Kita masih dalam suasana dirgahayu Indonesia yang ke-80.
Setiap tahun menjelang 17 Agustus masyarakat Indonesia dengan antusias selalu merayakan kemerdekaan Indonesia yang telah diperjuangkan oleh nenek moyang. Jalanan hingga gang-gang kecil tak luput dari berbagai dekorasi yang menguras kreativitas. Berbagai macam lomba dihadirkan untuk memeriahkan semarak semangat kemerdekaan.
Meski demikian nyatanya kemerdekaan masih berbentuk sebuah kata yang justru memiliki makna sebaliknya. Betul secara hukum Indonesia sudah merdeka tapi apakah kata tersebut sudah terejawantahkan dari realita sosial yang ada.
Pada realitasnya keadilan masih bisa dibeli dengan uang, hukum masih sangat tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Akses kesehatan dan pendidikan belum sepenuhnya merata. Kota-kota besar dengan berbagai macam problematiknya. Lautan pengangguran, tingginya angka krimininalitas, maraknya judol dan pinjol, kemacetan yang tiap tahun terus bertambah, hingga banjir sudah meluas kemana-mana.
Sementara di ujung Indonesia Timur yang justru sering kali tak terlihat dan terabaikan, memiliki keresahan yang sama tentang makna kemerdekaan. Sebetulnya secara perekonomian masyarakat di sana sangat terbantu dengan segala fasilitas yang sudah Tuhan ciptakan.
Laut menghasilkan ikan yang bisa di makan atau di jual, tanah yang subur menumbuhkan berbagai jenis tanaman yang berkhasiat. Ladang yang besar bisa menjadi pertanian dan perkebunan. Tanpa pemerintah harus susah payah menganggarkan dana bansos, Indonesia Timur sudah bisa menghidupi dirinya dengan pemberian alam. Tapi nampaknya para penguasaha masih tak puas dan selalu berusaha merampas yang ada di depan mata.
Meski demikian akses pendidikan, kesehatan dan infrastruktur belum sepenuhnya bisa mereka dapatkan.
Namun lewat liputan media, buku-buku karya fiksi atau non fiksi yang ditulis untuk menggambarkan masyarakat Timur selalu membuat saya terkagum. Mereka benar-benar berterimakasih kepada alam yang sudah memberikan kehidupan dengan cara menjaga dan melestarikannya.
Mereka selalu konsisten dengan janji dan rasa cinta terhadap bumi dan tanah yang dipijaknya. Mereka masyarakat revolusioner yang tidak hanya berpikir hidup untuk saat ini tapi jauh untuk kehidupan para anak dan cucu di masa depan.
Seringkali terdengar beberapa Indonesia bagian Timur diruksak oleh kegiatan pemerintah atau perusahaan yang berorientasi pada keuntungan semata. Mengatasnamakan pembangunan dan kesejahteraan rakyat, bumi digagahi dengan pengerukan emas, nikel dan berbagai hasil bumi yang menghasilkan pundi-pundi kekayaan.
Begitu juga dengan tanah Sangihe, sebuah pulau yang terletak di provinsi Sulawesi Utara pernah menjadi hura-hara akan pengrusakan yang dibuat oleh salah satu perusahaan tambang sejak 2021.
Sebuah buku yang berjudul "Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut" terinspirasi oleh perjuangan Save Sangihe Island ini bagi saya bukan sekedar cerita. Beberapa karya fiksi selalu berangkat dari realitas sosial yang ada. Fiksi menjadi bentuk nyata untuk menyampaikan aspirasi perihal ketidakadilan dan kebebasan yang seringkali dibungkam dalam kehidupan nyata.
Bahkan Dian Purnomo dalam menulis novel ke-10 tersebut tidak lepas dari sosok inspiratif masyarakat Sangir yang tinggal di pulau Sangihe. Penulis mengaku menjadi orang yang paling beruntung karena berkesempatan tinggal dan menjalankan tugas dari perusahaannya di pulau tersebut. Penulis diperkenalkan pada jiwa-jiwa yang jujur, sederhana, memahami makna "cukup", ramah, suka menolong, tidak menginginkan yang bukan miliknya dan mencintai seni.
Seperti beberapa novel yang pernah saya baca perihal isu yang berhubungan dengan kerusakan lingkungan oleh aktivitas tambang, misalnya saja karya Tere Liye " Teruslah Bodoh Jangan Pintar, karya Okky Madasari dalam rangkaian novel berjudul "Mata" dan beberapa karya Dian Purnomo memiliki benang merah yang sama. Betapa masyarakat Timur masih bergulat dengan makna kemerdekaan yang bisa kapan saja dirampas haknya oleh segelintir orang yang berkepentingan.
Untuk mencapai sebuah kemerdekaan tentu dibutuhkan sosok pemberani, memiliki strategi yang cerdas, semangat dan daya juang yang tinggi serta memiliki rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Sikap di atas tercermin pada sebuah karakter perempuan bernama Shalom.
Shalom Mawira seorang anak perempuan pertama dari ayahnya. Perempuan yang selalu menunggu kepulangan ayahnya yang hilang ditelan ganasnya laut. Shalom selalu berusaha menjaga Sangihe dan merawat lorong-lorong menuju laut agar ayahnya bisa menemukan jalan pulang.
Sahinge pulau subur yang sudah banyak memberikan kehidupan bagi masyarakatnya, terancam akan rusak oleh besi-besi excavator. Jauh sebelum kekayaan emas di perut bumi Sahinge terendus oleh pemerintahan, beberapa oknum masyarakat yang terbuai akan kekayaan tersebut sempat melakukan penambangan ilegal secara mandiri. Hasil tambang tersebut memang menghasilkan rumah-rumah megah dan gaya hidup hedon yang berjalan hanya sesaat.
Keseimbangan alam yang terganggu tentu bisa saja mengundang bencana datang tanpa aba-aba. Begitu juga dengan tanah bekas galian mengundang banjir bandang yang tidak hanya meluluhlantahkan rumah yang ada tapi jiwa-jiwa dalam setiap keluarga yang menempati rumah tersebut.
Pada akhirnya kekayaan menghilang dalam sekejap dan orang-orang tercinta menjadi tumbal dari keserakahan manusia yang ada. Dibutuhkan puluhan hingga ratusan tahun bagi alam untuk kembali pulih. Sangat tidak setimpal dengan kerusakan yang sudah diperbuat manusia dengan kepuasan sesaat.
Shalom adalah gambaran pejuang yang berani mempertahankan tanah airnya dengan segala kemampuannya. Shalom seperti bait puisi Widji Thukul yang mengatakan untuk tidak menghamba pada ketakutan dan memperpanjang barisan perbudakan.
Perjuangan Shalom dan masyarakat Sangir sangat tidak mudah. Demi memperjuangkan tanah kelahirannya dia harus mendekam dibalik teralis besi untuk alasan yang tidak jelas. Memperjuangkan keadilan yang menyangut hajat hidup orang banyak berubah menjadi sebuah penghakiman akan pemberontakan terhadap pemerintahan.
Bahkan para aparat negara yang seharusnya menjadi pengayom bagi masyarakat. Dalam novel ini tergambar bahwa merekalah yang justru menjadi pengabdi yang paling setia bagi penguasa. Di atas sebuah kertas peraturan konon digunakan untuk menegakkan hukum demi melindungi mereka yang lemah, menertibkan bangsa, menjaga kelestarian alam dan berjuta tujuan mulia lainnya.
Baca Juga: Benjang Masih Jadi Primadona di Pesta HUT RI ke-80
Tapi sayangnya di lapangan justru beberapa para pembuat peraturan itu bekerja sama dengan para pelaku kejahatan untuk melanggar peraturan yang mereka buat sendiri.
Realitas menunjukkan kerusakan tidak hanya terjadi di negeri ini tapi diseluruh titik yang memiliki tambang di muka bumi.
Pencemaran teluk Pt. Newmont di Minahasa Raya menyebabkan kasus keracunan logam berat seperti arsenik dan merkuri. Keracunan ini menyebabkan masyarakat sekitar terdampak gangguan kulit, masalah syaraf dan munculnya benjolan pada tubuh. Kemudian pencemaran sungai oleh Pt. Freepot di Papua sudah menghasilkan paradoks yang besar, di satu sisi sebagai penyumbang devisa bagi negara tapi taruhannya kerusakan ekologi yang luar biasa.
Pencemaran Teluk Weda di Maluku Utara juga telah mengganggu aktivitas masyarakat setempat yang menggantungkan kebutuhan air sungai sebagai air minum. Selanjutnya pencemaran laut di Bangka Belitung, pulau yang keindahannya bisa mengundang berbagai macam pelancong dari lokal maupun internasional. Kini sudah menjadi padang yang rusak akibat penambangan timah baik yang dilakukan secara legal atau ilegal.
Berita terbaru muncul dari aktivitas tambang yang hampir mengancam kehidupan biota laut di kawasan raja ampat. Greenpeace sebagai salah satu aktivis lingkungan berperan cukup besar untuk memberitahu kepada dunia akan potensi kerusakan jika aktivitas tambang tidak segera diberhentikan.
Aksi tersebut membuat beberapa izin operasional tambang berhasil dicabut, meski demikian kekhawatiran tetap tampak nyata karena perusahaan terbesar disinyalir masih diperbolehkan beroperasi dengan dalih pengawasan dari pihak pemerintahan.
Melalui buku ini makna kemerdekaan bagi Indonesia Timur adalah "Negeri kita belum merdeka". Penjajahan sesungguhnya belum berakhir, ia hanya terus-menerus berganti topeng. Jika dahulu pahlawan berperang untuk memperjuangkan kemerdekaan dari penjajah yang merampas kekayaan Indonesia.
Maka pahlawan-pahlawan di Indonesia bagian Timur sedang berjuang melawan penjajah yang sengaja diundang masuk ke tanah mereka. Penjajah yang datang kali ini bukan membawa senjata yang akan melukai kulit tapi berniat melubangi dan merampas perut bumi.
Ironisnya negara ini justru menggelar karpet merah dan menyambut para penjajah yang datang penuh arogan. (*)