Gerakan Ayah Bacain Cerita Dong (ABCD) (Sumber: YouTube Topi Amali | Foto: Hasil tangkapan layar)

Ayo Netizen

Bandung, ABCD

Selasa 09 Sep 2025, 08:33 WIB

Malam itu suasananya tenang, hening tanpa teriakan khas bocil, hanya sesekali terdengar suara kodok dari kejauhan. Seperti biasa sebelum tidur, selalu menyempatkan diri untuk membaca. Kadang koran, buku cerita anak, buku yang agak serius.

Malam syahdu itu kebetulan sedang asyik dalam buku lawas, Sirah Nabawiyah: Nabi Muhammad SAW dalam Kajian Ilmu Sosial-Humaniora karya Ajid Thohir (2014), Guru Besar UIN Bandung Bidang Ilmu Sejarah Kebudayaan Islam.

Tiba-tiba, anak ketiga, Kakang, yang baru berusia empat tahun, datang menghampiri lalu duduk di pangkuanku. Tangannya menggenggam erat buku dongeng yang sudah memudar bergambar Si Kancil Mencuri Timun.

Bah, bacain buku Kancil,” pintanya singkat, namun penuh harap.

Kuhanya tersenyum. Buku Sirah yang semula serius segera kututup dan kusimpan di sisi bantal. Suasana hening itu, giliran Kancil yang jadi pencerita utama, legenda turun-temurun yang tak pernah lekang oleh waktu.

Ada rasa hangat setiap kali momen seperti ini hadir. Seakan-akan tampak remeh temeh, duduk berdampingan, sambil membuka lembar-lembar buku, lalu menyusuri dunia cerita.

Namun, di balik kesederhanaan itu tersimpan ikatan yang jauh lebih kuat dari sekadar dongeng. Apa pun yang dibacakan, dari kisah Nabi hingga cerita Kancil, selalu membuka ruang kebersamaan, kebahagiaan, tempat anak merasa didengar dan orang tua belajar hadir sepenuhnya.

Ketika asyik tenggelam dalam kisah Kancil, tiba-tiba anak kedua, Aa Akil (10 tahun), ikut bersuara.“Bah, emang ada hari literasi atau aksara?” tanyanya polos.

Kujawab singkat, “Muhun.”

Pantesan, waktu ke Bapusipda, ada yang menjelaskan soal itu, tapi Aa belum ngerti karena asyik baca.”

Sejumlah anak membaca buku di perpustakaan keliling dalam acara Festival Literasi 2019 bertajuk Habis Gelap Terbitlah Terang di Halaman Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Sabtu (20/4/2019). (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Hari Literasi Internasional 2025

Setiap tanggal 8 September diperingati Hari Literasi Internasional (Hari Aksara Internasional/Sedunia, Hari Melek Huruf Internasional), hari yang diumumkan oleh UNESCO pada 17 November 1965 sebagai peringatan untuk menjaga pentingnya melek huruf bagi setiap manusia, komunitas, dan masyarakat.

Hari Literasi Internasional (International Literacy Day/ILD) diperingati setiap tahun dengan tujuan mengingatkan pembuat kebijakan, praktisi, dan masyarakat akan pentingnya literasi dalam membangun masyarakat yang lebih terpelajar, adil, damai, sejahtera, dan berkelanjutan.

Pustakawan Ahli Utama Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) Nelwaty Sikumbang menjelaskan literasi merupakan landasan bagi setiap individu untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai, sikap, dan perilaku, yang dapat menumbuhkan budaya perdamaian, kesetaraan, supremasi hukum, solidaritas, keadilan, keberagaman, dan toleransi.

Tahun ini, bertajuk “Mempromosikan Literasi di Era Digital” yang dipusatkan di markas besar UNESCO, Paris, Prancis. Tema ini mengajak masyarakat untuk memandang literasi tidak hanya sebatas kemampuan membaca dan menulis, melainkan kemampuan memahami, mengolah, dan memanfaatkan informasi untuk kehidupan yang lebih baik dan bermakna.

“Di sinilah kita, keluarga besar Perpusnas, memegang peran penting. Kita bukan hanya sekadar penjaga koleksi, namun kita adalah penjaga peradaban. Kalau buku itu pelita, maka kita adalah penjaga apinya,” tegasnya.

Literasi tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat, termasuk bagi pegawai Perpusnas. Aparatur yang literat diyakini akan lebih kreatif, inovatif, dan adaptif terhadap tantangan zaman.

Seluruh jajaran Perpusnas untuk memperkuat komitmen dengan empat langkah utama, di antaranya memberikan layanan terbaik dengan ikhlas dan ramah, mengajak masyarakat untuk mencintai buku dan meningkatkan minat baca, menjadi teladan dalam budaya baca dan belajar, serta mendorong transformasi perpustakaan secara inklusif demi kecerdasan dan kesejahteraan bangsa.

“Setiap tindakan kecil kita adalah bagian dari perubahan besar. Bisa jadi, seseorang yang memanfaatkan koleksi kita hari ini akan menjadi ilmuwan besar atau tokoh yang membawa manfaat bagi bangsa,” ujarnya.

Perpustakaan harus menjadi pusat pembelajaran, inspirasi, dan pemberdayaan masyarakat. “Mari kita jadikan perpustakaan sebagai motor penggerak literasi yang mampu mencerdaskan dan menyejahterakan bangsa,” jelasnya. (www.perpusnas.go.id)

“Orang Indonesia, anda tidak Malu? Minat Baca Buku Rendah, Tapi Cerewet Banget!” (Sumber: duniaperpustakaan.com | Foto: Data semiocast.com)

Indonesia, Malas Baca tapi Cerewet di Medsos

UNESCO mencatat minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah, hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang, hanya satu orang yang rajin membaca. Parahnya, dari Riset World’s Most Literate Nations Ranked (2016) menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara, di bawah Thailand dan sedikit lebih baik dari Botswana. Padahal, infrastruktur pendukung membaca di Indonesia relatif lebih baik dibanding sejumlah negara Eropa.

Sebaliknya, penggunaan gadget justru sangat tinggi. Hingga 2018, pengguna aktif smartphone di Indonesia diperkirakan menembus 100 juta orang, terbesar keempat di dunia. Rata-rata orang Indonesia menatap layar gadget sekitar sembilan jam per hari.

Aktivitas ini tercermin di media sosial. Riset Semiocast menempatkan Jakarta menjadi kota paling aktif di Twitter dengan lebih dari 10 juta cuitan per hari, mengalahkan Tokyo dan New York. Bandung menempati posisi keenam kota teraktif.

Inilah ironi kita yang malas membaca, tetapi sangat aktif di media sosial. Kondisi ini membuat masyarakat rentan terhadap hoaks, provokasi, dan fitnah yang mengancam keutuhan NKRI. Jari lebih cepat memberi like dan share dibanding otak memverifikasi kebenaran informasi. (www.komdigi.go.id)

Kegiatan di TBM Ambu Seba, Minggu (29/1/2017). (Sumber: ayobandung.com | Foto: Hengky Sulaksono)

Di sisi lain, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan indeks pembangunan literasi masyarakat Kota Bandung pada 2024 sudah mencapai 86,82. Namun, indeks minat baca masih rendah, hanya 55,25.

Kepala Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Bandung, Fajar Kurniawan, menuturkan ikhtiar mengubah kebiasaan masyarakat untuk meningkatkan minat baca harus dibangun dari rumah. Pasalnya, jika orangtuanya senang membaca, maka anak-anak akan mencontoh kebiasaan mulai tersebut.

Menurutnya, maraknya penggunaan gawai membuat masyarakat terbiasa membaca singkat, sekitar 250 karakter. Padahal, fasilitas literasi sudah tersedia, tinggal bagaimana dimanfaatkan.

Solusinya, Pemkot Bandung berkolaborasi mendirikan microlibrary di permukiman. Saat ini ada tiga lokasi yang bisa diakses warga, Jalan Bima, Alun-Alun Kota Bandung, dan Babakansari. (Pikiran Rakyat edisi 19 Mei 2025).

Namun secara umum, literasi di Bandung Raya masih belum menggembirakan. Data Open Data Jabar (2024) mencatat IPLM Kabupaten Bandung 60,65, Kabupaten Bandung Barat 60,3, Kota Cimahi 75,55, dan Kota Bandung 86,82. Survei Dispusipda Jabar 2022 menunjukkan indeks literasi membaca Jawa Barat hanya 61,49 persen.

Pegiat literasi, Diani Fitri, menekankan pentingnya membiasakan membaca sejak dini. Membaca bukan hanya kegiatan belajar, melainkan pengalaman yang penuh makna, gerak, dan kegembiraan. Membiasakan anak membaca buku, perlu berbagai pendekatan.

Salah satu upaya mendorong budaya baca ialah melalui bazar buku. Big Bad Wolf (BBW) Books digelar di Kota Baru Parahyangan, 28 Agustus–7 September 2025, dengan menghadirkan lebih dari 1 juta judul, mulai dari buku anak hingga referensi populer. (detikJabar, Selasa, 19 Agu 2025 23:30 WIB)

Irfan Amalee, tengah menjelaskan kekuatan cerita untuk anak dan mengubah dunia. (Sumber: YouTube Topi Amali | Foto: Hasil tangkapan layar)

Kekuatan Cerita, Menumbuhkan Minat Baca Sejak Dini

Saat mencari referensi, penulis asal Bandung, Irfan Amalee, melalui kanal YouTube Topi Amali, membagikan unggahan di Instagram soal pentingnya cerita dalam membentuk imajinasi dan karakter bangsa. Baginya, cerita bukan sekadar dongeng, melainkan kekuatan yang dapat memengaruhi nasib suatu masyarakat.

Pendiri Peace Generation mencontohkan perbedaan antara cerita anak di Inggris dan Spanyol. Bila anak-anak di Inggris banyak mengangkat tema kepahlawanan, maka di Spanyol cenderung melodramatis. Hasilnya, generasi Inggris tumbuh dengan imajinasi kepahlawanan yang membentuk mental kolonialis tangguh, dan Spanyol tidak sekuat itu.

Hal serupa terjadi di Indonesia. Dongeng populer seperti Si Kancil mengajarkan kecerdikan yang identik dengan penipuan. Rupanya, kisah Sangkuriang, Roro Jonggrang mewariskan mental serba mendadak, bekerja terburu-buru hanya untuk memenuhi target. Cerita-cerita ini, membentuk alam bawah sadar kolektif yang tercermin dalam budaya sehari-hari, termasuk masalah korupsi dan kebiasaan sistem “SKS” (Sistem Kebut Semalam).

Ternyata, cerita mampu menembus otak dan emosi. Saat mendengar kisah yang menyentuh, sinapsis otak menguat, hipokampus dan amigdala merekam memori emosional, bahkan tubuh melepas hormon kortisol (perhatian) dan oksitosin (empati). Inilah yang membuat kita hanyut dalam kisah.

Jadi jangan anggap sepele bahwa cerita anak itu cuma sekedar dongeng, tetapi itu menjadi imajinasi sebuah budaya, imajinasi sebuah bangsa dan menciptakan karakter dan nasib dari satu society, suatu masyarakat.”

Ingat, dua pertiga isi Al-Qur’an berupa kisah. Hampir semua kitab suci pun menggunakan cerita sebagai media utama, karena inilah cara paling efektif Tuhan mengajarkan hikmah kepada manusia.

Enggak ada yang lebih kuat di muka bumi ini selain cerita.”

Tiga manfaat bercerita menggunakan buku. (Sumber: YouTube Topi Amali | Foto: Hasil tangkapan layar)

Founder dan Chairman Peacesantren Welas Asih menjelaskan mengapa harus menggunakan buku saat bercerita, bukan hanya secara lisan?

Paling tidak ada tiga manfaat utama yang menjadikan buku lebih efektif:

1. Stimulasi Visual dan Pengembangan Otak

Selain rangsangan auditorial dari suara pencerita, buku memberikan stimulus visual melalui gambar dan warna. Ketika orang tua membacakan buku sebelum tidur, anak tidak hanya mendengar cerita, tetapi dapat melihat ilustrasi yang memperkuat imajinasi dan kecerdasan visualnya.

2. Peningkatan Kemampuan Literasi

Setiap buku telah melalui proses penyuntingan dengan pemilihan kata yang sesuai usia anak. Cerita untuk balita tentu berbeda dengan anak SD atau SMP. Dengan begitu, anak terpapar literasi sesuai tahap perkembangannya. Berbeda dengan cerita lisan yang kadang tidak konsisten, membaca buku membantu anak mengenali huruf, kata, dan struktur bahasa. Banyak anak dapat belajar membaca lebih cepat disebabkan terbiasa mendengar sekaligus melihat teks yang dibacakan.

3. Penguatan Memori dan Konsentrasi

Membacakan buku membantu anak fokus, karena perhatian mereka tertuju pada suara pencerita sekaligus gambar di buku. Anak akan lebih mudah mengikuti alur cerita dan menghubungkannya dengan ilustrasi. Tentunya ini dapat melatih daya konsentrasi dan memperkuat memori jangka panjang.

Semakin banyak, semakin baik, gunakan waktu luang untuk menjadi sarana kita membacakan buku. Tapi dari semua waktu itu ada waktu yang sangat efektif, yaitu sebelum tidur.”

Dongeng sebelum tidur adalah momen emas. Saat otak memasuki gelombang alfa (antara sadar dan tidur), anak menjadi sangat reseptif. Cerita pada waktu ini akan tersimpan dalam memori jangka panjang dan membentuk alam bawah sadar. Ayah sangat dianjurkan untuk membacakan cerita, karena momen ini menjadi quality time sekaligus kesempatan menanamkan nilai hidup.

Ketika kita bacakan cerita-cerita Nabi itu hikmah-hikmahnya akan masuk langsung ke memorinya, akan masuk ke alam bawah sadarnya. Bukan hanya didengarkan, tetapi juga diresapi.”

Seseorang sedang asyik membaca (Sumber: ayobandung.com | Foto: Kavin Faza)

Gerakan Ayah Bacain Cerita Dong (ABCD)

Alumni IAIN Bandung ini bersama kawan-kawannya menggagas gerakan ABCD (Ayah Bacain Cerita Dong), untuk mendorong para ayah membacakan cerita pada anak. Tumbuh menjadi penulis berkat kebiasaan ayahnya mendongeng sebelum tidur. Mahattir Muhammad Abraham Lincoln, selalu membacakan cerita pada anak-anaknya.

Saya pun tumbuh menjadi seorang penulis karena dulu ayah saya selalu menceritakan dan selalu mendongeng sebelum tidur. Walaupun dongeng-dongeng zaman itu sangat terbatas karena referensinya sangat sedikit. Oleh karena itu saya ngajak semuanya ayo bacain cerita, terutama ayah-ayah. Ayah bacain cerita dong (ABCD).”

Berikut ini tips menumbuhkan cinta terhadap buku.

1. Cintakan pada buku, bukan sekadar ajarkan membaca. Anak yang senang pada buku akan otomatis suka membaca. Pasalnya, banyak yang diajarkan membaca, tetapi mereka tidak cinta baca. Akhirnya mereka tidak mau baca walaupun bisa baca.

Ketika anak saya masih dalam kandungan, saya sudah membeli buku dengan mencicil dan sudah mulai dibacakan. Ketika lahir itu sudah senang sama buku. Ketika tumbuh itu sudah pegang buku, walaupun belum bisa baca buku tapi senang. Ketika mereka senang pada buku, maka senang pada kegiatan membaca dan maka mereka akan senang pada ilmu. Itu yang pertama.”

2. Jadilah teladan. Orang tua harus menunjukkan kebiasaan membaca. Caranya dengan menjadikan rumah sebagai rumah buku. Sediakan buku di setiap sudut, investasikan anggaran khusus, dan jadikan buku sebagai hadiah.

Tidak mungkin anak-anak kita senang membaca, senang buku kalau orang tuanya jarang membaca buku, jarang memegang buku, jarang membeli buku.”

Ada sebuah video yang menarik yang tersebar di Instagram. Ada orang tua yang sedang main HP, anak juga main HP. Itu kemudian dia menyuruh anaknya berhenti main HP, ya enggak bisa. Orang tuanya juga main HP. Kemudian orang itu menyimpan HP-nya. Kemudian kedua orang tuanya langsung bawa buku. Kemudian baca buku di hadapan anaknya yang main HP. Akhirnya anaknya melihat orang tuanya keduanya sedang baca buku, dia simpan HP-nya, dia ambil buku. Begitu. Jadi keteladanan dalam menumbuhkan cinta buku, cinta baca itu sangat penting dicontohkan oleh orang tua.”

“Jangan bermimpi anak-anak kita menjadi suka baca dan suka buku. Kalau di rumah buku jarang, tidak ada perpustakaan. Ya, jadi jadikan rumah sebagai rumah baca, di pojok-pojok itu ada pojok-pojok buku, tidak tersentralisir di sebuah perpustakaan kalau ada, kalau tidak bisa disebar. Di dapur ada buku tentang masakan, di kamar itu ada buku tentang dongeng-dongeng.”

Jadikan buku sebagai gift atau sebagai kenang-kenangan atau oleh-oleh ke mana pun, kalau mau pulang ke rumah, di bandara, di mana pun yang diingat orang di rumah ah akan belikan buku atau memberi surprise, karena sebuah prestasi atau ulang tahun berikan buku itu sebagai penanda bahwa kita menjadikan buku sebagai sesuatu yang spesial buat mereka.”

3. Wisata ke toko buku. Bukan hanya ke mal atau tempat rekreasi, toko buku bisa menjadi destinasi keluarga.

“Toko buku itu bisa menjadi wisata untuk melihat dunia karena buku adalah jendela dunia.”

Kiki saat belajar di gubug tempat tinggalnya di Kampung Babakan Pari RT 02 RW 04, Desa Batujajar Timur, Kecamatan Batujajar, KBB. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Tri Junari)

Dengan membiasakan membaca sejak dini, terutama lewat cerita, anak-anak bukan hanya belajar, justru dapat membangun imajinasi, empati, dan karakter. Mudah-mudahan dengan kita menanamkan nilai-nilai mulia lewat baca, kita akan menjadi bangsa yang besar. Karena story (cerita, dongeng) ternyata punya kekuatan besar dalam menentukan nasib suatu bangsa.

Walhasil, literasi bukan sekadar peringatan hari besar dengan agenda seremonial di perpustakaan. Pasalnya, literasi tumbuh dari ruang-ruang sederhana di rumah, ya dari pangkuan ayah, dari dongeng sebelum tidur, dari rasa ingin tahu anak yang tak pernah berhenti, bahkan terus tumbuh saat dirawat, dijaga.

Dengan demikian, membacakan cerita ternyata bukan hanya tentang menghibur, melainkan ikhtiar menanamkan benih pengetahuan, menumbuhkan rasa ingin tahu, sekaligus mengikat cinta di antara halaman-halaman yang dibuka secara bersama-sama.

Saat asyik menulis gerakan Ayah Bacain Cerita Dong (ABCD) ini, tiba-tiba anak kedua Kakang memanggil "Bah, bacain kisah Nabi yang dimakan ikan!" (*)

Tags:
Gerakan ABCDGerakan Ayah Bacain Cerita Dongmembacakan cerita

Ibn Ghifarie

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor