Sejarah Kegagalan Program Pembersihan Sungai Citarum, dari Orde Baru sampai Era Jokowi

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Minggu 14 Sep 2025, 19:35 WIB
Sungai Citarum lautan sampah. (Sumber: Ayobandung | Foto: Restu Nugraha)

Sungai Citarum lautan sampah. (Sumber: Ayobandung | Foto: Restu Nugraha)

AYOBANDUNG.ID - Sungai Citarum adalah sungai yang panjangnya kira-kira 300 kilometer, membelah Jawa Barat dari hulu di Gunung Wayang sampai bermuara ke Laut Jawa. Ia bukan sungai sembarangan. Airnya menyuplai Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur yang memasok listrik dan air bersih jutaan orang, dari orang Bandung yang doyan ngopi sampai orang Jakarta yang tak pernah mau tahu asal-usul air minumnya. Sawah-sawah di Karawang, Indramayu, sampai Subang juga hidup dari irigasi Citarum.

Tapi, seperti banyak sungai di negeri berkembang, nasib Citarum berubah tragis. Ia bukan lagi sungai yang jernih seperti digambarkan dalam buku geografi zaman SD. Sejak akhir 1980-an, ia mendapat gelar tidak resmi: salah satu sungai paling tercemar di dunia. Warna airnya kadang cokelat, kadang hijau, bahkan bisa ungu atau merah muda jika pabrik tekstil sedang rajin membuang limbah. Bau anyirnya bisa bikin siapa saja yang lewat ingin cepat-cepat menutup hidung.

Citarum adalah wajah pembangunan ala Indonesia: di atas kertas gagah, di lapangan bikin pusing kepala. Sejak Orde Baru hingga Jokowi, ia sudah berkali-kali dijanjikan untuk dibersihkan. Dari program Prokasih, Citarum Bergetar, Citarum Bestari, sampai Citarum Harum. Namanya keren-keren, tapi hasilnya lebih mirip cerita sinetron panjang yang tak kunjung tamat.

Baca Juga: Bandung Teknopolis di Gedebage, Proyek Gagal yang Tinggal Sejarah

Dari Prokasih yang Gagal Tegas sampai Bestari yang Setengah Hati

Tahun 1989, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup meluncurkan Program Kali Bersih (Prokasih). Orde Baru kala itu sedang rajin membuat proyek akbar. Dari program keluarga berencana sampai program transmigrasi, semua diatur dari pusat. Jadi, membersihkan sungai pun tak ketinggalan. Prokasih melibatkan banyak sungai, dan Citarum termasuk prioritas.

Konsepnya sederhana: industri wajib mengolah limbah sebelum dibuang. Ada standar kualitas air, ada inspeksi, dan ada target hingga 2005. Kalau ini dijalankan dengan serius, mungkin Citarum bisa lebih bersih dari sekarang. Sayangnya, Orde Baru punya penyakit klasik: suka keras kepada rakyat kecil, tapi lembek kepada pengusaha besar.

Pabrik tekstil di sepanjang Bandung Raya tetap membuang limbah cair penuh zat kimia. Warnanya kadang lebih cantik dari cat dinding, tapi jelas tidak baik buat ikan. Prokasih lebih banyak berhenti di slogan ketimbang aksi nyata. Pihak industri dilindungi, aparat tak berani menindak, sementara masyarakat dibiarkan percaya bahwa gotong royong mengangkat sampah plastik bisa menyelesaikan masalah.

Pada 1990-an, kualitas air Citarum tetap saja buruk. Ia tidak lagi sekadar “tercemar ringan,” tapi naik kelas menjadi “cemar berat.” Istilah ilmiahnya mungkin terdengar keren, tapi artinya sederhana: airnya tidak bisa dipakai, bahkan untuk mandi sekalipun. Prokasih pun menjadi contoh awal bagaimana proyek lingkungan di Indonesia bisa gagal sebelum sempat berbuah.

Reformasi 1998 membawa angin baru. Gubernur Jawa Barat kala itu meluncurkan Citarum Bergetar sekitar 2001. Namanya heroik: Bergetar, seolah-olah seluruh Jawa Barat siap bergerak. Program ini mencoba memperbaiki DAS (Daerah Aliran Sungai) Citarum lewat reboisasi lahan gundul, pengerukan sedimentasi, dan pembersihan spot-spot tertentu.

Baca Juga: Sungai Citarum Diterjang Banjir Sampah, Hanyut dalam Tumpukan Program

Sungai Citarum lautan sampah. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan al Faritsi)
Sungai Citarum lautan sampah. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan al Faritsi)

Problemnya, program ini miskin anggaran. Bergantung pada APBD, tanpa sokongan besar dari pusat atau swasta. Skalanya pun kecil. Pembersihan dilakukan di beberapa titik, tapi sungai sepanjang 300 kilometer jelas terlalu luas untuk sekadar mengandalkan kerja bakti massal.

Selain itu, perilaku masyarakat tidak berubah. Orang tetap buang sampah ke sungai, dari kasur butut sampai popok sekali pakai. Di hulu, deforestasi jalan terus. Industri tetap melenggang. Alhasil, Citarum Bergetar lebih seperti kampanye politik lokal ketimbang program penyelamatan lingkungan yang serius.

Sepuluh tahun berselang, 2013, muncul Citarum Bestari. Program ini didesain lebih modern, katanya belajar dari kegagalan sebelumnya. Ada pembangunan IPAL komunal, ada reboisasi, ada kampanye edukasi di sekolah, bahkan ada dana triliunan rupiah.

Untuk sesaat, optimisme muncul. Di beberapa titik memang ada perbaikan. Beberapa IPAL dibangun, masyarakat diajak ikut menanam pohon. Namun, pola lama kembali muncul: koordinasi antarinstansi buruk, pengawasan lemah, dan industri tetap jadi raja. Banyak IPAL tidak berfungsi, pohon yang ditanam tidak dipelihara, dan warga masih membuang sampah sembarangan.

Bestari akhirnya jadi transisi gagal. Ia bukan total bencana, tapi juga tidak menyelesaikan masalah. Sungai tetap bau, air tetap tercemar, dan predikat “sungai paling kotor” tetap melekat.

Jokowi, Tentara, dan Janji Sungai Harum

Pada 2018, Presiden Joko Widodo memutuskan turun tangan langsung. Ia meluncurkan Citarum Harum lewat Perpres No. 15/2018. Program ini jelas-jelas lebih ambisius daripada pendahulunya. Targetnya dalam tujuh tahun: air Citarum bisa diminum langsung.

Bedanya, Jokowi menurunkan TNI ke lapangan. Tentara diperintahkan mengawasi pabrik, membersihkan sungai, bahkan patroli di bantaran. Pendekatannya militeristik: disiplin dan cepat. Dunia internasional sempat terkesima, apalagi Citarum Harum dipamerkan di berbagai forum air global.

Dana yang digelontorkan pun fantastis: hingga Rp15 triliun. Infrastruktur dibangun, mulai dari IPAL besar, normalisasi sungai, reboisasi lahan kritis, hingga program edukasi masyarakat. Sesekali publikasi menampilkan prajurit TNI mengangkat kasur busuk dari sungai, atau menertibkan warga yang buang sampah.

Baca Juga: Tragedi Longsor Sampah Leuwigajah 2005: Terburuk di Indonesia, Terparah Kedua di Dunia

Presiden RI, Joko Widodo meninjau titik nol Sungai CItarum di Desa Tarumajaya, Kertasari, Kabupaten Bandung, saat peresmian Citarum Harum 22 Februari 2018. (Sumber: Biro Setpres)
Presiden RI, Joko Widodo meninjau titik nol Sungai CItarum di Desa Tarumajaya, Kertasari, Kabupaten Bandung, saat peresmian Citarum Harum 22 Februari 2018. (Sumber: Biro Setpres)

Tapi, seiring waktu, janji besar itu mulai menguap. Pada 2024, laporan menunjukkan Indeks Kualitas Air memang membaik sedikit: dari cemar berat jadi cemar sedang. Tapi target air minum masih jauh. Hanya sekitar 20 persen pabrik yang punya IPAL memadai. Limbah domestik tetap menumpuk. Sampah plastik kembali menghiasi permukaan sungai, seperti tidak pernah ada tentara yang diturunkan.

Tak sedikit yang menyebut program ini gagal total. Alasannya klasik: anggaran tidak transparan, penegakan hukum lemah, partisipasi masyarakat minim, dan pendekatannya terlalu top-down. Pada Februari 2025, program resmi berakhir. Pengelolaan diserahkan kembali ke pemerintah daerah tanpa evaluasi independen.

Citarum Harum akhirnya lebih mirip proyek mercusuar. Ada kemajuan, tetapi tidak sesuai janji. Sungai memang tidak lagi sekotor dulu, tapi jauh dari layak minum. Sungai itu tetap bau, tetap kotor, dan tetap jadi bukti bahwa jargon politik lingkungan di negeri ini sering berakhir sebagai pepesan kosong.

Pada akhirnya, sejarah Citarum adalah sejarah kegagalan kolektif. Pemerintah gonta-ganti program, tapi masalah intinya tidak pernah disentuh serius: penegakan hukum terhadap industri nakal dan perubahan perilaku masyarakat. Dari Orde Baru sampai Jokowi, pola kegagalannya sama: lebih banyak pidato daripada aksi, lebih banyak proyek daripada perawatan.

Sungai Citarum seolah-olah menertawakan semua janji itu. Ia tetap keruh, tetap berbau, tetap jadi etalase betapa susahnya Indonesia mengurus lingkungannya sendiri. Program datang dan pergi, tapi sampah dan limbah tetap mengalir.

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 16 Des 2025, 18:30 WIB

Jejak Rempah di Sepiring Ayam Geprek Favorit Anak Kos

Ayam geprek rempah dengan bumbu yang meresap hingga ke dalam daging, disajikan dengan kailan krispi dan sambal pedas yang nagih.
Ayam Geprek Rempah dilengkapi dengan kailan crispy dan sambal pedas yang nagih. (Sumber: Dokumentasi penulis | Foto: Firqotu Naajiyah)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 18:07 WIB

Wali Kota Farhan, Mengapa Respons Call Center Aduan Warga Bandung Lambat Sekali?

Warga Bandung mengeluh, Call Center Pemkot lambat merespons.
Gambaran warga yang menunjukkan rasa frustasi mereka saat menunggu jawaban dari Call Center Pemkot Bandung yang tak kunjung direspons. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 17:46 WIB

Nasib Naas Warga Sekitar Podomoro Park, Banjir Kiriman Jadi Rutinitas Musim Hujan

Pembangunan Podomoro Park yang selalu memberikan dampak negatif dan tidak memprihatinkan kenyamanan lingkungan penduduk sekitar.
Genangan air, imbas dari tidak adanya irigasi yang lancar (14/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Shafwan Harits A.)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 17:30 WIB

Seharusnya Ada Peran Wali Kota Bandung: Warga Harus Nyaman, Konvoi Bobotoh Tetap Berjalan

Kemenangan persib bandung selalu memicu euforia besar di kalamgan masyarakat Jawa Barat terjadi setiap persib meraih juara.
Ribuan bobotoh memenuhi ruas jalan Bandung saat merayakan kemenangan Persib Bandung pada Minggu sore, 25 Mei 2025. (foto: Della Titya)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 16:32 WIB

Pungutan Liar Menjadi Cerminan Buruknya Tata Kelola Ruang Publik Bandung

Pungutan liar yang masih terjadi di berbagai ruang publik Bandung tidak hanya menimbulkan keresahan.
Parkir liar yang tidak dibatasi menimbulkan kemacetan di Jln. Braga, Kec. Sumur Bandung, Kota Bandung, Minggu (5/12/2025) (Foto: Zivaluna Wicaksono)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 16:12 WIB

Nasi Kulit di Cibiru, Harga dan Rasa yang bikin Semringah

Kuliner baru di daerah Cipadung yang cocok untuk mahasiswa, menyajikan makan berat yang enak namun dengan harga yang murah dan ramah di dompet
foto nasi kulit Jatinangor (Sumber: Camera HP | Foto: Alfi Syah)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 15:44 WIB

Sensasi Makan Lesehan di Al Jazeerah Signature Bandung

Al Jazeerah Signature Bandung menawarkan sensasi makan lesehan dengan sajian Kabsah Lamb khas Timur Tengah.
Dua porsi Kabsah Lamb di Al Jazeerah Signature Bandung. (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Seli Siti Amaliah Putri)
Beranda 16 Des 2025, 15:18 WIB

Antara Urusan Rumah dan Lapak, Beban Ganda Perempuan di Pasar Kosambi

Beban ganda justru menuntut perempuan untuk terus bekerja di luar rumah, sekaligus memikul hampir seluruh pekerjaan domestik.
Punya beban ganda, perempuan pekerja menjadi pahlawan ekonomi sekaligus pengelola rumah tangga. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Ayo Jelajah 16 Des 2025, 15:11 WIB

Sejarah UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Riwayat Panjang di Balik Ramainya Cibiru

UIN Sunan Gunung Djati Bandung lahir dari keterbatasan lalu berkembang menjadi kampus Islam negeri terbesar di Jawa Barat.
UIN Sunan Gunung Djati Bandung. (Sumber: uinsgd.ac.id)
Ayo Jelajah 16 Des 2025, 15:05 WIB

Wayang Windu Panenjoan, Tamasya Panas Bumi Zaman Hindia Belanda

Jauh sebelum viral Wayang Windu Panenjoan dikenal sebagai destinasi kolonial yang memadukan bahaya keindahan dan rasa penasaran.
Wayang Windu Panenjoan. (Sumber: Tiktok @wayangwindupanenjoan)
Beranda 16 Des 2025, 14:57 WIB

Seni Lukis Jalanan di Braga Hidupkan Sejarah dan Ruang Publik Kota Bandung

Beragam tema dihadirkan, mulai dari potret tokoh terkenal hingga karya abstraksi penuh warna, yang terpampang di dinding-dinding bangunan sepanjang jalan
Ian seorang pelukis lokal dan karya lukisannya yang dipajang di trotoar Jalan Braga. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Toni Hermawan)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 12:57 WIB

Kang Ripaldi, Sosok di Balik Gratisnya Komunitas 'Teman Bicara'

Ripaldi, founder teman bicara yang didirikannya secara gratis untuk mewadahi anak muda yang ingin berlatih public speaking, mc wedding, mc event, mc birthday, hingga voice over secara gratis.
Ripaldi Endikat founder Teman Bicara (Sumber: Instagram Ripaldi Endikat | Foto: Tim Endikat Teman Bicara)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 12:04 WIB

Dari Hobi Menggambar Jadi Brand Fasion Lokal di Bandung

Bringace adalah merek fesyen lokal yang didirikan di Bandung pada tahun 2023.
 T-Shirt "The Unforgotten" dari Bringace. (Istimewa)
Ayo Jelajah 16 Des 2025, 10:07 WIB

Sejarah Universitas Padjadjaran, Lahirnya Kawah Cendikia di Tanah Sunda

Sejarah Universitas Padjadjaran bermula dari tekad Jawa Barat memiliki universitas negeri sendiri di tengah keterbatasan awal kemerdekaan.
Gedung Rektorat Universitas Padjadjaran. (Sumber: Wikimedia)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 09:36 WIB

Dari Panggung Gigs ke Aksi Sosial di Flower City Festival 2025

Flower City Festival (FCF) 2025 sukses mengumpulkan dana senilai Rp56.746.500 untuk korban bencana di Sumatera.
Suasana Flower City Festival 2025 di Kopiluvium, Kiara Artha Park, Bandung (11/12/2025) (Sumber: Dokumentasi panitia FCF 2025 | Foto: ujjacomebackbdg)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 09:10 WIB

Berjualan di Trotoar, PKL Caringin Menginginkan Ruang Publik dari Wali Kota Bandung

PKL di Caringin yang berjualan di trotoar berharap ada penataan agar mereka bisa berjualan lebih tertib.
Sejumlah pedagang kaki lima yang tetap berjualan meski hujan di malam hari di kawasan Caringin 30-11-2025 (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Raifan Firdaus Al Farghani)
Beranda 16 Des 2025, 07:38 WIB

Suara Perempuan di Garis Depan Perlawanan yang Disisihkan Narasi Kebijakan

Dari cerita personal hingga analisis struktural, diskusi ini membuka kembali pertanyaan mendasar: pembangunan untuk siapa dan dengan harga apa.
Suasan diskusi buku “Pembangunan Untuk Siapa: Kisah Perempuan di Kampung Kami” Minggu (14/12) di perpustaakan Bunga di Tembok, Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Beranda 15 Des 2025, 21:18 WIB

Tanda Kerusakan Alam di Kabupaten Bandung Semakin Kritis, Bencana Alam Meluas

Seperti halnya banjir bandang di Sumatera, kondisi alam di wilayah Kabupaten Bandung menunjukkan tanda-tanda kerusakan serius.
Warga di lokasi bencana sedang membantu mencari korban tertimbun longsor di Arjasari, Kabupaten Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 20:05 WIB

Tahun 2000-an, Palasari Destinasi 'Kencan Intelektual' Mahasiswa Bandung

Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung.
 Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Farisi)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 19:25 WIB

Benang Kusut Kota Bandung: Penataan Kabel Tak Bisa Lagi Ditunda

Kabel semrawut di berbagai sudut Kota Bandung merusak estetika kota dan membahayakan warga.
Kabel-kabel yang menggantung tak beraturan di Jl. Katapang, Lengkong, Kota Bandung, pada Rabu (03/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Masayu K.)