Dalam frame komunikasi politik, pajak merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan kepercayaan rakyat. (Sumber: Unsplash/Artful Homes)

Ayo Netizen

Komunikasi Politik Pajak

Kamis 11 Sep 2025, 08:45 WIB

Ditulis oleh Mahi M. Hikmat

Pajak kini tengah menjadi sorotan tajam rakyat. Sejumlah kebijakan pemerintah daerah, seperti di Kabupaten Pati, Jombang, Banyuwangi, Kota Cirebon, dan daerah lainnya memicu ketidakpuasan rakyat, sehingga aksi demo pun terjadi.

Oleh karena itu, ketika Pemerintah Pusat pun mengeluarkan beberapa kebijakan baru tentang Pajak, notabene direseptif negatif oleh rakyat. Pajak dinilai sebagai “kesewenangan” penguasa dan pembebanan terhadap rakyat.    

Padahal pajak sejatinya tidak hanya dipahami sebagai kewajiban finansial warga negara kepada negara, melainkan juga sebagai sarana komunikasi politik antara pemerintah dan rakyatnya. Dalam konteks modern, pajak menjadi jembatan yang menghubungkan legitimasi politik, kepercayaan publik, serta keberlangsungan pembangunan negara.

Melalui kebijakan pajak, pemerintah menyampaikan pesan tentang orientasi politik, prioritas pembangunan, dan komitmen terhadap kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, respon rakyat dalam kepatuhan atau resistensi pajak juga mencerminkan tingkat kepercayaan mereka terhadap pemerintah.

Komunikasi politik, menurut McNair (2018), pada dasarnya adalah proses pertukaran pesan antara aktor politik dengan rakyat dalam rangka membangun legitimasi, memperoleh dukungan, serta mengarahkan opini publik. Oleh karena itu, seharusnya pajak dipandang sebagai salah satu medium komunikasi politik yang konkret dan efektif di antara Pemerintah dengan rakyatnya.  

Ketika pemerintah menetapkan kebijakan pajak, baik berupa tarif, insentif, maupun sanksi, selayaknya dipersepsi sedang menyampaikan pesan keadilan, keberpihakan, dan arah pembangunan. Misalnya, pemberlakuan pajak karbon menunjukkan komitmen pemerintah terhadap isu lingkungan.

Sementara itu, penghapusan pajak UMKM pada batas omzet tertentu menunjukkan keberpihakan terhadap pengusaha kecil. Oleh karena itu, pajak tidak semata-mata bernilai ekonomis, tetapi juga sarat dengan pesan politik yang berfungsi membangun citra dan kepercayaan publik.

Dampak Positif

Dalam frame komunikasi politik, pajak merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan kepercayaan rakyat. Ketika rakyat merasakan pajak yang dibayarkan kembali dalam bentuk pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial, maka kepercayaan terhadap pemerintah akan meningkat. 

Pajak pun dapat meningkatkan partisipasi rakyat dalam berbagai proses politik. Pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran bahwa pemerintah mengelola uang rakyat untuk pembangunan akan mendorong rakyat terlibat dalam pengawasan kebijakan publik, diskusi politik, bahkan mempengaruhi pilihan politiknya dalam pemilu.

Tanpa punya rupiah di dompet, kehadiran paylater menambah lapisan “keajaiban” baru, kita bisa membeli hari ini dan membayarnya nanti. (Sumber: Pexels/Defrino Maasy)

Karena rakyat harus memiliki keyakinan bahwa uangnya yang dipungut melalui pajak dikelola oleh pemerintahan amanah. Hal itu pun dapat menjadi investasi politik dan modal kampanye bagi penguasa pemerintahan untuk pemilu berikutnya. 

Pajak juga menjadi simbol keberpihakan terhadap kelompok masyarakat tertentu. Subsidi yang didanai pajak atau program bantuan sosial menunjukkan adanya upaya redistribusi ekonomi yang menegaskan kehadiran negara dalam menjamin keadilan sosial.

Dampak Negatif

Namun, jika pajak tidak dikelola dengan baik akan menghadirkan dampak negatif pada pemerintah. Jika pemerintah menyalahgunakan dana pajak, misalnya dikorupsi, komunikasi politik melalui pajak dapat berubah menjadi bumerang.

Realitas itu yang dikhawatirkan terjadi di Indonesia, fakta banyak pejabat yang korupsi, isu kenaikan gaji besar anggota lembaga tinggi negara, dan gambaran fasilitas mewah yang didapatkan para pejabat tinggi dapat ber-feedback melemahnya trust rakyat terhadap pemerintah.  

Kebijakan pajak yang tidak memperhatikan asas keadilan, misalnya tarif terlalu tinggi untuk kelas menengah atau kecil, dapat menimbulkan resistensi. Kebijakan pajak disalahgunakan sebagai alat politik praktis, seperti memberikan insentif hanya pada daerah atau kelompok tertentu pendukung pemerintah atau dana pajak digunakan kampanye politik.

Hal ini memunculkan kesan bahwa pemerintah lebih berpihak pada kelompok tertentu akan menimbulkan jarak komunikasi dengan rakyat, sehingga memicu polarisasi sosial dan memperlemah kohesi nasional.

Apalagi jika persepsi yang muncul, pajak justru untuk memperkaya para penguasa pemerintahan, gelombang ketidakpuasan akan terjadi, seperti aksi demo di beberapa daerah akhir-akhir ini. 

Dalam sejarah, kebijakan pajak yang dinilai memberatkan seringkali memicu protes bahkan pemberontakan. Contohnya, protes pajak garam di India dipimpin Mahatma Gandhi, protes pajak di Prancis melahirkan Yellow Vests Movement, perang melawan kolonial Belanda pada masa cultuurstelsel, perlawan Pajak Darurat Perang Kemerdekaan, bahkan pada era modern, resistensi terhadap pajak dalam bentuk perlawanan administratif dan hukum ke MK.

Dalam sistem demokrasi, pajak merupakan salah satu bentuk kontrak sosial. Pemerintah diberikan kewenangan untuk memungut pajak, sedangkan masyarakat memiliki hak untuk menuntut akuntabilitas. Di sinilah letak fungsi komunikasi politik, pajak menjadi simbol timbal balik antara legitimasi pemerintah dan partisipasi rakyat.

Tax amnesty tidak hanya dimaksudkan untuk menambah penerimaan negara, tetapi juga dapat digunakan untuk membangun hubungan baru antara pemerintah dan wajib pajak melalui janji pengampunan.

Program pemutihan pajak kendaraan bermotor, tidak hanya untuk memberikan motivasi kepada wajib pajak agar segera melunasi pajak, tetapi juga dapat membangun citra kearifan pada pemerintahan. 

Pajak harus dipersepsi lebih dari sekadar kewajiban finansial, tetapi merupakan sarana komunikasi politik yang menggambarkan hubungan timbal balik positif antara pemerintah dan rakyat.

Oleh karena itu, agar pajak benar-benar berfungsi sebagai medium komunikasi politik sehat, diperlukan transparansi, akuntabilitas, serta kebijakan yang berlandaskan keadilan sosial. Pemerintah perlu terus mengelola pajak bukan hanya sebagai sumber penerimaan negara, melainkan juga sebagai bahasa politik yang mengkomunikasikan keberpihakan dan komitmen terhadap kesejahteraan rakyat. (*)

Penulis Mahi M. Hikmat adalah Guru Besar Manajemen Komunikasi Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Tags:
pajak komunikasi politik

Netizen

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor