'Agama rakyat' hari ini sudah jauh berbeda dari bayangan lama yang suka dibilang ākampunganā. Sekarang religiusitas warga muncul dalam bentuk yang lebih kekinian. Bisa menyelinap di dunia digital, ikut gaya urban, atau tetap bertahan dengan model klasiknya.
Bandung jadi salah satu panggungnya. Meskipun digempur dengan modernitas yang bertubi-tubi, kota ini tetap setia merawat lokalitas dengan caranya sendiri. Hal-hal yang dulu dan mungkin masih dianggap primitif, ternyata bisa terus relevan dengan situasi hari ini.
Melihat Bandung dengan lebih jeli bisa jadi cara buat mengenal 'agama rakyat' tersebut. Dengannya kita tidak lagi terpesona dengan lanskap wisata Ibu Kota Jawa Barat ini, tapi lagi menggali nilai-nilai kerakyatan yang masih bisa dituai. Pada sisi yang lain, kita juga sedang menunjukkan bahwa keunikan lokal tidak melulu di kampung adat. Kekayaan ini ternyata hidup berdampingan bersama kita di tengah kota. Dan berikut jejak-jejak yang masih ada tersebut.
1. Toko Rampai Bunga

Satu artefak yang mencolok untuk menggambarkan ritual rakyat adalah keberadaan toko rampai bunga. Toko ini bukan sekadar museum yang banyak menjual barang-barang yang suka dipakai oleh nenek kakek kita dulu, juga menandakan bahwa bunga tabur, kemenyan, kendi, dan perlengkapan ritual lain masih berguna dan suka dipakai oleh orang-orang di hari ini.
Di mata sebagian orang keberadaannya mungkin hanya dagangan biasa. Tapi sebenarnya toko ini menunjukkan betapa kebutuhan ritual lokal tidak pernah surut. Selamatan, nyekar, upacara jatukrami, ngaruwat cai, atau mengurus goah, masih hidup di tengah kota modern. Kios-kios di Astanaanyar, Andir, Ciroyom, ataupun Cicadas memperlihatkan bahwa 'agama rakyat' tetap berakar pada praktik keseharian.
2. Cerita Hantu di Radio
Di Bandung kosmologi 'agama rakyat' yang cenderung percaya pada keberadaan roh, hantu, dan makhluk halus hadir melalui urban legend. Kisah-kisah penampakan di Jalan Layang Pasupati, sosok misterius di Gedung Sate, patung di Taman Maluku, atau penunggu Goa Belanda di Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda bukan sekadar horor murahan. Dalam cerita ini masyarakat kota merawat keyakinan lokal akan adanya dunia gaib.
Mungkin di zaman ini, cerita mistis tidak lagi dituturkan di gelapnya malam yang ditemani lampu minyak. Tapi cerita hantu-hantu selalu ada, bahkan diarsipkan dengan rapi melalui siaran Nightmare Ardan Radio 105,9 FM. Begitu juga tim Jurnalrisa banyak mendokumentasikan penunggu-penunggu Bandung melalui konten di YouTube maupun aneka filmnya. Meskipun transfer cerita rakyat telah bergeser dari pos ronda ke bioskop dan siaran di radio dalam mobil, tapi pandangan dunia leluhur masih abadi.
3. Maung Bandung

Bicara 'agama rakyat' tidak lepas dari dimensi sosial dan identitas, yang di Bandung menemukan wujudnya dalam totem maung (macan, harimau). Sebagai julukan lain pada Persib, maung bukan sekadar maskot klub sepak bola. Sosok ini adalah totem komunal yang mempersatukan warga, menyalakan rasa kebanggaan, dan mengikat solidaritas di Bandung bahkan wilayah Jawa Barat yang lebih luas.
Hewan sakral yang ada dalam kosmologi Sunda ini melambangkan perlindungan, tradisi leluhur, sekaligus misteri alam. Pada hari ini dalam berbagai gambarnya, Maung Bandung berhasil menunjukkan kekuatannya itu kembali dengan merangkul segala kelas. Dukungan pada Persib mengartikulasi ritual komunal dengan nyanyian dan koreografi tribun. Inilah identitas yang memadukan senyapnya cara kerja religiusitas lokal dalam kecintaan pada klub sendiri dan jalinan rasa kebersamaan.
4. Ziarah Makam Marhaen
'Agama rakyat' bicara juga soal kesadaran politik. Di Bandung, hal ini tampak pada praktik ziarah ke makam Ki Marhaen di Kampung Cipagalo, Jalan Batununggal, Bandung Kidul. Marhaen sendiri adalah petani kecil yang ditemui Bung Karno dan menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Dengan segala kontroversinya, makamnya kini dipercaya sebagai tempat ziarah politik, spiritual, dan identitas rakyat.
Berdoa, tabur bunga, siram air, dan bertemu dengan anak cucu Ki Marhaen, tidak hanya mencari keselamatan pribadi, juga menyimpan ingatan kolektif tentang ketidakadilan sosial. Para politikus pastinya berduyun-duyun datang ke sini, berusaha menautkan dirinya pada isu kerakyatan. Begitulah di tengah modernisasi Kota Bandung, makam Ki Marhaen menjadi pengingat bahwa salah satu kekuatan politik nasional pernah lahir di sini.
5. Reak dan Benjang

Seni rakyat seperti reak dan benjang tumbuh lestari di kawasan Bandung Timur. Reak adalah pertunjukan musik tradisional yang menggugah dan kadang kesurupan, sementara benjang adalah seni bela diri dengan nuansa ritual yang magis. Keduanya sering tampil di hajatan, festival, atau acara desa.
Di Ujung Berung, Arcamanik, dan Cibiru, akhir pekan selalu jadi saksi bahwa hiburan rakyat ternyata masih bertahan bahkan di sepanjang jalan kendaraan. Kesenian ini bisa memancing orang-orang ke luar rumah dan pengendara sepeda motor yang berhenti sejenak. Mereka mengabadikannya dalam hp. Dengan segala kreativitasnya yang penuh aksesoris lampu, pelantang suara, dan kaos distro, arak-arak ini menggugat kejemuan dan individualistik kota dengan bising yang menggoyang.
Membicarakan 'agama rakyat' memang tidak seperti membicarakan 'agama formal'. Praktik, kepercayaan, identitas, politik, dan keseniannya yang pernah jadi bulan-bulanan kekuasaan itu, mungkin masih bikin kita agak alergi. Semua itu sering dilekatkan dengan label sisa-sisa tradisi lama atau dicap kuno dan ketinggalan zaman.
Tapi berbagai contoh konkret di Bandung ini telah membuktikan bahwa 'agama rakyat' adalah religiusitas yang tangguh. Strukturnya mungkin tidak serapi agama-agama dunia, mungkin juga bersembunyi atas nama budaya.
Tapi di luar itu semua, 'agama rakyat' selalu bisa menjawab kebutuhan hidup. Bukankah itu juga yang membuatnya justru menarik di tengah Bandung yang gemerlap dengan lampu kota? (*)