Animasi Panji Tengkorak (Sumber: Instagram | Falconpicture)

Ayo Netizen

Panji Tengrorak, Animasi 2D Modern yang Mengangkat Budaya Lokal Indonesia

Senin 01 Sep 2025, 07:46 WIB

Panji tengkorak merupakan film animasi yang saya tunggu penayangannya dengan penuh antusias. Di hari pertama penayangannya pada Kamis, 28 Agustus 2025 tanpa ragu saya langsung membeli satu tiket di CGV.

Setelah Merah Putih One For All yang mengusung tema nasionalisme, kini Panji Tengkorak hadir dengan mengangkat silat sebagai warisan budaya lokal Indonesia.

Sebelum dibuat film, Panji Tengkorak dulunya adalah sebuah komik berseri yang hadir pada tahun 1968, lalu diterbitkan ulang pada tahun 1985 dan 1996.

Bahkan pada tahun 1971 sempat diangkat ke layar lebar dengan judul The Ghostly Face. Kini karakter tersebut dibangkitkan kembali dalam tayangan yang lebih segar melalui animasi 2D garapan Falcon Pictures.

Berbeda dengan Indonesia One For All yang digarap dalam debut beberapa bulan saja dengan satu orang yang memegang semua bagian, Panji Tengkorak melibat 250 animator profesional dalam pengerjaannya; dengan lebih dari tiga tahun proses pembuatan. Tak heran jika visualnya tidak asal-asalan.

Menonton Panji Tengkorak, mengingatkan saya pada film animasi garapan Nickelodeon berjudul Avatar The Legend of Aang yang tayang pada tahun 2005 silam.

Scene awal dalam film ini menunjukan kondisi sebuah kerjaan bernama Madyantara, visualnya mengingatkan saya pada suku air di film Aang.

Dalam hati saya berucap "Wih keren banget Indonesia", meski Amerika lebih dulu maju dalam perfilman animasi, tapi saya tetap bangga karena angin segar akan dimulai dari Panji Tengkorak (Versi 2D) dan Jumbo (Versi 3D).

Kisah bermula pada saat Panji (Denny Sumargo) memutuskan untuk berhenti menjadi pendekar, ia hanya ingin hidup aman dan bahagia bersama istrinya Murni (Aisha Nurra Datau). Namun rencananya gagal total sejak para perompak mendatangi desa dan meluluh-lantahkan orang-orang didalamnya.

Nagamas (Pritt Timothy) meminta agar Panji pergi dari desa tersebut karena Nagamas merasa bahwa inilah pertarungan dirinya dengan salah seorang saudaranya yaitu Bramantya (Donny Damara).

Sebelum pergi Nagamas memerintahkan Panji untuk mengambil sebuah kitab yang berisi pelajaran ilmu hitam. Belum juga Panji berhasil pergi ternyata dirinya menemukan bahwa Murni sudah mati terbunuh dilempar ke dasar jurang.

Singkat cerita untuk membalas dendam atas kematian istri, guru serta orang-orang tercinta, Panji mempelajari ilmu hitam. Sialnya ilmu tersebut justru membuat dirinya kebal dan tidak bisa mati.

Perjalanan membawanya pada suatu informasi bahwa ada pusaka sakti yang konon bisa melepaskan kutukan ilmu hitam dari dalam tubuhnya.

Pengisi suara film Panji Tengkorak. (Sumber: Instagram/Falconpicture)

Pencarian untuk menemukan pusaka sakti yang telah dicuri oleh Kalawereng (Tanta Ginting) ternyata membawanya bertemu dengan Bramantya, Gantari (Aghniny Haque) dan Kuwuk (Candra Mukti).

Selain mengangkat Silat sebagai budaya lokal Indonesia. Film ini juga tak lepas dari perhatian sosok perempuan bernama Gantari.

Peperangan yang selalu diidentikan dengan sosok pria, Gantari hadir sebagai sosok perempuan pemberani juga jago bela diri. Gerakan silat pertamanya digunakan untuk membantu Kuwuk saat dihajar oleh para pengawal kerajaan.

Gantari tak hanya pemberani tapi dia juga punya idealisme yang tinggi, bahkan dia rela mempertaruhkan nyawanya demi mengembalikan kehidupan yang seimbang.

Gantari bukan sekedar pendamping, tapi sosok penting yang membawa dimensi emosi, naluri, dan empati yang memperkaya narasi dalam film ini.

Scene terakhir pertarungan antara panji dengan Lembugiri (Cok Simbara) untuk memperebutkan pusaka sakti, menjadi momen yang paling saya sukai.

Bagaimana Panji bisa merepresentasikan sosok pendekar tidak hanya melalui visual tubuhnya tapi juga keahlian bertarungnya.

Adapun pemilihan Denny Sumargo dalam film ini, menurut saya berhasil menyempurnakan suara khas "berat" yang cocok diperankan untuk karakter Panji Tengkorak.

Karena mengusung isu budaya lokal, saya berharap film ini bisa tayang hingga kancah internasional. Bukan hanya memperkenalkan budaya lokal tapi juga membuka peluang bagi animator Indonesia agar bisa berkolaborasi dengan pihak luar. (*)

Tags:
budaya lokal Indonesiaanimasi 2Dresensi filmPanji Tengrorak

Dias Ashari

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor