AYOBANDUNG.ID - Baleendah adalah wilayah yang setiap musim hujan berubah jadi danau tanpa perlu izin Balai Besar Wilayah Sungai. Orang Bandung Selatan tahu betul: kalau hujan turun lebih dari dua hari, jalanan menuju Dayeuhkolot, Bojongsoang, dan Baleendah akan berubah jadi kolam raksasa. Motor mogok, mobil tersendat, dan perahu karet—entah dari BPBD atau warga setempat—mendadak jadi alat transportasi paling bergengsi.
Daerah yang saban tahun tenggelam ini pernah direncanakan jadi ibu kota Kabupaten Bandung. Ya, Baleendah, si langganan banjir itu, pernah disiapkan sebagai pusat pemerintahan, tempat bupati berkantor dengan gagah di antara sawah dan sungai.
Kisahnya bermula pada masa kepemimpinan Kolonel Lily Sumantri. Pada 20 April 1974, bertepatan dengan Hari Jadi Kabupaten Bandung ke-333, batu pertama pembangunan pusat pemerintahan baru diletakkan di Baleendah. Saat itu, Bandung kota sudah terlalu padat. Pemerintah daerah butuh ruang baru, dan Baleendah—yang kala itu masih tenang, hijau, dan belum terlalu basah—dipilih sebagai calon ibu kota.
Rencana itu berlanjut hingga masa Bupati Kolonel R. Sani Lupias Abdurachman (1980–1985). Namun, alam punya cara sendiri untuk membatalkan keputusan manusia. Baleendah ternyata terletak di cekungan raksasa yang menjadi tempat berkumpulnya air dari segala penjuru Bandung Selatan. Sungai Cisangkuy dan Ciwidey menyalurkan limpahan airnya ke Citarum, dan Citarum yang murung itu sering tak mampu menampungnya.
Baca Juga: Hikayat Kiaracondong, Tujuan Urbanisasi Kaum Pekerja Zaman Baheula
Kemudian jadilah Baleendah setiap tahun berendam dalam genangan. Bukan genangan cinta, tapi air setinggi dada orang dewasa. Pada masa Bupati Kolonel Cherman Affendi (1985–1990), rencana pemindahan ibu kota dibatalkan. Kabupaten Bandung akhirnya menancapkan ibu kotanya di Soreang—daerah yang lebih tinggi, lebih kering, dan tentu saja lebih ramah bagi arsip pemerintahan.
Kalau Baleendah jadi ibu kota waktu itu, rapat dinas pasti sering tertunda karena air naik. Dan pejabatnya tidak perlu membawa payung, cukup sepatu bot.
Basis Pejuang Bandung Selatan hingga Kawasan Rawan Banjir
Baleendah bukan hanya cerita tentang air. Dalam lembar sejarah, wilayah ini punya peran penting dalam perjuangan kemerdekaan. Setelah peristiwa Bandung Lautan Api pada Maret 1946, pasukan Republik mundur ke selatan sejauh sebelas kilometer. Mereka berkumpul di Baleendah–Ciparay, membentuk Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MPPP). Dari sini, para pejuang menyusun strategi perang gerilya melawan Belanda.
Pada 30 Juni 1946, para pejuang menyerang kedudukan Belanda di Dayeuhkolot. Tank, howitzer, dan senjata penyembur api Belanda tak membuat gentar pasukan rakyat. Bahkan sebuah tank berhasil dilumpuhkan. Keesokan harinya, pesawat-pesawat tempur Belanda membombardir Baleendah dari udara. Tapi seperti biasa, semangat rakyat Bandung Selatan sulit dipadamkan, bahkan dengan hujan peluru.
Baca Juga: Sejarah Dayeuhkolot Jadi Ibu Kota Bandung, dari Karapyak ke Kota Tua yang Kebanjiran

Tujuh dekade setelah itu, Baleendah masih berperang—kali ini bukan melawan penjajah, melainkan air. Musuhnya tak membawa senapan, hanya debit air Sungai Citarum yang mencapai 14 miliar meter kubik per tahun.
Wilayah ini lahir dengan nasib basah. Secara hidrologis, Baleendah adalah bagian dari cekungan Bandung–Soreang, dataran rendah tempat semua air bertemu untuk nongkrong sebelum mengalir ke utara. Bedanya, air di sini malas bergerak. Topografi yang datar membuat banjir betah berlama-lama, bahkan sampai warga bercanda, “Di Baleendah, musim hujan itu berarti musim perahu.”
Kisah banjir Baleendah sudah seperti serial televisi panjang yang tak pernah tamat. Tahun 1984, luas genangan di cekungan Bandung mencapai 47.000 hektare. Setahun kemudian, banjir besar melanda Baleendah, Bojongsari, Sapan, dan Dayeuhkolot. Sekitar 21.560 jiwa mengungsi, sawah tenggelam, ikan hanyut, ekonomi lumpuh.
Puncaknya terjadi pada Maret 1986. Dua puluh ribu rumah di sepuluh desa terendam. Luas genangan mencapai 7.500 hektare. Sebanyak 68.635 jiwa menderita, 38.672 di antaranya mengungsi. Lima orang tewas. Kerugian ditaksir Rp10 miliar—angka besar untuk masa itu. Pemerintah sempat memindahkan 500 warga ke Kampung Riunggunung, tapi sebagian kembali karena, kata mereka, “tanah di sini sudah keburu jadi bagian hidup.”
Begitulah orang Baleendah: keras kepala sekaligus setia pada tempatnya. Bahkan ketika banjir datang setiap tahun, mereka lebih memilih menguras rumah sendiri daripada pindah ke tempat baru.
Dua dekade kemudian, sejarah banjir Baleendah tak banyak berubah. Tahun 2014, luapan Citarum menenggelamkan 2.589 rumah dan membuat 13.000 orang mengungsi. Dua tahun setelahnya, Maret 2016, datang banjir yang disebut-sebut sebagai yang terparah dalam sepuluh tahun terakhir: 35.000 rumah terendam di Dayeuhkolot, Baleendah, dan Bojongsoang.
Baca Juga: Sejarah Kegagalan Program Pembersihan Sungai Citarum, dari Orde Baru sampai Era Jokowi
Pada Maret 2025, air kembali naik. Hujan sepekan membuat Sungai Citarum kehilangan sabarnya. Delapan ribu rumah terendam, 34 ribu warga terdampak, dan 653 orang harus mengungsi. Itu adalah salah satu banjir terbesar dalam lima tahun terakhir. Tapi warga Baleendah cuma mengangkat bahu sambil berkata, “Ah, biasa. Cuma sepinggang kok.”

Walaupun langganan banjir, Baleendah tetap tumbuh padat seperti kawasan urban lain di pinggiran Bandung. Data BPS 2023 menunjukkan penduduknya mencapai 270.306 jiwa, dengan luas wilayah hanya 34,17 kilometer persegi. Artinya, setiap kilometer persegi di Baleendah dihuni sekitar 7.909 orang—angka yang bikin siapa pun berpikir dua kali sebelum mencari rumah di sana.
Kepadatan ini tak lepas dari posisinya sebagai kawasan penyangga Kota Bandung. Harga tanah di Baleendah lebih bersahabat dibandingkan di Kota Bandung, sementara akses transportasi relatif mudah. Pabrik, perumahan, dan toko-toko tumbuh di atas lahan yang dulu sawah. Ironisnya, lahan-lahan serapan air ikut hilang, membuat banjir kian rajin datang.
Baleendah, dalam banyak hal, adalah potret kecil Indonesia: daerah yang tumbuh cepat tapi tak sempat menata diri. Infrastruktur dibangun setengah hati, drainase terabaikan, sungai dikeruk sesekali, tapi sampah kembali menumpuk setiap pekan.
Setiap kali banjir datang, media nasional ramai memberitakan. Wartawan berdiri di tengah air dengan mikrofon, perahu karet melintas di belakang, dan warga melambaikan tangan seperti selebriti. Tapi setelah air surut, perhatian hilang. Proyek penanganan banjir kembali sebatas janji.
Baleendah pernah punya masa depan besar. Ia pernah dibayangkan sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Bandung. Ia juga punya sejarah heroik di masa revolusi. Tapi kini, yang tersisa adalah lara panjang—kisah tentang daerah yang ditakdirkan basah, tak pernah kering sepenuhnya.
Baca Juga: Sejarah Kopo Bandung, Berawal dari Hikayat Sesepuh hingga Jadi Distrik Ikon Kemacetan
Banjir di Baleendah bukan sekadar peristiwa alam, tapi juga potret kebijakan yang separuh hati dan pembangunan yang tak mengenal arah. Selama Citarum masih murung dan cekungan Bandung masih dangkal, Baleendah akan tetap jadi nama yang sinonim dengan banjir.