Publik Jawa Barat dikejutkan unggahan IG Sekretaris Daerah Jawa Barat, Herman Suryatman, yang menyebut hasil survei akan kepuasan pada kinerja Gubernur Kang Dedi Mulyadi/KDM mencapai hampir seratus persen (97,2%).
Klaim ini beredar luas di media sosial, namun segera terbantahkan setelah publik meneliti hasil resmi yang merilis survei: Harian Kompas bagian Litbang.
Data yang ada menunjukkan, angka kepuasan terhadap Gubernur hanya berada di angka 77,9 persen. Selisih hampir dua puluh persen ini bukanlah hal sepele. Ia sudah menyesatkan masyarakat dan menurunkan kredibilitas pemerintah provinsi.
Dalam komunikasi publik, akurasi adalah fondasi. Apa pun motif di balik klaim yang dilebih lebihkan, baik itu untuk menunjukkan loyalitas, menyenangkan atasan, atau sekadar ingin dipuji, hasil akhirnya sama, yaitu melemahkan kepercayaan publik.
Komunikasi pemimpin tidak bisa diperlakukan seperti jargon iklan. Setiap kata memiliki dampak pada legitimasi kebijakan dan stabilitas sosial. Ketika publik mendapati adanya perbedaan antara data resmi dan klaim pejabat, muncul rasa curiga yang justru merusak kepercayaan yang susah payah dibangun. Sejarah komunikasi politik Indonesia memberi banyak pelajaran.
Di masa Orde Baru, misalnya, narasi pembangunan selalu dibungkus angka keberhasilan yang mendekati sempurna. Namun di balik klaim yang bombastis, masyarakat menemukan kenyataan yang jauh berbeda.
Hasilnya, masyarakat menjadi apatis terhadap setiap informasi resmi. Apatisme inilah yang berbahaya, karena publik akhirnya berhenti percaya pada pemerintah, bahkan ketika informasi yang disampaikan benar adanya.
Hari ini, pola serupa berisiko berulang di Jawa Barat. Klaim bahwa seorang gubernur mendapatkan dukungan hampir seratus persen bisa memicu dua hal.
Pertama, memunculkan euforia berlebihan yang membuat birokrasi kehilangan sikap kritis.
Kedua, menciptakan jurang antara pemerintah dan rakyat karena publik merasa diremehkan oleh informasi yang tidak sesuai kenyataan.
Jika kondisi ini terus berlangsung, yang muncul adalah politik ilusi. Pemimpin lebih sibuk menjaga pencitraan ketimbang menghadirkan kinerja nyata. Literatur akademik pun menegaskan bahaya komunikasi politik yang tidak jujur.
Lasser dan kolega (2022) dalam From alternative conceptions of honesty to alternative facts in communications by U.S. politicians menunjukkan, ketika pemimpin mengganti kebenaran dengan klaim subjektif, kualitas demokrasi merosot. Masyarakat kehilangan pegangan pada fakta dan justru hidup dalam kabut ilusi.
Studi tersebut memperingatkan bahwa kejujuran bukan sekadar moral pribadi, tetapi fondasi dari keberlangsungan komunikasi publik yang sehat. Dalam konteks Jawa Barat, kita harus belajar dari kasus ini.
Masyarakat Jawa Barat sejatinya masyarakat yang kritis, terbiasa dengan tradisi diskusi, musyawarah, dan partisipasi aktif. Mereka tidak mudah dibohongi oleh angka yang dipelintir. Justru, mereka menuntut keterbukaan dan kehati hatian dalam komunikasi.
Tidak Turunkan Wibawa

Mengatakan angka sebenarnya, yaitu 77,9 persen, tidak akan menurunkan wibawa pemimpin. Sebaliknya, itu justru menunjukkan kedewasaan, kerendahan hati, dan komitmen terhadap kebenaran.
Fenomena klaim “nyaris seratus persen” adalah contoh klasik dari komunikasi yang terjebak fanatisme. Loyalitas kepada pemimpin seharusnya tidak ditunjukkan dengan memanipulasi angka, tetapi dengan bekerja sungguh sungguh memastikan program berjalan sesuai kebutuhan rakyat.
Fanatisme hanya menghasilkan kebohongan yang menutup mata terhadap kritik. Padahal kritik adalah bagian penting dari demokrasi. Pemimpin seharusnya menjaga gaya komunikasi yang moderat, tidak hiperbola, dan selalu berbasis data. Moderasi ini penting agar ruang publik tetap sehat.
Ketika pemimpin mulai terbiasa berlebihan, bawahan pun akan meniru gaya itu. Akhirnya, birokrasi berubah menjadi arena lomba pencitraan. Yang dikejar bukan lagi capaian nyata, melainkan narasi manis yang jauh dari kenyataan.
Kita tentu tidak ingin Jawa Barat jatuh dalam jebakan politik pencitraan. Provinsi dengan sejarah panjang gerakan masyarakat sipil ini layak memiliki gaya kepemimpinan yang terbuka dan jujur.
Gubernur dan pejabat publik harus menyadari bahwa setiap kata yang mereka ucapkan bukan sekadar retorika, melainkan pesan yang membentuk persepsi jutaan orang. Sekali terjebak pada kebiasaan menyampaikan informasi yang tidak akurat, sangat sulit mengembalikan kepercayaan yang hilang.
Lebih baik seorang pemimpin memilih diam namun bekerja, daripada sibuk berwacana tetapi meleset dari realisasi.
Lebih baik mengumumkan data apa adanya, daripada mengganti angka dengan klaim semu demi pujian sesaat. Diam yang penuh kerja nyata akan lebih dihargai rakyat dibanding retorika yang memabukkan. Ungkapan klasik “diam itu emas” menemukan relevansinya di sini. Ke depan, komunikasi publik di Jawa Barat harus diarahkan pada tiga hal utama.
Pertama, menjaga akurasi data yang disampaikan ke publik, sehingga setiap informasi dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, membangun budaya moderasi dalam tutur kata pejabat publik, agar narasi yang muncul tidak menciptakan ekspektasi palsu.
Ketiga, mengendalikan fanatisme politik yang sering membuat pejabat terjebak pada kebutuhan untuk selalu memuji atasan. Jika tiga hal ini dijaga, maka komunikasi publik Jawa Barat akan menjadi contoh bagi daerah lain.
Pada akhirnya, masyarakat tidak menuntut angka sempurna. Mereka hanya menuntut kejujuran. Klaim “hampir seratus persen” bukanlah kemenangan, melainkan kekalahan moral dalam komunikasi publik.
Pemimpin Jawa Barat akan lebih dihormati jika mampu berkata jujur, berpikir moderat, dan menolak terjebak dalam ilusi pencitraan. Semoga. (*)