupi niat busuk. Dan seperti biasa, yang paling apes bukanlah yang punya kuasa, melainkan dua pekerja jalanan yang cuma ingin menyelesaikan hari kerja tanpa drama, tapi malah berakhir di tangan orang yang sok patriotik.

Begitu para pelaku akhirnya ditangkap, sebagian besar barang curian berhasil ditemukan. Tapi dua korban di Bojongjati itu tetap tak disebut namanya, seolah mereka cuma catatan kaki dalam cerita besar yang penuh seragam dan sandiwara.

“Dengan darah dingin, setelah para korban ditahan selama satu setengah hari tanpa mengetahui nasib mereka, keduanya dibunuh secara keji dengan cara dicekik," tulis surat kabar itu.

Satu malam di Cileunyi, empat seragam palsu, dua nyawa melayang, dan satu truk penuh kain yang entah ke mana. Di tengah kabut pegunungan dan jalanan sepi Bandung–Garut, kota yang tenang itu sempat diguncang oleh kejahatan yang, sialnya, berpakaian seperti penjaga keamanan.

Tags:
BandungCileunyiKriminalRevolusi

Hengky Sulaksono

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor