Jati Kasilih ku Junti: Nasib Kebudayaan Sunda dari Krisis Pangan

Arfi Pandu Dinata
Ditulis oleh Arfi Pandu Dinata diterbitkan Selasa 26 Agu 2025, 16:00 WIB
Ilustrasi orang Sunda. (Sumber: Unsplash/Mahmur Marganti)

Ilustrasi orang Sunda. (Sumber: Unsplash/Mahmur Marganti)

Masyarakat paré (padi) adalah masyarakat agraris. Mereka yang hidupnya menapaki ladang dan sawah. Akrab dengan berbagai perkakas yang menunjang budaya tanam. Ketahanan pangannya bersifat komunal, ditopang oleh solidaritas warga. Leuit, sang lumbung menjadi simbol cadangan pangan kolektif. Pikiran mereka bukan hanya makan hari ini, tetapi cara menghasilkan padi.

Beranjak, muncul masyarakat béas (beras). Mereka yang tak lagi bersentuhan langsung dengan tanah, bergantung pada aktivitas membeli beras sebagai bahan pokok. Interaksi kebudayaannya menyempit pada peralatan menanak seperti sééng dan boboko. Ketahanan pangannya bergeser menjadi urusan rumah tangga, dengan goah (kamar menyimpan beras) sebagai penandanya. Fokus utamanya adalah cara mendapatkan beras, bukan menanam padi.

Adapun masyarakat kéjo (nasi), yakni mereka yang bahkan tak lagi menanak sendiri. Nasi hadir sebagai produk instans lewat rice cooker, warteg, restoran, atau gerobak fried chicken. Ketahanan pangan dalam masyarakat ini sangat bergantung pada daya beli individual. Indikatornya bukan lagi leuit atau goah, melainkan uang. Pikiran mereka adalah cara memperoleh nasi yang sudah siap makan.

Perubahan dari paré, béas, sampai kéjo menunjukkan hubungan manusia dengan pangan, dengan kebudayaan yang lebih luas. Dari masyarakat yang menanam, menjadi masyarakat yang membeli sampai sekadar mengonsumsi tanpa tahu asal mula makanan. Dari urusan komunal ke domestik, jadi masalah individu dan daya beli.

Meninggalkan Rahim Kebudayaan Sunda

Budaya Sunda lahir dari kebudayaan huma (ladang). Hasil perkawinan langit dan bumi, hujan dan tanah, yang melahirkan kesuburan. Sebagaimana terekam dalam carita pantun, Sunan Ambu mengajarkan Purbasari cara-cara berladang.

Meneratas hukum alam yang keras, orang Sunda mula-mula membuka lahan dengan menebang pohon dan membersihkan semak. Mereka membakar sisa-sisa tumbuhan untuk menyuburkan tanah. Kemudian bersama-sama menanam benih padi dengan cara melubangi tanah memakai kayu runcing. Tapi sekarang, semua perlahan sudah berlalu.

Jangankan berladang dan ngéjo, makannya pun sudah tak lagi nasi. Variasi baru, lahir masyarakat post-nasi. Mereka mulai meninggalkan nasi sebagai satu-satunya sumber pangan pokok. Bergeser ke pilihan global seperti roti, pasta, mi instan, burger, dan aneka makanan kekinian lainnya.

Di titik ini, wareg (kenyang) bukan lagi tujuan utama melainkan gaya hidup dan representasi sosial. Indikatornya bahkan bukan lagi punya uang, melainkan akses terhadap sistem digital (e-wallet, aplikasi delivery, bahkan pinjol). Termasuk jejaring sosial dan cultural capital. Pikiran mereka adalah cara mendapatkan makanan yang sesuai dengan selera zaman, bukan hanya mengisi perut.

Di tengah perubahan-perubahan yang terus berjalan, coba bayangkan berapa banyak istilah dan pengetahuan lokal yang ikut hilang. Kata-kata seperti reuma (bekas ladang), lisung (lesung penumbuk), ngisikan (mencuci beras), hingga réméh (remah nasi) perlahan lenyap dari perbendaharaan sehari-hari. Kebudayaan telah menjadi dongeng.

Padahal di balik istilah-istilah itu tersimpan kekayaan tradisi, tata nilai, dan pengetahuan ekologis yang menopang cara hidup lestari. Kita sering mengira kebudayaan Sunda sedang berevolusi menuju kemajuan. Terbentang jalan menuju modernitas yang lebih canggih yang layak disongsong.

Pamali yang dulu kita takuti kini justru ditertawakan, dipandang sebagai warisan primitif. Kita tak lagi ragu membuang-buang nasi. Bahkan menutup mata air dan menjual tanah tempat padi dulu ditanam. Ruang hidup yang dulu dikelilingi sawah kini telah berubah menjadi deretan perumahan elit.

Nama-nama seperti cluster, green, residence, dan hill menjajakan citra asri yang menghapus jejak ekologis kita. Hasil penjualan tanah yang konon disumpahi demi biaya sekolah, tak sebanding dengan kenyataan generasi berikutnya yang kini pusing mencari lowongan kerja. Berakhir sebagai buruh di atas tanah yang dahulu milik neneknya sendiri.

Di tengah ketahanan pangan yang rapuh dan kesenjangan sosial yang kian parah, orang tua kita harus berduyun-duyun menunggu bantuan beras sejahtera (rastra). Bahkan merasa khawatir soal beras plastik yang ramai diberitakan. Ironisnya kita justru sibuk membuat konten makanan kekinian, mengagumi plating dan tren diet, sambil lupa bahwa beras yang kita makan pun bukan lagi hasil dari ladang sendiri.

Bukan Kenangan yang Harus Diratapi

Doa orang Sunda hadir sederhana di keseharian, jadi pengikat relasi dan tanda solidaritas rakyat. (Sumber: Pexels/Andreas Suwardy)
Doa orang Sunda hadir sederhana di keseharian, jadi pengikat relasi dan tanda solidaritas rakyat. (Sumber: Pexels/Andreas Suwardy)

Lantas, apa artinya kebudayaan Sunda jika nasi sudah terlanjur menjadi bubur? Kita yang sudah kenyang makan gengsi, bermental pembeli, cukupkah dihibur dengan narasi kejayaan Sunda? Tentunya tidak.

Sebab mencintai Sunda bukan berarti tenggelam dalam lautan romantisme sejarah. Apalagi berusaha membangkitkan kembali aristokrasi masa lalu. Tentu pandangan naif ini malah menjauhkan kebudayaan dari realitas zaman. Sedangkan yang kita butuhkan kiwari adalah kesadaran yang berakar pada identitas sendiri, berpihak pada marginal, dan mampu membaca tantangan kontemporer.

Menjadi Sunda tidak boleh berhenti pada nostalgia. Ia harus hidup laksana tarikan nafas yang mau seirama dengan alam dan sesama. Kita menolak menjadikan iket dan sanggul sekadar aksesoris budaya. Sunda juga harus tumbuh sebagai cara berpikir yang bijaksana.

Kita menolak kabaya dan pangsi yang hanya dipakai tanpa nilai keugaharian yang menyertainya. Sunda bukan hanya soal marah saat simbol seperti maung diinjak atau sekadar bangga mengaku cucu Prabu Siliwangi. Tapi enggan berani membela orang yang tertindas, enggan silih wangian.

Kita perlu membaca ulang budaya ladang sebagai landasan perlawanan terhadap sistem yang mencabut akar eksistensial, tempat lahirnya kebudayaan kita. Maka menjadi Sunda hari ini berarti merawat nilai. Bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi untuk menumbuhkan masa depan yang menaruh hati pada kehidupan bersama.

Budaya Sunda hanya akan hidup jika mampu menjadi jalan bagi masyarakat untuk bertahan dan merdeka di tengah gempuran kolonialisme baru yang merusak.

Dari masalah pangan saja kita belajar banyak, bahwa bicara kebudayaan Sunda tidak sebatas pada respons regulasi kesenian daerah, cagar budaya, atau kurikulum muatan lokal. Kebudayaan adalah tentang hajat hidup orang banyak. Termasuk mengembalikan martabat rakyat yang hidup dekat tanah, yang kadung dicap dekil, kotor, berkuman, dan tertinggal. Padahal dari sanalah makanan kita berasal, rumah kita berdiri, dan identitas kita tumbuh.

Kalau kebudayaan adalah semua hal tentang cara menjadi manusia. Maka kebijakan yang pro rakyat menjadi bagian yang tak terpisahkan. Program kebudayaan seharusnya turut membendung laju kemiskinan struktural yang sangat masif, bukan terlena dengan ambigunya “pembangunan” yang merusak ruang hidup manusia Sunda.

Penggusuran lahan, tambang kapur dan pasir, proyek geotermal, dan penggundulan hutan adalah senarai bukti bahwa budaya ladang yang arif sedang digerus oleh sistem ekonomi yang eksploitatif. Orang sunda kehilangan tempat tinggal dan panggung untuk merayakan kebudayaannya.

