Jatinangor. (Sumber: sumedangkab.go.id)

Ayo Jelajah

Sejarah Jatinangor, Perkebunan Kolonial yang jadi Pabrik Sarjana di Timur Bandung

Jumat 19 Des 2025, 19:15 WIB

AYOBANDUNG.ID - Jatinangor hari ini identik dengan mahasiswa, kos-kosan berderet, dan lalu lintas yang kadang lebih padat dari jadwal UTS. Kecamatan di timur Bandung ini seolah ditakdirkan sebagai ruang singgah kaum muda yang sedang mengejar masa depan. Namun sebelum dipenuhi jaket almamater aneka warna, Jatinangor adalah lanskap sunyi: kebun, buruh, dan lonceng yang menentukan jam kerja. Sejarah Jatinangor bergerak pelan tapi pasti, dari wilayah eksploitasi kolonial menuju pusat produksi pengetahuan.

Secara administratif, Jatinangor merupakan kecamatan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Luasnya tak kecil, membentang dari kaki Gunung Manglayang hingga kawasan yang kini menjadi simpul pendidikan tinggi. Nama Jatinangor sendiri baru resmi digunakan pada awal 2000-an. Sebelumnya, wilayah ini dikenal sebagai Kecamatan Cikeruh, mengikuti nama sungai yang mengalir melintasinya. Perubahan nama ini bukan sekadar kosmetik, melainkan penanda pergeseran identitas kawasan.

Jejak asal-usul nama Jatinangor punya beberapa versi yang hidup di masyarakat. Ada yang menyebut kata “jati” merujuk pada pohon jati putih yang dahulu tumbuh di kawasan Kiarapayung, dipadukan dengan “nangor” yang berarti muda atau belum masak. Ada pula tafsir yang menyebut “nangor” sebagai posisi tanah yang menurun. Menariknya, kawasan ini justru lebih dikenal sebagai habitat pohon karet dan teh ketimbang jati. Bisa jadi, pada masa lalu, semua pohon keras dianggap jati—sebuah penyederhanaan yang lazim terjadi ketika ilmu botani belum jadi kebutuhan hidup.

Baca Juga: Hikayat Ledeng Bandung, Jejak Keselip Lidah di Kawasan Kota Pipa Kolonial

Dari Kebun Kolonial ke Rel Kereta

Sejarah modern Jatinangor bermula pada pertengahan abad ke-19, tepatnya tahun 1841, ketika sebuah perusahaan swasta Belanda bernama Maatschappij tot Exploitatie der Baud-Landen menguasai wilayah ini. Lahan yang dikelola mencapai ratusan hektare, membentang dari kawasan yang kini ditempati IPDN hingga lereng Manglayang. Pemiliknya, Willem Abraham Baud, dikenal masyarakat setempat sebagai Baron Baud—sosok pengusaha yang lebih akrab lewat jejak kebunnya ketimbang riwayat hidupnya.

Pada mulanya, teh menjadi komoditas utama perkebunan Jatinangor. Namun seiring perubahan pasar, karet mengambil alih peran utama. Perkebunan ini bukan aset tunggal; jaringan kebun Baud juga tersebar di Ciumbuleuit, Garut, hingga Bogor. Jatinangor hanyalah satu mata rantai dalam mesin besar ekonomi kolonial yang berputar tanpa banyak mempertimbangkan nasib buruh.

Untuk mengatur ritme kerja, Baron Baud membangun sebuah menara lonceng—kini dikenal sebagai Menara Loji. Lonceng di puncaknya dibunyikan tiga kali sehari, menjadi penanda waktu kerja bagi buruh kebun. Menara ini masih berdiri hingga kini di kawasan kampus ITB Jatinangor, meski loncengnya sudah lama raib sejak 1980-an. Ia menjadi saksi bisu dari masa ketika waktu kerja ditentukan bukan oleh jam tangan, melainkan bunyi logam dari ketinggian.

Jembatan Cijapati. (Sumber: KITLV

Kebutuhan distribusi hasil kebun mendorong pembangunan infrastruktur transportasi. Pada 1916, jalur kereta api Rancaekek–Tanjungsari mulai dirancang. Awalnya, rel ini hanya dimaksudkan untuk mengangkut hasil perkebunan. Namun kepentingan militer dan publik membuat jalurnya diperpanjang. Medan yang sulit dan biaya yang membengkak membuat rel hanya berakhir di Tanjungsari, tak pernah mencapai Citali seperti rencana awal.

Baca Juga: Jejak Sejarah Cimahi jadi Pusat Tentara Hindia Belanda Sejak 1896

Jalur ini resmi beroperasi pada 1921, lengkap dengan Jembatan Cincin yang melintasi Sungai Cikuda. Kereta yang melintas dijuluki Si Gobar oleh warga. Bagi masyarakat setempat, kereta bukan sekadar alat angkut, melainkan simbol keterhubungan Jatinangor dengan dunia luar.

Semua itu berhenti mendadak pada 1942, saat Jepang menduduki Hindia Belanda. Perkebunan terbengkalai, produksi berhenti, dan buruh dipaksa menjadi romusha atau dialihkan ke sektor lain. Rel kereta api pun dibongkar untuk kepentingan perang. Stasiun Tanjungsari mati suri sejak saat itu, tak pernah benar-benar hidup kembali.

Jadi Kota Sarjana

Pasca kemerdekaan, perkebunan Jatinangor sempat dihidupkan kembali dan berada di bawah pengelolaan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Namun memasuki era Orde Baru, fungsi lahan mulai berubah. Melalui keputusan gubernur pada 1987, ribuan hektare lahan dialokasikan untuk berbagai peruntukan, termasuk pendidikan. Di sinilah arah baru Jatinangor mulai terbentuk.

Baca Juga: Sejarah Universitas Padjadjaran, Lahirnya Kawah Cendikia di Tanah Sunda

Universitas Padjadjaran menjadi motor utama transformasi ini. Berdiri sejak 1957, Unpad lama tersebar di berbagai lokasi di Bandung. Kondisi itu menyulitkan pengelolaan kampus. Gagasan membangun satu kawasan terpadu muncul pada akhir 1970-an, terinspirasi dari konsep kota akademik di Jepang. Jatinangor dipilih karena lahannya luas dan relatif dekat dengan Bandung.

Pemindahan kampus berlangsung bertahap. Fakultas Pertanian menjadi pionir pada 1983. Fakultas lain menyusul perlahan, hingga akhirnya pada 2012, gedung rektorat resmi pindah ke Jatinangor. Peristiwa ini menegaskan bahwa pusat gravitasi Unpad telah bergeser sepenuhnya.

Kehadiran Unpad menarik institusi lain. IPDN, IKOPIN, dan Universitas Winaya Mukti mulai menempati kawasan ini sejak akhir 1980-an dan awal 1990-an. Pada 1989, Jatinangor ditetapkan sebagai Kawasan Perguruan Tinggi, lalu meningkat statusnya menjadi Kawasan Strategis Provinsi Pendidikan pada 2010. ITB ikut bergabung dengan membuka kampus yang berfokus pada life sciences.

Perlahan, wajah Jatinangor berubah total. Lahan kebun digantikan gedung perkuliahan. Rumah buruh bergeser menjadi kos mahasiswa. Warung kopi, fotokopian, dan laundry tumbuh subur mengikuti denyut akademik. Jatinangor menjelma menjadi kampung mahasiswa dalam skala besar.

Tapi perubahan cepat ini juga membawa persoalan: kemacetan, tekanan lingkungan, hingga tata ruang yang kerap tertinggal dari laju pembangunan. Di tengah hiruk-pikuk itu, sisa-sisa sejarah masih bertahan. Menara Loji, Jembatan Cincin, dan jejak rel tua menjadi pengingat bahwa Jatinangor pernah hidup dalam ritme yang sangat berbeda.

Baca Juga: Jejak Sejarah Bandung Dijuluki Kota Kembang, Warisan Kongres Gula 1899

Dari kebun kolonial hingga kota akademik, sejarah Jatinangor adalah kisah tentang perubahan fungsi ruang dan makna pembangunan. Ia mengajarkan bahwa sebuah wilayah bisa berganti wajah berkali-kali, selama ada visi dan keberanian untuk mengubah arah. Hari ini, Jatinangor bukan lagi ladang karet, melainkan ladang harapan—tempat ribuan anak muda belajar, gagal, bangkit, dan merancang masa depan.

Tags:
JatinangorSumedangSejarah

Hengky Sulaksono

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor