AYOBANDUNG.ID - Saban masuk Desember, pohon cemara mendadak naik pangkat. Dari flora biasa di dataran tnggi pegunungan, ia berubah menjadi pusat perhatian ruang tamu, lobi hotel, hingga pusat perbelanjaan. Lampu dipasang, ornamen digantung, dan hadiah ditumpuk di bawahnya. Pohon Natal hari ini tampak seperti simbol yang sudah final, mapan, dan tak terbantahkan. Padahal, perjalanan sejarahnya panjang, berlapis, dan penuh belokan budaya yang tak selalu rapi.
Jauh sebelum kalender Masehi diperkenalkan, manusia sudah memberi makna khusus pada tanaman hijau yang tidak gugur di musim dingin. Sekitar 2000 tahun sebelum Masehi, bangsa Mesir Kuno menggunakan daun palem hijau dalam ritual penghormatan kepada Ra, dewa matahari, sebagai simbol kemenangan kehidupan atas kematian. Di Roma Kuno, sejak abad ke-2 sebelum Masehi, festival Saturnalia yang berlangsung setiap 17–23 Desember dirayakan dengan menghias kuil dan rumah menggunakan ranting hijau, menandai harapan akan kembalinya musim tanam.
Di Eropa Utara, masyarakat Nordik dan Celtic pada periode pra-Kristen sekitar abad ke-1 hingga ke-8 menganggap cemara dan pinus sebagai tanaman pelindung spiritual. Cabang-cabangnya digantung di pintu rumah untuk menghalau roh jahat selama malam-malam terpanjang dalam setahun. Pada perayaan titik balik matahari musim dingin, sekitar 21 atau 22 Desember, tanaman hijau dibawa masuk ke rumah sebagai simbol bahwa kehidupan tidak pernah benar-benar mati, meski alam tampak membeku.
Baca Juga: Sejarah Gereja Santo Petrus, Katedral Tertua di Bandung
Tradisi membawa tanaman hijau ke dalam ruang domestik ini menjadi fondasi budaya yang kelak memudahkan cemara “beradaptasi” dengan perayaan Natal. Ketika Kekristenan menyebar luas di Eropa antara abad ke-4 hingga ke-10, praktik lama tidak sepenuhnya dihapus, melainkan diberi makna baru.
Dari Pohon Surga Abad Pertengahan ke Ruang Tamu Modern
Jejak paling awal pohon Natal dalam bentuk yang mendekati versi modern muncul di wilayah Jerman pada Abad Pertengahan. Sekitar abad ke-14 dan ke-15, gereja-gereja di kawasan ini rutin menggelar drama religius menjelang 24 Desember. Dalam pementasan kisah Adam dan Hawa, sebuah pohon cemara digunakan sebagai properti utama untuk melambangkan Taman Eden. Pohon ini dikenal sebagai paradise tree dan dihiasi apel merah sebagai simbol buah terlarang.
Tanggal 24 Desember dipilih bukan tanpa alasan. Dalam kalender liturgi Kristen awal, hari tersebut diperingati sebagai hari Adam dan Hawa. Di masyarakat yang sebagian besar belum bisa membaca, pohon dengan apel merah menjadi alat visual yang efektif. Dari sinilah cemara mulai memperoleh peran simbolis yang lebih permanen.
Baca Juga: Sejarah Black Death, Wabah Kematian Perusak Tatanan Eropa Lama
Dokumentasi tertulis memperkuat cerita ini. Pada tahun 1510, catatan di Riga—kini ibu kota Latvia, saat itu bagian dari wilayah budaya Jerman—menyebutkan sebuah pohon yang dihias dan dipamerkan oleh serikat pedagang sebelum akhirnya dibakar sebagai bagian dari perayaan. Pada tahun 1539, Katedral Strasbourg mencatat penggunaan pohon Natal, meski masih tanpa hiasan. Bahkan, pada akhir abad ke-16, otoritas lokal di wilayah Alsace mengatur tinggi maksimal pohon Natal sekitar delapan Schuh atau sekitar 120 sentimeter, agar tidak berlebihan.

Catatan paling terkenal berasal dari tahun 1605, juga di Strasbourg, yang menggambarkan pohon Natal dihiasi apel, mawar kertas, dan permen. Pada periode yang sama, tradisi Christmas pyramid—struktur kayu berbentuk segitiga bertingkat—berkembang di Jerman Timur. Sekitar abad ke-16, kedua tradisi ini melebur, menghasilkan bentuk pohon Natal yang kita kenal: cemara tegak, berhias, dan bercahaya.
Legenda Martin Luther sering ditempatkan di sekitar tahun 1536, ketika tokoh Reformasi Protestan itu disebut terinspirasi oleh cahaya bintang di antara ranting cemara dan menghias pohon dengan lilin. Namun, bukti historis menunjukkan bahwa penggunaan lilin secara luas baru tercatat pada abad ke-17 dan ke-18. Meski begitu, cerita tersebut telanjur hidup dan ikut memperkaya mitologi Natal.
Baca Juga: Sejarah Letusan Krakatau 1883, Kiamat Kecil yang Guncang Iklim Bumi
Pohon Natal mulai menyebar ke luar Jerman pada akhir abad ke-18. Di Inggris, catatan tentang pohon Natal muncul pada 1790-an melalui Ratu Charlotte, istri Raja George III, yang lahir di Mecklenburg-Strelitz, Jerman. Namun, popularitas massal baru meledak setelah tahun 1848, ketika sebuah ilustrasi keluarga Ratu Victoria dan Pangeran Albert di sekitar pohon Natal dipublikasikan luas. Dalam waktu kurang dari satu dekade, pohon Natal menjadi bagian dari budaya rumah tangga kelas menengah Inggris.
Amerika Serikat memiliki perjalanan yang lebih berliku. Komunitas Moravia Jerman di Bethlehem, Pennsylvania, tercatat mendirikan pohon Natal pada tahun 1747. Namun, hingga awal abad ke-19, tradisi ini ditentang keras oleh kalangan Puritan. Bahkan, Undang-Undang Massachusetts tahun 1659 secara eksplisit melarang perayaan Natal. Baru pada 1840-an, seiring gelombang imigrasi Jerman dan perubahan selera budaya, pohon Natal mulai diterima luas. Pada tahun 1851, Mark Carr menjual pohon Natal komersial pertama di New York, menandai lahirnya industri musiman baru.
Revolusi berikutnya datang dari teknologi. Pada 1882, Edward H. Johnson memasang rangkaian 80 lampu listrik berwarna merah, putih, dan biru di pohon Natal rumahnya di New York. Inovasi ini mahal dan eksklusif hingga awal abad ke-20, tetapi perlahan mengakhiri era lilin yang rawan kebakaran. Produksi massal lampu listrik setelah 1900 membuat pohon Natal menyala lebih aman dan lebih lama.
Kekhawatiran lingkungan memunculkan alternatif baru. Pada 1883, Sears, Roebuck & Company mulai menjual pohon Natal buatan dari bulu angsa. Pada 1901, W.V. McGalliard menanam sekitar 25.000 pohon cemara di New Jersey, membuka jalan bagi perkebunan pohon Natal berkelanjutan. Di sisi lain, pohon buatan dari aluminium dan plastik mendominasi pasar pada 1950-an hingga 1960-an.
Ironisnya, Gereja Katolik baru secara resmi mengadopsi pohon Natal Vatikan pada tahun 1982, di bawah Paus Yohanes Paulus II—hampir lima abad setelah tradisi ini mapan di kalangan Lutheran Jerman.
Baca Juga: Serdadu Cicalengka di Teluk Tokyo, Saksi Sejarah Kekalahan Jepang di Perang Dunia II
Kini, pohon Natal berdiri di hampir setiap belahan dunia, dari Eropa hingga Asia Timur, dari Amerika hingga negara tropis yang tak pernah mengenal salju. Ia bisa religius, bisa sekuler, bisa juga sekadar dekorasi. Namun satu hal tetap sama sejak ribuan tahun lalu: cemara selalu dipanggil saat manusia ingin merayakan cahaya di tengah gelap.
Pohon Natal bukan sekadar produk tradisi Kristen, melainkan hasil panjang pertemuan ritual kuno, teater abad pertengahan, teknologi modern, dan selera populer. Setiap Desember, ketika cemara kembali berdiri dan lampu dinyalakan, manusia sebenarnya sedang mengulang kebiasaan tua dengan bahasa zaman baru—meyakini, sekali lagi, bahwa musim dingin pasti berlalu.