Indonesia kembali ternoda. Kali ini dinodai oleh segelintir wakil rakyat dengan lisannya. Noda ini membuat rakyat kecewa dan marah. Jangan salahkan rakyat kalau memberikan pelajaran dengan cara rakyat.
Rakyat ingin mengajarkan cara komunikasi para wakil yang kepadanya rakyat banyak berharap. Berbagai kritik lunak dan santun sudah rakyat sampaikan, namun rupanya tidak ada perubahan, maka kekerasan pun menjadi solusi alternatif yang rakyat pilih.
Bukan tidak alasan rakyat geram dan marah besar. Rakyat sudah menerima dengan lapang atas berbagai kebijakan dan program. Rakyat sudah bersabar melihat berbagai tindak korupsi yang dilakukan para wakilnya.
Namun ketika hati dan nuraninya tersakiti terus terusan dengan perkataan dari para wakil—yang notabene sudah dibantu untuk duduk di parlemen untuk menyuarakan suara rakyat—maka rakyat pun tidak segan untuk memberi pelajaran cara berkomunikasi yang baik tanpa harus menyakiti.
Para wakil dan para pejabat yang tidak bisa menjaga ucapannya harusnya belajar dari berbagai kasus. Siapa pun yang tidak menjaga lidahnya, maka kehancurannya tinggal menunggu waktu. Tidak hanya kehancuran untuk dirinya sendiri, akan tetapi kehancuran pada yang lain, sebagai imbas dari perkataan yang tidak pantas.
Saat ini kita bisa menyaksikan bagaimana kekuatan perkataan yang bisa mengubah situasi yang tentram menjadi situasi yang tidak terkendali. Berawal dari ucapan beberapa wakil rakyat yang merespon kritikan rakyat, yang akhirnya memicu amarah rakyat.
Anggota dewan yang dikritik karena joget-joget setelah mendapatkan kenaikan pendapatan di tengah rakyat yang kehilangan pekerjaan. Beberapa wakil rakyat itu malah seenaknya merespons, yang bahkan respons yang diberikannya membuat hubungan wakil dengan rakyat semakin runcing.
Seperti ucapan, “Jangan bandingkan gaji DPR dengan rakyat jelata, itu sesat logika". Ada juga pernyataan “Orang yang ingin membubarkan DPR adalah orang yang tolol sedunia”.
Akibat dari asal ucap, atau ucapan yang tidak terkontrol karena arogansi kekuasaan, rakyat pun sadar rupanya harus dengan kekuatan untuk mengingatkannya. Tidak segan rakyat pun menggeruduk gedung DPR RI dan DPRD.
Dampaknya konflik antara pendemo dengan brimob, bahkan ada ojol yang meninggal, dan katanya ada juga anggota brimob yang sakit dan kritis akibat amukan massa. Konflik pun melebar, yang awalnya ke DPR, jadi meluas ke Brimob, Polri dan sebagainya.
Anggota dewan pusat ataupun di daerah mana, sudah seharusnya menyadari kalau bicara jangan asal bunyi dan seenaknya. Sebaiknya saring sebelum sharing. Pikir matang sebelum dikeluarkan. Karena kalau sudah dikeluarkan, bisa menjadi viral dan menjadi alat bukti sewaktu-waktu bisa menjadi bumerang.
Jangan lupa diri dan mentang-mentang memiliki alat kekuasaan, kalau rakyat sudah berkehendak maka tidak akan ada kekuasaan yang bisa mengalahkannya.
Bukan kali ini, beberapa periode sebelumnya membuktikan bagaimana kekuasaan bisa dikalahkan oleh kekuatan rakyat, karena rakyat ternoda dengan pernyataannya yang asal ucap.

Seperti Arteria Dahlan (Anggota DPR) tahun 2022, yang pernyataan soal penggunaan bahasa Sunda dalam rapat resmi kejaksaan yang dianggap tidak pantas. Arteria Dahlan pun dikecam masyarakat Sunda, dan didesak untuk meminta maaf sampai diminta untuk dipecat dari anggota DPR nya.
Kemudian Basuki Tjahaja Purnama atau yang populer dengan sebutan Ahok, yang waktu itu sebagai Gubernur DKI Jakarta tahun 2016, yang pernyataannya membuat umat muslim marah tentang Surat Al-Maidah 51. Dampaknya Ahok dilaporkan ke polisi dengan tuduhan telah menistakan agama Islam. Gara-gara pernyatannya yang kontroversi, Ahok pun dipenjara. Dan masih ada beberapa kasus lainnya yang tergelincir oleh ucapannya sendiri.
Siapa pun, menurut Johannesen, Valde, dan Whedbee (2008) ketika berkomunikasi harus melihat komunikasi etisnya, yang mengedepankan respek pada orang lain. Jangan menganggap orang lain remeh atau rendah, bodoh, apalagi tolol.
Dalam berbicara kita harus mempertimbangkan konsekuensi moral dari pesan yang kita sampaikan. Pernyataan kita itu adalah cerminan mental, watak, dan akhlak kita.
Alberti dan Emmons (2008) berpesan pada kita untuk berkomunikasi dengan melibatkan perasaan, pikiran secara terbuka dan tanpa melanggar hak orang lain. Betapa pentingnya kita ketika berbicara dengan hati-hati, dan tidak menyakiti orang yang diajak bicara. Betapa pentingnya pengendalian diri dalam berkomunikasi.
Oleh karenanya, ketika emosi sedang menguasai pikiran, sebaiknya diam saja dulu, baru ketika pikiran sudah menguasai emosi kita bisa bicara. Kalau bicaranya terus-terusan menyakiti perasaan rakyat, jangan berharap didengar dan didukung oleh rakyat, malah masa depannya akan kiamat. Wakil rakyat dipilih oleh rakyat, maka baik-baiklah berkomunikasi dengan para pemilik gedung DPR dan DPRD. (*)