Lantas, apa artinya mencintai Tatar Sunda jika nasi pun sudah kadung menjadi bubur? Kita sudah kenyang bukan lagi dengan nasi, tapi oleh gengsi dan paradoks kemiskinan. Mungkin inilah yang disebut jati kasilih ku junti.

Dapur-dapur tak lagi ngebul, syukur kalau masih bisa digantikan oleh aplikasi yang menyediakan layanan pesan-antar dan makanan instan. Tapi bagaimana kalau memang sudah tak ada lagi yang bisa dimakan? (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Arfi Pandu Dinata
Menulis tentang agama, budaya, dan kehidupan orang Sunda
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Biz 13 Okt 2025, 19:52 WIB

Fenomena Co-Working Space di Bandung, Ekosistem Kreatif dan Masa Depan Budaya Kerja Fleksibel

Transformasi cara kerja masyarakat urban mendorong ekosistem co-working space sebagai ruang kerja bersama yang menawarkan fleksibilitas, efisiensi, dan atmosfer kolaboratif.
Transformasi cara kerja masyarakat urban mendorong ekosistem co-working space sebagai ruang kerja bersama yang menawarkan fleksibilitas, efisiensi, dan atmosfer kolaboratif. (Foto: Freepik)
Ayo Netizen 13 Okt 2025, 19:02 WIB

Disinhibisi Suporter Sepakbola

Saling sindir dan serang antar suporter pun tidak bisa dihindari, seperti tawuran di media sosial saling serang pun tidak bisa dihindari. 
Suporter tim nasional Indonesia. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Biz 13 Okt 2025, 18:33 WIB

Bandung Menguatkan Ekosistem Esports Nasional

Beberapa tahun terakhir, industri eSports berkembang dari sekadar hobi menjadi arena kompetitif yang melibatkan teknologi, komunitas, dan ekonomi kreatif.
Beberapa tahun terakhir, industri eSports berkembang dari sekadar hobi menjadi arena kompetitif yang melibatkan teknologi, komunitas, dan ekonomi kreatif. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 13 Okt 2025, 17:33 WIB

Mengatasi Permasalahan Limbah Plastik dengan Paving Block

Sampah plastik memang menjadi masalah krusial hampir di semua negara.
Ilustrasi Paving Block (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 13 Okt 2025, 17:01 WIB

'Jalan Jajan' di Soreang: Kulineran di Gading Tutuka, hingga Menyeruput Kopi Gunung

Berjalan jajan di Soreang, kulineran di Gading Tutuka, Pintu Keluar Tol Soroja, hingga menyeruput secangkir kopi di Kopi Gunung.
Berjalan jajan di Soreang, kulineran di Gading Tutuka, Pintu Keluar Tol Soroja, hingga menyeruput secangkir kopi di Kopi Gunung. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dudung Ridwan)
Ayo Biz 13 Okt 2025, 16:33 WIB

Semilir Pagi Ramu Saji Heritage, Sarapan Pelan-Pelan bersama Nasi Kuning dan Cita Rasa Rumah

Bukan sekadar menu, nasi kuning di Ramu Saji Heritage adalah medium rasa yang membawa pengunjung pulang ke kenangan masa kecil.
Bukan sekadar menu, nasi kuning di Ramu Saji Heritage adalah medium rasa yang membawa pengunjung pulang ke kenangan masa kecil. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 13 Okt 2025, 15:16 WIB

Tinggal Meninggal Memang Bikin Kita Ketawa, tapi Pulang dengan Beban Pikiran

Film Tinggal Meninggal membawa warna baru serta keberanian baru bagi perfilman Indonesia.
Salah satu adegan film Tinggal Meninggal. (Sumber: Youtube/Imajinari)
Ayo Netizen 13 Okt 2025, 14:18 WIB

Memahami dan Menghargai demi Harmoni

Saatnya memperkuat semangat toleransi dan membangun perdamaian melalui kegiatan pameran dan diskusi terbuka.
Komik hasil adaptasi dari buku Dialog Peradaban. (Sumber: Instagram/pamerandialogperadaban)
Ayo Netizen 13 Okt 2025, 13:19 WIB

ASN, Meritokrasi, dan Jalan Panjang Penghapusan Honorer

Isu penghapusan tenaga honorer dan pengangkatan PPPK kembali mencuat.
Ilustrasi Aparatur Sipil Negara (ASN). (Sumber: Diskominfo Depok)
Ayo Jelajah 13 Okt 2025, 12:23 WIB

Dari Hotel Pos Road ke Savoy Homann, Jejak Kemewahan dan Saksi Sejarah Pembangunan Kota Bandung

Hotel Savoy Homann di Bandung menyimpan sejarah panjang sejak 1880, dari era kolonial hingga Konferensi Asia Afrika 1955, dengan arsitektur Art Deco yang ikonik.
Hotel Savoy Homann Bandung tahun 1910-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 13 Okt 2025, 09:25 WIB

Solat dan Stadion, Dilema para Bobotoh Saat Laga Persib

Praktik beragama kita yang kreatif, bikin tersenyum malu, dan sadar diri.
Konvoi Bobotoh, Bandung (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 13 Okt 2025, 08:10 WIB

Fitur Peta Instagram: Keintiman Konektivitas atau Peluang Kriminalitas?

Fitur terbaru dari instagram adalah membagikan peta lokasi pengguna yang bisa dibagikan dan diakses secara real time.
Fitur Peta di Instagram seharusnya menjadi perhatian bagi pengguna untuk tidak mudah FOMO akan tren sosmed yang hadir (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Netizen 12 Okt 2025, 20:04 WIB

Canda, Hantu, dan 'Jorang' sebagai Makanan Pokok Orang Sunda

Menentang budaya wibawa yang selalu menjaga batas bercanda, menjaga nalar rasional, dan menegakkan “adab” sensual yang hipokrit.
Camilan di Atas Karpet, Ketika Orang Sunda Kumpul dan Ngobrol (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 12 Okt 2025, 14:38 WIB

Pasar Seni ITB sebagai Jembatan antara Dua Wajah Bandung

Pasar Seni ITB bukan hanya sebatas ajang nostalgia, tapi juga bentuk perlawanan lembut,
Konferensi Pers Pasar Seni ITB 2025 di International Relation Office (IRO) ITB, Jalan Ganesha, Kota Bandung, Selasa 7 Oktober 2025. (Sumber: ayobandung.id| Foto: Irfan Al-Farits)
Ayo Netizen 12 Okt 2025, 11:06 WIB

Polemik Tanggal Lahir Persib dan Krisis Kepercayaan Publik terhadap Akademisi

Bagaimana jika sesuatu yang selama ini kita yakini sebagai kebenaran ternyata dianggap keliru oleh sebagian orang?
Pengukuhan Hari Jadi Persib Bandung pada akhir 2023 lalu. (Sumber: dok. Persib)
Ayo Jelajah 12 Okt 2025, 10:58 WIB

Jejak Sejarah Bandung Dijuluki Kota Kembang, Warisan Kongres Gula 1899

Tak cuma karena bunga, julukan Kota Kembang dipoles dengan kisah Kongres Gula 1899 dan para mojang Bandung yang memesona kaum meneer.
Mojang Belanda di Bandung tahun 1900-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 12 Okt 2025, 10:32 WIB

Int(Earth)Religious Dialogue

Ide tentang melibatkan alam sebagai subjek aktif dalam dialog lintas agama-iman.
Pohon dan Langit Biru (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 12 Okt 2025, 09:07 WIB

Mispersepsi Penggunaan Obat Amoxillin di Masyarakat

Amoxillin merupakan jenis antibiotik yang penggunaannya tidak pernah tepat guna dan sering menimbulkan resistensi antibiotik.
Amoxillin menjadi salah satu jenis antibiotik yang penggunannya sering mengundang miss persepsi di masyarakat. (Sumber: Freepik)
Ayo Biz 11 Okt 2025, 19:27 WIB

Bandung dan Denyut Motorcross Indonesia yang Kian Menggeliat

Di balik gemerlap urban dan sejuknya pegunungan, Bandung menyimpan potensi besar sebagai pusat olahraga motorcross di Indonesia.
Di balik gemerlap urban dan sejuknya pegunungan, Bandung menyimpan potensi besar sebagai pusat olahraga motorcross di Indonesia. (Sumber: Ist)
Ayo Biz 11 Okt 2025, 15:05 WIB

Ketika Mendaki Menjadi Gerakan Ekonomi dan Pelestarian: Menyatukan Langkah Menuju Pariwisata yang Berkelanjutan

Di balik geliat pariwisata, muncul tantangan besar, bagaimana menjaga kelestarian lingkungan sekaligus memberdayakan ekonomi lokal secara berkelanjutan?
Digagas oleh Mahameru, Inisiatif seperti Hiking Fest 2025 menjadi ilustrasi bagaimana kegiatan wisata bisa dirancang untuk membawa dampak positif. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)