Kondisi Jalan Sayati Setelah Hujan (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)

Ayo Netizen

Bandung dan Banjirnya selepas Hujan

Rabu 10 Sep 2025, 08:39 WIB

Romantisasi Bandung setelah hujan sering kali muncul dalam bentuk visual yang tersebar di media sosial.

Narasi demikian muncul karena sebagian orang hanya melihat Braga sebagai representasi kesyahduan Kota Bandung setelah hujan.

Realitasnya Bandung selepas hujan justru menjadi tamparan sosial karena kondisi yang sesungguhnya adalah banjir di beberapa titik lokasi, pohon tumbang, suhu udara yang semakin dingin, dan terjadinya kemacetan yang panjang.

Bahkan gang apandi yang tersembunyi dibalik megahnya Braga pun tak luput dari banjir hasil luapan Sungai Cikapundung.

Kemarin saya berangkat dari area Katapang menuju salah satu Bank yang ada di Kopo Sayati menggunakan angkutan umum. Sekitar jam 3 sore kondisi jalan sudah basah karena hujan sudah turun sebelumnya.

Saat melintasi jalan Kopo Margahayu hujan kembali turun cukup deras, melintasi Jalan Dengdek (jadek), warga sekitar menghimbau agar supir angkot putar balik untuk mencari jalan alternatif karena banjir cukup dalam.

Jalan Dengdek bukan masalah baru bagi warga Kopo Sayati karena dari dulu permasalahannya tidak pernah selesai. Meluapnya Sungai Cikahiyang karena dangkalnya kondisi sungai yang kerap tidak ada pengerukan akibat sedimentasi tanah.

Kondisi sampah yang hanyut terbawa arus sungai memperparah kondisi tersebut yang membuat air meluap hingga ke jalan. Beberapa kondisi gorong-gorong atau selokan mulai di tutup semen dan berubah fungsi menjadi jalan.

Bangunan toko seringkali mepet ke arah jalan raya, membuat selokan tertutup karena beralih fungsi menjadi lapak pedagang kaki lima. Adapun kondisi bangunan toko yang memberikan lahannya untuk pejalan kaki akan diserobot oleh pengguna motor ketika macet datang setelah banjir.

Banjir di Jalan Dengdek seringkali menjadi efek domino bagi pengguna kendaraan. Sejumlah angkot, motor atau mobil mencari jalan alternatif menuju komplek Margahayu Kencana yang terafiliasi dengan Pasar Sayati Lama.

Jalan alternatif tersebut terlalu kecil jika digunakan secara bersamaan. Jumlah motor yang banyak ikut memadati kawasan tersebut hingga membuat kendaraan sulit bergerak. Estimasi perjalanan Katapang-Kopo Sayati yang hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit mendadak berubah menjadi 2 jam.

Banjir berdampak pada sejumlah kondisi kendaraan bagi pengendara yang menerobos tanpa perhitungan. Banjir menghambat sejumlah kendaraan yang memiliki kepentingan dengan waktu, entah untuk bekerja atau berjualan. Banjir juga seringkali mereresahkan para supir angkot karena rentan menghabiskan bensin, sementara jumlah penumpang tidak setara dengan ongkosnya.

Banjir juga sering mengganggu kawasan Kopo Citarip, kondisi medan yang cekung menyerupai mangkok tersebutlah yang menjadi alasan utama terjadinya banjir di kawasan tersebut. Luapan sungai Citarip yang penuh sampah juga memperparah kondisi banjir.

Bahkan tak jauh dari Kopo Citarip terdapat Rumah Sakit Bandung Kiwari yang mengalami hal yang sama. Lokasinya yang sedikit tinggi dari jalan raya, membuat banjir seolah deburan kecil air pasang yang menepi ke sisi pantai.

Berjalan ke arah Pasar Leuwi Panjang yang kian menghawatirkan, air pekat bewarna hitam memenuhi sejumlah jalan, membuat kendaraan mogok dan kedalaman air mengancam keselamatan pengendara. Beruntungnya sejumlah selokan mendapat pengamanan pagar pembatas yang membuat pengendara sadar bahwa area tersebut tidak bisa dilewati.

Maju sedikit ke arah Cibaduyut, kawasan penuh pengrajin dan penjual sepatu ini juga terdampak banjir Bandung setelah hujan. Selokan yang tertutup membuat air hujan tergenang di jalanan. Sampah yang kian meroket juga menyumbat aliran selokan hingga tumpah ruah ke jalanan beserta seluruh isi di dalamnya.

Sejumlah toko di Cibaduyut yang masih memiliki kawasan parkir di basement menjadi pelarian bagi air yang mengamuk di jalanan. Bahkan banjir seringkali merusak ruko yang sudah dibiarkan kosong sejak lama oleh penghuninya. Sejumlah masyarakat yang tinggal di area tersebut tentu akan kesulitan menemukan jalan pulang, karena semua jalan yang terafiliasi juga terdampak banjir.

Sering kali banyak pengguna motor yang berhenti dan membuang sampah di sepanjang jalan menuju pertokoan. Kegiatan ini biasanya akan terlihat saat pagi hari, di mana aktivitas seorang pengendara yang bekerja atau hanya mengantarkan anaknya ke sekolah.

Suasana Dayeuhkolot saat ini yang sering dilanda banjir besar saban musim hujan. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)

Miris memang tapi itulah faktanya. Membuang sampah ke petugas sebetulnya tidak terlalu menghabiskan anggaran rumah tangga. Tiap daerah biasanya mematok harga yang beragam mulai dari Rp.20.000-50.000/ bulan tergantung dengan jumlah banyaknya sampah.

Namun nahasnya para pengguna motor tersebut memilih membuang sampah di sepanjang jalan Cibaduyut. Padahal kawasan ini cukup tersohor pagi pelancong dari luar kota yang sering membawa rombongan anak sekolah atau ibu-ibu majelis taklim untuk berbelanja oleh-oleh saat berkunjung ke Kota Bandung.

Sementara pemandangan di sejumlah Pasar Leuwi Panjang pun tidak jauh berbeda. Limbah sampah dari sayuran atau buah-buahan busuk dibiarkan begitu saja menjadi tumpukan sampah.

Menimbulkan aroma yang tidak sedap, mengundang lalat untuk hinggap dan menjadi penyumbang sampah saat banjir datang melanda. Bahkan beberapa masyarakat masih ada yang membuang sampah domestik secara gratis di kawasan sepanjang pasar.

Kondisi selokan yang beralih fungsi memperparah kondisi banjir, air hujan yang seharusnya masuk justru meluap ke jalanan karena tidak mampu menampung sejumlah air dan sampah.

Sistem Drainase (penyerapan) yang masih konvensional juga belum menjadi alternatif penyelesaian masalah yang memadai. Keterbatasan ruang hijau untuk resapan air dan kolam retensi juga memperburuk kondisi yang ada.

Kota Bandung yang seringkali di romantisasi itu ternyata masih banyak memiliki permasalahan kompleks dan panjang yang sulit untuk di selesaikan tanpa adanya koordinasi dari semua pihak.

Bandung selepas hujan tidak hanya estetik karena syahdunya daun kering dan kuning yang berguguran di sepanjang jalan, aroma hujan yang terhirup sangat menyegarkan juga kisah roman kedua pasangan yang belum pernah melihat sisi lain dari Kota Bandung.

Mungkin saja bagi kedua sejoli yang sedang dimabuk asmara dan menjadikan Kota Bandung sebagai sandarannya. Jangan-jangan banjir bukan halangan untuk tetap meromantisasi Bandung dan Hujan setelahnya. (*)

Tags:
banjirhujan Bandung

Dias Ashari

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor