Para buruh pekerja Artillerie Constructie Winkel (ACW) di Kiaracondong yang merupakan cikal bakal PT Pindad. (Sumber: Tropenmuseum)

Ayo Jelajah

Hikayat Kiaracondong, Tujuan Urbanisasi Kaum Pekerja Zaman Baheula

Kamis 06 Nov 2025, 17:00 WIB

AYOBANDUNG.ID - Siapa pun yang melintas di Jalan Kiaracondong pada jam berangkat atau pulang kerja pasti paham, kesabaran di sini diuji seperti ujian nasional tanpa kisi-kisi. Deru klakson, angkot ngetem, dan pedagang kaki lima berbaur di bawah flyover yang seolah berdiri hanya untuk menambah bayangan di tengah panas. Tapi di balik keruwetan lalu lintas dan aroma khas pasar, Kiaracondong menyimpan sejarah panjang yang jauh lebih menarik daripada sekadar macet harian.

Catatan Perpustakaan Digital Budaya Indonesia menyebutkan, pada masa lampau tumbuh sebatang pohon kiara yang sangat besar dan tinggi di kawasan ini. Batangnya miring—dalam bahasa Sunda disebut “condong”. Orang-orang yang lewat kerap menunjuk pohon itu sambil berkata, “Eta kiara condong.” Seiring waktu, sebutan itu melekat menjadi nama wilayah: Kiaracondong. Sebuah penanda sederhana bahwa kadang sejarah besar lahir hanya dari satu batang pohon yang miring.

Tapi perjalanan Kiaracondong tak berhenti pada legenda pohon. Kawasan ini tumbuh bersama denyut industri, rel kereta, dan pergerakan manusia yang membentuk wajah Bandung Timur. Dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe dipaparka, pada 1870-an penduduk Bandung mulai giat menggarap lahan menjadi kebun-kebun dengan nama “kebon” di depannya, sepeti Kebon Kawung, Kebon Kalapa, Kebon Gedang, dan seterusnya. Bersamaan dengan itu, muncul pula kampung-kampung yang diambil dari nama pepohonan atau benda mencolok di lingkungannya, seperti Awibitung, Cukangjati, Gardujati, hingga Kiaracondong. Setiap nama menyimpan kisah kecil yang membentuk mosaik sejarah kota.

Baca Juga: Sejarah Flyover Pasupati Bandung, Gagasan Kolonial yang Dieksekusi Setelah Reformasi

Dari Halte Kiaratjondong ke Pindad, Jejak Senjata dan Industrialisasi

Dalam catatan Komunitas Aleut, nama Kiaracondong pertama kali muncul di koran-koran Hindia Belanda pada September 1893, bersamaan dengan pengumuman pembukaan halte kereta api baru antara Stasiun Bandung dan halte Gedebage. Ejaan lama yang digunakan kala itu: Kiaratjondong. Halte ini bukan sekadar pemberhentian, melainkan titik awal perjalanan Kiaracondong menjadi pusat industri di timur Bandung.

Tak lama setelah halte itu berdiri, pemerintah kolonial memindahkan sejumlah instalasi militer ke Bandung. Salah satunya adalah Artillerie Constructie Winkel (ACW), pabrik senjata dan artileri yang sebelumnya beroperasi di Surabaya. Menurut Komunitas Aleut, pada tahun 1920 dimulai pembangunan gedung-gedung pabrik ACW beserta kampung pekerjanya di sekitar Kampung Kiaratjondong. Pindahnya ACW ke Bandung menandai babak baru: Bandung tak lagi sekadar kota peristirahatan, melainkan kota industri dan militer.

Pembangunan kampung pekerja ACW bahkan sempat menjadi buah bibir. Banyak buruh dari Surabaya ingin ikut pindah ke Bandung, namun jumlah rumah terbatas. Perekrutan pun dihentikan sementara. Di saat bersamaan, pada tahun 1920 juga dibangun kompleks Pabrik Gas di sebelah barat Babakan Surabaya, tepat di selatan Daendelsweg—yang kini dikenal sebagai Jalan Jakarta. De Preanger-bode edisi 5 April 1921 mencatat bahwa proyek itu dimulai pada 20 April, dengan Firma Schoemaker & Associate sebagai perancang gedung kantor dan rumah staf, sementara Firma Selle & De Bruijn menangani struktur pendukungnya.

Sejak 1940, muncul lagi kompleks industri lain bernama Central Magazijn GEBEO. Setelah Indonesia merdeka, geliat industri tak surut. Pada 1955, Preanger-bode melaporkan rencana pemindahan Pabrik Philips dari Surabaya ke Bandung. Prosesnya sempat ricuh akibat pemutusan hubungan kerja terhadap 132 buruh di Surabaya yang kemudian mengadu ke Kementerian Perekonomian.

Dengan semua industri itu, kawasan Kiaracondong tumbuh menjadi episentrum aktivitas logam dan manufaktur. Karakter industri logam yang masih kental hingga era modern merupakan warisan dari masa kolonial, ketika kawasan ini menjadi tempat produksi senjata dan mesin. Di berbagai gang Babakan Surabaya dan Kiaracondong, deru mesin las dan patri seolah menyambung gema dari masa lalu.

Baca Juga: Sejarah Pindad, Pindah ke Bandung Gegara Perang Dunia

Suasana Kiaracondong zaman kiwari. (Sumber: Unsplas | Foto: Abdul Ridwan)

Dari Karsten Plan ke Pemukiman Padat, Kiaracondong dalam Lajur Urbanisasi

Tata ruang Bandung yang kacau ternyata sudah diprediksi sejak zaman kolonial. Dalam Sejarah Kota Bandung 1945–1979 disebutkan, pada 1921 luas kota baru mencapai 2.853 hektare, namun terus meluas seiring meningkatnya jumlah penduduk. Thomas Karsten kemudian menyusun Karsten Plan, rencana pengembangan kota selama 25 tahun dengan proyeksi 750.000 penduduk pada tahun 1955.

Salah satu rekomendasi penting Karsten adalah menambah halte-halte kereta api agar mobilitas warga lebih merata. Dalam Risalah No. 4 tanggal 12 Agustus 1919 disebutkan, perlu dibangun halte di Andir, Ciroyom, Cikudapateuh, dan Kiaracondong, guna mengurangi kepadatan penumpang di Stasiun Bandung serta memudahkan akses menuju pasar-pasar timur seperti Cicadas. Halte-halte ini menjadi cikal bakal integrasi transportasi Bandung yang modern—meski, seperti halnya banyak rencana bagus lain, tak semua berjalan sesuai harapan.

Setelah kemerdekaan, Bandung berubah cepat. Buku Nama Tempat yang Berhubungan dengan Air menjelaskan bahwa pada pertengahan 1950-an, gelombang urbanisasi besar-besaran terjadi akibat gangguan keamanan oleh gerombolan DI/TII di pedesaan Jawa Barat. Warga desa mencari perlindungan di kota, dan ketika situasi kembali tenang, sebagian besar enggan pulang. Kota dianggap lebih menjanjikan, meski pekerjaan terbatas dan lahan sempit.

Baca Juga: Sejarah Kopo Bandung, Berawal dari Hikayat Sesepuh hingga Jadi Distrik Ikon Kemacetan

Kiaracondong menjadi salah satu kantong pemukiman padat baru. Buku Sejarah Kota Bandung 1945–1979 mencatat, pada 1966 jumlah rumah resmi di Bandung hanya 87.849 unit—cukup untuk sekitar 878 ribu jiwa—padahal penduduknya sudah melampaui 1,1 juta. Sekitar 237 ribu orang tinggal di rumah-rumah liar tanpa izin, banyak di antaranya di Kiaracondong, Babakan Surabaya, dan Sasakgantung. Rumah-rumah itu berdiri di atas lahan tanpa izin, rapat, dan nyaris tanpa perencanaan.

Pemerintah mencoba menata ulang dengan membangun perumahan baru di berbagai kawasan, termasuk di Kiaracondong. Pada 1980-an, wilayah ini ditetapkan sebagai zona industri timur Bandung. Pertimbangannya sederhana: dekat dengan jaringan transportasi dan jauh dari kawasan pendidikan serta pariwisata. Dalam catatan Buku Sejarah Kota Bandung 1945–1979, kebijakan itu dimaksudkan untuk menghindari gangguan aktivitas industri terhadap permukiman dan kampus. Ironisnya, justru industri yang datang duluan, dan permukiman yang menyesuaikan di kemudian hari.

Stasiun Kiaracondong menjadi simpul vital. Perpustakaan Digital Budaya Indonesia menyebutnya sebagai stasiun terbesar kedua di Bandung, berdekatan dengan Jalan Ibrahim Adjie, pasar tradisional, dan jalan layang Kiaracondong. Dari sini, barang dan manusia mengalir tanpa henti, membentuk denyut ekonomi dan sekaligus kemacetan abadi. Jalur rel yang dulu dibangun untuk artileri kini mengangkut pekerja harian dan pedagang sayur, sementara bekas kampung buruh ACW menjelma menjadi labirin gang padat dengan bengkel logam dan warung mi kocok berdempetan.

Hari ini, Kiaracondong mungkin tak lagi punya pohon kiara miring, tapi kemiringan masih ada di mana-mana. Kabel listrik menggantung miring di udara, trotoar miring menampung genangan, dan bangunan miring menyempil di sela gang. Sejarah di sini tidak berjalan lurus, ia berliku seperti jalanan sore hari yang penuh klakson.

Baca Juga: Jejak Sejarah Ujungberung, Kota Lama dan Kiblat Skena Underground di Timur Bandung

Tapi di situlah pesonanya. Kiaracondong bukan sekadar nama jalan atau stasiun, melainkan kronik panjang tentang bagaimana Bandung timur tumbuh: dari pohon condong, halte kolonial, pabrik senjata, rumah liar, hingga flyover yang selalu ramai. Setiap lapisan sejarahnya masih terlihat, hanya saja tertutup sedikit oleh debu jalanan dan asap knalpot.

Tags:
KiaracondongSejarah Bandung

Hengky Sulaksono

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor