Dalam banyak perkara pidana di Indonesia, perhatian publik dan aparat hukum hampir selalu tertuju pada pelaku. Nama terdakwa memenuhi pemberitaan, hukuman yang dijatuhkan menjadi sorotan, sementara saksi dan korban sering kali dipinggirkan.
Padahal mereka adalah pihak yang paling menderita, bukan hanya karena kejahatan yang dialami, tetapi juga karena proses hukum yang kerap menambah luka.
Buku Hukum Perlindungan Saksi dan Korban karya Dr Lies Sulistiani mengingatkan bahwa hukum tidak boleh timpang. Keadilan sejati tidak bisa hanya berdiri di satu sisi. Penulis, yang pernah menjabat Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban selama dua periode, menuliskan gagasan dan refleksi dari pengalaman langsung di lapangan.
Buku ini lahir dari keyakinan bahwa keberanian warga untuk bersaksi harus dibalas negara dengan perlindungan yang konkret.
Struktur buku ini menyajikan tiga bagian penting.
Pertama, dasar teoretis tentang mengapa perlindungan saksi dan korban mutlak diperlukan dalam sistem pidana.
Kedua, bagaimana perlindungan itu menjadi bagian integral dari penegakan hukum, bukan sekadar pelengkap administratif.
Ketiga, peran dan tantangan LPSK yang diperbandingkan dengan lembaga sejenis di negara lain. Amerika Serikat, Italia, Australia, dan Filipina memiliki model perlindungan yang memberi inspirasi.
Namun, penulis menegaskan bahwa Indonesia perlu mengembangkan mekanisme yang sesuai dengan kondisi sosial dan politiknya sendiri.
Salah satu studi kasus yang diangkat adalah tragedi Mesuji tahun dua ribu sebelas. Saksi yang berusaha bersuara justru menjadi target intimidasi, sebuah gambaran nyata betapa rentannya posisi mereka. Tanpa perlindungan yang layak, saksi tidak hanya kehilangan rasa aman, tetapi juga kepercayaan kepada negara.
Ironisnya, dalam banyak kasus justru kesaksian menjadi alat bukti terpenting dalam sistem pembuktian hukum kita. KUHAP dan para pakar hukum sudah lama menempatkan kesaksian pada posisi sentral, tetapi dalam praktiknya para saksi kerap diperlakukan hanya sebagai objek pemeriksaan. Banyak yang mengalami reviktimisasi, trauma baru yang muncul akibat proses hukum itu sendiri.
Undang Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang lahir pascareformasi sebetulnya sudah memberi harapan. Namun harapan itu harus diwujudkan dalam bentuk jaminan nyata: perlindungan fisik, pendampingan psikologis, hingga kemudahan prosedur.
LPSK seharusnya menjadi garda depan untuk memastikan hal ini berjalan. Untuk itu dibutuhkan penguatan kewenangan, peningkatan anggaran, dan sinergi lebih jelas dengan lembaga lain seperti kepolisian maupun kejaksaan.
Masalah lain yang tidak kalah serius adalah rendahnya literasi hukum masyarakat. Masih banyak warga yang tidak tahu bahwa mereka berhak mendapat perlindungan negara ketika bersaksi. Kebodohan hukum ini membuat orang memilih diam daripada berisiko kehilangan keselamatan diri atau keluarga. Lingkaran ini berbahaya karena kejahatan tidak terungkap dan hukum kehilangan wibawanya.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang jernih dan sistematis, sehingga dapat diikuti oleh pembaca umum. Ia tidak hanya bermanfaat bagi akademisi, tetapi juga praktisi hukum, pembuat kebijakan, dan aktivis hak asasi manusia. Lebih dari sekadar referensi, buku ini adalah panggilan moral bahwa hukum tidak boleh hanya kuat terhadap pelaku, tetapi juga harus hadir untuk melindungi yang lemah.
Ketika negara mampu memberikan rasa aman kepada orang yang berani bersuara, di situlah hukum menemukan maknanya yang sejati.
Karena pada akhirnya, ukuran keadilan bukanlah seberapa keras pelaku dihukum, tetapi seberapa jauh korban dan saksi merasa terlindungi oleh negara yang seharusnya berpihak pada mereka. (*)
Resensi Buku: Hukum Perlindungan Saksi dan Korban
Penulis: Dr Lies Sulistiani SH MHum
Penerbit: Mei 2023 | 266 halaman | ISBN 978 623 6322 92 7