Panggung politik kita biasanya menyajikan retorika teknokratis dan janji-janji reformasi jangka panjang atau sering disederhanakan dengan istilah “omon-omon” belaka. Lalu muncullah sosok dengan pendekatan yang jauh berbeda. Kang Dedi Mulyadi, alias KDM, sosok kharismatik yang tidak menawarkan cetak biru rumit tentang pembangunan. Ia menawarkan sesuatu yang jauh lebih konkret dan mendesak, yaitu solusi di tempat, orang sunda menyebutnya “pok torolong”.
Gaya kepemimpinannya yang turun langsung ke lapangan, menemui warga miskin, memediasi konflik antar kelompok masyarakat, hingga memberikan bantuan tunai meski dengan merogoh kantongnya sendiri menjadi ciri khas yang melekat padanya.
Hampir 5 bulan sudah sejak awal dilantik menjadi gubernur Jawa Barat, kontroversi atas kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Kang Dedi Mulyadi (KDM) tidak pernah berhenti setiap harinya. Datang banyak kritik dari para akademisi, pendekatan ini dianggap sebagai mimpi buruk tata kelola pemerintahan.
Para pengamat banyak melabeli KDM sebagai "populisme performatif", "narsistik-otokratis", dan hanya menawarkan solusi "tambal sulam" yang sama sekali tidak memperbaiki akar masalah dan hanya menyentuh permukaan saja. Pendekatan ini dinilai hanya mengobati gejala, bukan penyakitnya.
Namun dalam sudut pandang sebagian besar masyarakat jawa barat, gaya kepemimpinan inilah yang justru mereka dambakan. Terbukti dari survei yang secara konsisten menunjukkan tingkat kepuasan publik yang sangat tinggi terhadap kinerjanya.
Ketidaksinkronan persepsi masyarakat dan penilaian para pengamat, memunculkan pertanyaan baru dan menjadi PR besar bagi sistem birokrasi kita, siapa yang keliru disini? KDM atau sistemnya?
Hadirnya KDM sebagai “pemadam kebakaran” tidak bisa kita posisikan sebagai gimmick politik belaka. Ia lahir karena sistem yang menaunginya (birokrasi) seringkali berbelit dan lamban.
Bagi masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi maupun intelektual, pragmatisme KDM mungkin terlihat sebagai sebuah kemunduran. Namun, bagi rakyat jelata yang terhimpit kebutuhan mendesak, pendekatannya adalah harapan.
Logika sederhananya begini, warga yang rumahnya nyaris roboh tidak memiliki waktu untuk menunggu proses panjang pengajuan proposal bantuan rumah tidak layak huni (rutilahu).
Contoh lain yang lebih tragis dari fenomena kakunya birokrasi kita adalah yang terjadi baru-baru ini, kematian seorang warga ex-TKI di Bulukumba, Sulawesi Selatan, saat mengurus perekaman E-KTP untuk berobat di rumah sakit. Intinya sama, tidak semua orang punya waktu untuk menunggu birokrasi.
Tindakan langsung yang menyelesaikan permasalahan dipermukaan dan tidak dulu bicara pada perbaikan jangka panjang memang adalah hal yang dangkal. Namun perlu diingat dengan tingkat pendidikan yang rendah, dan ekonomi yang pas-pasan tidak semua masyarakat dapat memiliki “kemewahan” untuk menunggu reformasi sistemik yang berjalan lambat.
Memahami Gaya Kepemimpinan KDM

Mirip dengan citra awal yang dibangun Jokowi, KDM secara sadar memosisikan dirinya sebagai pemimpin yang "merakyat". Ia berusaha menunjukan kesan kepada publik, bahwa dia bukan orang tipe pemimpin yang diam duduk di singgahsana dan menunggu laporan datang ke atas mejanya.
Lugas dan humanis itulah gaya komunikasi yang ditonjolkan. Atribut ini delengkapi dengan tampilan visual yang membumi dengan ikat kepala Sunda, secara efektif meruntuhkan jarak antara pemimpin dan rakyat, menciptakan kesan “melebur” dengan rakyat.
Ia tidak menampilkan diri sebagai seorang birokrat, melainkan sebagai bagian dari masyarakat yang kebetulan memiliki kuasa dan sumber daya untuk bertindak cepat.
Upaya KDM konstruksi citranya di masyarakat terbukti efektif. Sebanyak 85,51 persen responden meyakini bahwa pendekatan langsung yang ia lakukan mampu mendorong lahirnya kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Data-data ini adalah wujud validasi publik terhadap metode kepemimpinan yang mengutamakan kecepatan serta hasil yang terlihat, yang dilakukan KDM.
Baca Juga: 10 Tulisan Terbaik AYO NETIZEN Juni 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta
Risiko Delegitimasi Institusi
Di balik citra merakyat dan popularitasnya, ada harga mahal yang harus dibayar. Pakar kebijakan publik memperingatkan bahwa gaya kepemimpinan "one-man show" berisiko melemahkan institusi pemerintahan.
Ketika KDM berulang kali melompati prosedur, ia secara tidak langsung mendelegitimasi birokrasi yang seharusnya juga ikut andil bertanggung jawab menjalankan roda pemerintahan bersamanya. Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seringkali hanya harus “terima jadi” terhadap keputusan pimpinannya Dalam jangka panjang hal ini menghambat tata kelola yang kolaboratif dan proaktif.
Beberapa kebijakannya yang kontroversial dan masih menjadi sorotan hingga saaat ini seperti mengirim siswa "bermasalah" ke barak militer atau mengusulkan vasektomi sebagai syarat bantuan sosial, banyak dikritik sebagai solusi simplistis yang koersif dan tidak etis, diterapkan tanpa kajian mendalam.
Kepemimpinan KDM kini menjadi sebuah paradoks. Ia adalah sosok pemimpin yang populer justru karena metode dan gaya kepemimpinannya yang banyak dikritik oleh para ahli. Serba salah memang, tapi kita juga harus menyadari bahwa gaya kepemimpinannya ini juga lahir akibat sistem birokrasi yang seringkali gagal merespons kebutuhan mendesak warganya.
Ini menjadi PR besar dalam melakukan reformasi birokrasi di negeri ini. Menjadi tugas kita bersama untuk memastikan sistem birokrasi kita kedepannya lebih responsif, manusiawi, tepat guna dan tepat sasaran. (*)
Tonton Video Terbaru dari Ayobandung: